"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Rabu, 24 Desember 2008

CATATAN : Tentang Sebuah Pemilihan Kepala Dusun dan RT

" Papan Hasil Suara Pilkadus "
ilustrasi oleh : petani bodoh



NEGERI VOTING



Suatu hari dalam sebuah perjalanan menuju ke tempat seorang kawan di wilayah Bandung bagian utara melewati Padasuka terus ke atas. Pada sebuah jalan dimana disisi jalan itu sedang berlangsung sebuah pemilihan Ketua RW. Saya bisa memastikan karena disana ada spanduk yang bertuliskan tentang kegiatan itu. Melihat hal tersebut ingatan saya kemudian melayang kepada seorang kawan yang mengomel-ngomel waktu kepala desa yang dijagokannya kalah. Lewat sebuah pesan SMS dia menghujat calon kepala desa yang menang dengan menuduhnya telah melakukan melakukan kecurangan waktu kampanye dan saat pencoblosan.


Sedikit memaksa ia agar saya membenarkan ‘hujatannya’ itu, walau saya sendiri tidak tahu apa-apa dan saya tidak ada kepentingan apapun terhadap pemilihan kades didesanya. Untuk menyenangkan kawan saya itu, akhirnya saya ‘sedikit membenarkan’ juga. Toh, kawan saya itu tidak akan bisa merubah hasil dan kepala desa yang terpilih tetap dilantik.


*********


Diseluruh pemilu yang dilakasakan di Indonesia dan mungkin juga di dunia. Seorang pecundang selalu menyalahkan pemenang dengan mengatakan si pemenang telah melakukan kecurangan. Amat sangat jarang kita menemukan ada calon yang kalah akan mengakui secara terbuka bahwa ia kalah dan tidak ada tindak lanjut apapun semacam manggugat kekalahannya lewat tuduhan kecurangan yang tidak berdasar. Untuk sementara ini cukuplah dulu celoteh pembuka kita tentang pemilu di negeri ini.


Indonesia adalah sebuah negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologinya. Lima ayat yang tercantum didalamnya dianggap sebagai ruh dari seluruh proses berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat seluruh elemen. Saya sendiri cenderung menyebutnya cita-cita. Kenapa? Sebab sampai saat ini seluruh apa yang termaktub didalamnya tidak pernah bisa diimplementasikan mendekati angka setengah atau 50 persen. Kerusuhan berunsur SARA, kebobrokan akhlak generasi muda dan generasi tua, korupsi, ketidakadilan pemerintah, dan segala kebobrokan hampir di setiap elemen negeri menjadikan Pancasila saat ini masih berbentuk harapan bangsa saja.


Namun ada satu sisi dari kepribadian bangsa ini yang sepertinya menarik untuk dibuatkan catatan khusus. Ciri khas masyarakat yang satu ini sudah ada dan melekat erat dalam karakter sosial yang berlaku pada diri tiap-tiap anak negeri. Sebuah budaya yang sering kita sebut dan banggakan sebagai praktik kultur budaya timur.


Jika anda adalah seorang yang aktif dilingkungan anda. Entah sebagai Ketua RT / RW, Kepala Desa, Kepala Dusun, atau berbagai jabatan ‘kecil’ lainnya. Bisa dipastikan anda akan sering memndengar atau memakai istilah MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT. Ya.. istilah ini dulu sering dipraktikkan dalam sebuah sistem sosial bangsa Indonesia. Sebuah metode bermasyarakat yang sangat kita banggakan. Menggambarkan sebuah kebersamaan, persatuan, dan toleransi yang tinggi sebuah tatanan masyarakat dalam menyelesaikan atau membahas suatu hal secara bersama-sama seluruh elemen masyarakat tersebut. Semacam gotong royong kepentingan bersama yang ‘dikeroyok’ dengan ruh kekeluargaan yang tinggi.


Bangsa kita saat ini adalah bangsa dengan masyarakat yang latah. Selalu ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan segala sesuatunya. Saat ini salah satunya adalah ketika harus memilih ketua RT atau ketua RW. Latah ini kemudian menghilangkan atau mengenyampingkan hal yang kita sebut diatas, yakni; semangat musyawarah mufakat. Sendi-sendi yang ada selalu mengatasnamakan ‘demokrasi’. Sampai menyentuh ranah yang sangat jauh, yaitu; sosial dan agama. Demokrasi dianggapnya sekedar gagah-gagahan atau menunjukkan sebuah kecerdasan. Masyarakat kita memang sering aneh dalam menempatkan sesuatu.


Dulu pemilu ‘besar’ itu hanya diadakan untuk memilih partai politik sebagai bagian dari aspirasi masyarakat untuk ikut berpolitik. Pemilu ‘kecil’ dilangsungkan untuk menentukan Kepala Desa. Terlepas dari kondisi politik negeri ini yang sangat digenggam oleh rezim yang berkuasa waktu itu, tetaplah sistem pemilu memang harus ada. Meninggalkan rezim orde baru yang carut marut dengan berbagai kasus, era reformasi kemudian menghadirkan sebuah pemilu yang lain, yaitu pemilu Presiden, Gubernur, dan Walikota / Bupati. Sebuah kemajuan dalam alam demokrasi telah kita raih.


Sedikit kemudian kesalahan pemerintah kita adalah ketika mencoba mendidik rakyatnya dengan menyuruh mereka latah. Pemilu yang menarik adaah tugas pemerintah dan elemen pelaksana untuk mengemasnya. Saat ini pemilu kita mempunyai golongan putih yang cukup besar. Golongan putih adalah sebutan untuk masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan berbagai alasan. Namun semua bersumber dari satu alasan umum; Pemilu tidak menarik sebab tidak menghadirkan perubahan yang mendasar dan konkrit bagi masyarakat. Entahlah.. dari sudut pandang apa si Golput ini menilai. Tapi yang pasti, poin bahwa pemilu tidak menarik sudah cukup sebagai bahan evaluasi.


Sebagain besar masyarakat kita adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah. SDM yang ada merupakan imbas dari pendidikan dan pemahaman yang memang masih sangat kurang. Untuk mengakali itu, pemerintah kemudian melakukan kampanye partisipasi pemilu yang salah satunya adalah dengan mendorong diadakannya Pemilu dari sub fungsi terkecil yaitu pemilihan Ketua RT dengan metode pemilu. Harapan pemerintah adalah masyarakat menjadi terbiasa dan pendidikan politik bisa lebih cepat merata. Namun pemerintah telah mengorbankan sebuah cita-cita besar untuk sebuah politik. Pemerintah telah mendidik masyarakat untuk melakukan segala sesuatu atas dasar kepentingan politik dan menggerus semangat ‘budaya timur’ yang telah ada di masyarakat sejak dulu.


Dulu semangat kebersamaan masyarakat dibentuk lewat pertemuan-pertemuan antar anggota masyarakat. Berbagai hal dibicarakan, termasuk untuk memilih ketua RT atau kepala dusun. Musyawarah mufakat betul-betul dipraktikkan secara nyata dan efektif. Sekarang semangat itu hampir sudah tidak ada lagi seiring dengan pudarnya semangat kekeluargaan dimasyarakat. Negeri kita adalah negeri voting. Hingga mungkin suatu saat nanti kita akan melakukan seluruh pekerjaan dengan cara diundi atau pemilihan suara terbanyak tanpa pernah belajar untuk merembukkannya terlebih dahulu. Musyawarah mufakat akan menjadi dongeng sejarah tentang sebuah masyarakat Indonesia dimasa lalu. Yah.. begitulah..



Jatinangor, 23 Desember 2008



---------0000000----------

Sabtu, 13 Desember 2008

CATATAN : TENTANG PAHLAWAN


" Pejuang Revolusi "
ilustrasi oleh : petani bodoh





PAHLAWAN





Seorang pahlawan adalah mereka yang berjuang dulu waktu zaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan. Tujuan berjuang sudah jelas; untuk sebuah pembebasan dari penindasan oleh penjajah. Guru SD saya berkali – kali menerangkan itu dari semenjak saya kelas satu sampai kelas enam. Waktu itu, kata pahlawan kemudian menjadi salah satu kosakata yag sangat gagah dan macho bagi kami murid-murid SD di kampung saya. Memang begitulah kira-kira otak kanak-kanak mencerna. Yang menerangkan hal itu juga seorang pahlawan, walapun tanpa tanda jasa. Titel itu melekat dan sempurna dipropagandakan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Itulah kenapa guru pada saat itu ‘rela’ digaji sangat kecil. Mungkin sebab gelar pahlawan telah membuat mereka menjadi tidak enak untuk protes.

Bergerak kearah waktu tahun 2008 sekarang ini, kata pahlawan kembali menjadi perbincangan cukup hangat. Sehangat segelas kopi dipagi hari. Banyak alasan untuk memperbincangkan hal itu. Termasuk mungkin juga menjadi alasan saya membuat catatan ini. Selain itu dialog dalam film Naga Bonar 2 membuat saya tertegun, "Semua yang dimakamin disini itu pahlawan ya..?". Makam pahlawan Kalibata hanya membisu.

Seorang bekas presiden meninggal dunia awal tahun 2008 ini. Guru-guru berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji pada pertengahan tahun. Menjelang akhir tahun, beberapa tokoh revolusi kemerdekaan (yang telah meninggal dunia) mendapat penghargaan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Sebuah partai (yang katanya progresif reformis) secara sepihak mendadak telah ‘mengangkat’ seorang bekas presiden sebagai pahlawan dan kemudian menjadi polemik dimasyarakat. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan gaji ‘para pahlawan tanpa tanda jasa’ sebesar 100 persen mulai tahun depan. Jika harus memberikan gelar, maka saya ingin menyematkan gelar untuk tahun 2008 ini sebagai Tahun Pahlawan.

Membuka sebuah milis, kami ada sedikit perbincangan tentang seorang bekas bupati di tempat kami di kampung sana. Ia merupakan tersangka korupsi yang sedang diadili sampai terkencing-kencing di tengah persidangan. Seorang mantan gubernur juga mendadak mengalami sedikit ‘gangguan jiwa’ ketika kasusnya semakin mengerucut kearah vonis hakim. Banyak yang tersenyum simpul dan tertawa dengan adegan langka itu. Namun ada yang mencoba ‘menengahi’ dengan mengatakan bahwa bagaimanapun juga sang bekas bupati dan bekas gubernur itu telah berjasa juga dengan daerah yang dipimpinnya semasa ia masih menjabat. Kata ‘berjasa’ kembali mengingatkan saya dengan kata pahlawan.

Di negeri ini, saya tidak pernah mendengar ada seorang bupati, gubernur, atau presiden dipaksa oleh rakyat untuk menjadi bupati, gubernur, atau presiden. Mereka pasti mencalonkan diri. Dengan kata lain, menjadi kepala daerah atau kepala negara itu adalah murni keinginan dia sendiri. Sampai harus mengeluarkan biaya besar dan tidak jarang dengan kecurangan dan keculasan. Kenapa? Pekerjaan sebagai kepala daerah atau kepala negara itu adalah sebuah job yang penuh harta. Gaji besar, fasilitas mewah dan lain sebagainya. Termasuk untuk keluarganya juga sampai ring keberapa saya sendiri kurang tahu. Saat seseorang ingin menjadi gubernur maka dia sudah tahu tugas dan tanggung jawabnya yang memang besar. Jadi, jika dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka itu memang sudah tugasnya yang bisa disebut keberhasilan dan bukan jasa.

Seluruh pekerjaan yang berafiliasi dengan kalimat pegawai negeri juga seperti itu. Menjadi sangat aneh ketika seorang pegawai negeri yang digaji oleh negara (baca; rakyat) disebut berjasa kepada negara karena dia bisa menjadi pegawai negeri yang baik dan berhasil menjalankan program-programnya dengan baik. Bagi saya itu sangatlah aneh.

Sebuah jasa dalam konteks sosial bermasyarakat dan bernegara adalah sebuah pekerjaan tanpa pamrih. Dengan kata lain, tidak menghitung berapa jumlah feed back yang dia terima. Tidak komplain ketika gaji kecil. Tidak protes saat tidak mendapatkan fasilitas mewah. Para pejuang zaman perang kemerdekaan dulu tidak pernah mendaftar untuk menjadi pejuang dan tidak mendapatkan gaji atas pekerjaannya berjuang mengusir penjajah. Saya pun tidak yakin para TNI zaman revolusi kemerdekaan itu digaji. Mereka murrni berjuang dan tulus ikhlas tanpa pamrih. Itulah yang kita sebut jasa.

Bekas presiden yang telah meninggal dunia (dan dimakamkan dengan upacara super megah) itu dulu telah (katanya) ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Ia kemudian mendapat feed back dengan menjadi presiden (penuh kontroversi) selama 32 tahun. Sekarang hartanya masih bisa dinikmati sampai 7 turunan. Sudah impas kan?! Untuk gelar pahlawan sebagai presiden saya rasa sudah tidak perlu. Tidak ada istilah tanpa pamrih menjadi kepala negara. Ia digaji dan mendapatkan kekayaan serta kekuasaan luar biasa dengan jabatan itu. Sebagai bekas pejuang? Sejarah masih menyangsikan peran dan posisinya. Sementara ini masih banyak veteran revolusi kemerdekaan yang lebih hebat perjuangannya dan sudah dilupakan pemerintah. Selain itu, dosa-dosanya sebelum dan selama ia menjadi presiden pun belum terbayarkan sampai saat ini. Semua orang tahu dan sejarah telah mencatatnya.

Seorang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mendengar lagu Umar Bakrie-nya Iwan Fals saya sepakat itu. Tapi itu dulu. Sekarang? Saya berpendapat sudah tidak lagi. Seorang guru adalah seorang pegawai negeri dengan gaji besar. Guru yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang mengajar disekolah-sekolah darurat. Para relawan yang dengan kesadaran sendiri tanpa pamrih (baca; upah seadanya) mengabdikan diri untuk mengajar buat anak-anak tidak mampu dan didaerah bencana. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah para guru-guru madrasah di pelosok-pelosok yang diupah dengan gabah setiap panen dan sama sekali tidak punya gaji pensiun ataupun tunjangan kesehatan. Mereka rela karena panggilan hati nurani untuk melakukan sesuatu atas nama kemanusiaan dan berbuat baik kepada sesama dalam menyebarkan ilmu pendidikan.

Onani terakhir dari catatan ini adalah tidak ada istilah pahlawan untuk pegawai negeri dan segala hal yang berafiliasi dengan pekerjaan itu. Termasuk para anggota dewan (yang terhormat), kepala daerah, menteri-menteri, dan kepala negara. Mereka memilih pekerjaan itu dengan kesadaran sendiri karena disana ada materi yang tidak sedikit dan kekuasaan yang berlimpah. Tidak ada pemaksaan untuk hal itu, malah mereka yang cenderung memaksakan.

Membuka milis yang lain, seorang kawan yang cantik bercerita tentang kesederhanaan seorang Ahmadinejad. Ia adalah kepala negara di negeri para mullah; Iran. Kawan cantik saya itu bermimpi mempunyai presiden seperti Ahmadinejad. Dan saya membaca email-nya sambil tersenyum. Ikut bermimpi.. sambil ‘berharap’ juga bahwa suatu saat nanti kata pahlawan akan di hapus dari kamus besar Bahasa Indonesia yang disempurnakan.



Bandung, 14 Desember 2008





----------ooooooooooo---------

Sabtu, 06 Desember 2008

REKAM JEJAK : Anak - Anak Negeri

ANAK INDONESIA SAJA



" Pengamen "
Laswi - Bandung



" Ikut kakak "
Laswi - Bandung


" Sudut Tersembunyi "
BSM - Bandung


" Headline Hari Ini "



" Eksistensi "



" Ikut Bapak "
Gedung Sate - Bandung


" Eksploitasi "
Gedung Sate - Bandung


" Berburu Receh "
Stasiun Tasikmalaya



Coba perhatikan gambar - gambar diatas ..


Sebuah ungkapan bahwa anak adalah generasi penerus. Jika ingin melihat seperti apa Indonesia dimasa depan, maka lihatlah seperti apa anak-anak Indonesia saat ini. Ada yang berjuang mengejar mimpi dalam tekanan penderitaan dan sebagian kecil lainnya mengubur mimpinya sendiri ditengah taburan kemewahan. Yah.. Itulah realita yang kita buat saat ini..

Salam petani bodoh ..


7 Desember 2008



------------ooooooooo-------------

Selasa, 14 Oktober 2008

REKAM JEJAK - TSUNAMI JAWA BARAT 2006

Anak - Anak Pantai



Sekolah Darurat Cimerak Ciamis - Tsunami 2006


Sebuah harapan adalah sebuah semangat. Pendidikan anak negeri harus tetap berjalan.. Semoga euforia simpati dan empati tidak hanya sebuah momentum saja. Amin..


---------ooooo----------

REKAM JEJAK - GERBANG UNPAD JATINANGOR

Mari Membangun

Pembongkaran Gerbang Unpad Jatinangor 2008


Sebuah konsekuensi kemajuan adalah pembangunan. Lupakan segala nostalgia tentang kejayaan ala masa lalu. Rombak - Bongkar - Bangun.. Tapi terkadang hati kecil ini tidak percaya dengan hasil yang nanti bakal timbul..


-------ooooo-------

REKAM JEJAK - MAY DAY

Histeria Kaum Pinggiran



MAY DAY 2006 - GEDUNG SATE ..


MAY DAY 2008 - GEDUNG SATE ..


MAY DAY 2008 - GEDUNG SATE ..

Bertahun-tahun selalu melakukan hal yang sama. Hingga aku kemudian terbersit sebuah tanya (paling tidak kepada diri aku sendiri); kapan 'perjuangan' itu akan berhasil. Sepertinya semua hanya berputar dilingkaran yang itu-itu saja. Sebuah aksi kemudian hanya menjadi sebuah seremonial belaka.. Retorika 'mimpi' yang menjadi hiburan tentang negeri demokrasi..

Yah.. biarlah, paling tidak (lagi) kita cukup rajin untuk menghormati dan menghargai sebuah sejarah..


----------oooooo-----------

Kamis, 10 Juli 2008

Catatan Kusam Dari Kecamatan Cimenyan

Akhir Seorang Buruh Bangunan


Kawan.. Hari ini aku menyaksikan tragedi dari sebuah perjuangan hidup yang keras. Para pekerja dengan title buruh bangunan terjebak dalam timbunan tanah yang mereka gali sendiri demi sesuap rezeki, tanpa jaminan dengan apa yang disebut asuransi keselamatan atas jiwa mereka. SEBUAH TRAGEDI ADALAH TAKDIR TUHAN .. Ya aku sepakat! Tapi kita tidaklah mesti selalu ‘menggugat’ Tuhan saja untuk hal yang kita anggap ‘salah’ dalam hidup ini. Sebagai sebuah sistem hukum kerja dan pada kehidupan sosial ini maka ada manusia lain dan aturan main yang juga mesti ikut bertanggung jawab.

Seorang pemuda 20 tahunan telah terkabar kembali menjadi tanah setelah menyelesaikan ‘misinya’ didunia ini. Seorang lagi berjuang agar dapat ‘meneruskan misi’ dengan kondisi yang disebut kritis. Yang selamat kemudian terenyuh, berduka, dan berdoa. Entahlah.. Seberapa besar rasa bela sungkawa yang akan pemilik bangunan, mandor, dan para pemberi izin sepihak atas proyek ini akan berikan. Bukanlah semata-mata pekerjaan yang berat dan keras. Namun, hal tak terduga yang timbul terkadang amatlah pahit. Begitulah kawan.. Pada akhirmya, keluarga para pekerja hanya akan bisa mengenang..

(Ciburial – Kab. Bandung, 7 Juli 2008)


-----oooo------

Jumat, 30 Mei 2008

Sebuah Kesaksian Kecil (2)

ADA YANG BERTANYA


Kepada: Anak-Anak Peserta Pelatihan Jurnalistik

Siapakah yang punya semangat hari ini?
Aku.. Kamu.. Atau mereka?
Sebab di kota ini anak-anak itu sedang merajut asa
Pada buku dan pensil yang terjebak biaya
Pada wajah-wajah lama kita menduga-duga

Lalu mengapa ditanah ini kita mesti berprasangka
Untuk menyimpan bara?

Tasikmalaya, 28 Mei 2008


HARI INI (mungkin) BUKANLAH ESOK MU


Kepada: Anak-Anak Sekolah Yang Sedang Bermain Di Lapangan

Bermain bola sajalah, dik..
Ini waktumu buat menghantam aturan (sejenak)
Berlari-larian sajalah, dik..
Ini masa buat kalian meninggalkan buku yang membosankan
Dan guru-guru yang menjengkelkan (sejenak)
Berteriak-teriak sajalah, dik..
Sebelum tenggorokanmu akan kering
Lidah kelu dan tersangkut dipantat megaphone
Kemudian mulailah untuk belajar ‘yakin’
Jika paraumu nanti tak akan ada yang sudi mendengarkan

Tendang-tendanglah saja sesuka hatimu, dik..
Sebab besok ia akan berubah jadi bola api.


Tasikmalaya, 28 Mei 2008



------oooooooo------

Sebuah Kesaksian Kecil (1)

MENGAWAS TRY OUT SNMPTN DAN KENAIKAN HARGA BBM



Pukul 05.14 pagi

Bangun dipagi buta saat ayampun rada malas buat berkokok. Ah.. begitu menyebalkan ketika selimut harus aku lipat kembali. Sebenarnya terjaga dipagi buta bukan masalah utama yang mesti aku ‘kutuk’. Tapi dinginnya itu loh.. oh my God..!! Jatinangor diawal musim kemarau sungguh mencucuk belulang, membekukan hingga relung urat darah. Yaph.. ini sebuah tanggung jawab. Konsekuensi dari aktifitas yang mesti aku jalani. Hhoo..ho..ho.. mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Jalanan diluar sana menjelaga pekat. Cahaya mataharipun masihlah amat sangat ‘bayi’ dan terjebak dibalik puncak Geulis. Menunggu waktu yang tepat sesuai titah-Nya untuk menerangi jagat mayapada ini. Mari kawan, kita harus bekerja ..

**********

Pukul 05.53 (masih) pagi

Pagi tertanggal 24 Mei 2008. Tepat hari pertama Bahan Bakar Minyak atau yang biasa disingkat BBM, mengalami kenaikan harga yang kesekian kalinya. Saat aku teringat akan hal itu, pantatku yang sangat seksi ini tengah terduduk dengan nyaman di bangku bis Damri Jatinangor – Dipatiukur via tol. Wwwuuaaahhhm.. masih cenderung ngantuk waktu tanpa sadar aku tercenung melihat sebuah pengumuman terpampang di pintu Damri.

Tarif baru Damri Kota Bandung dan Sekitarnya:

Damri ekonomi biasa via tol naik dari Rp.3000,- menjadi Rp.3500,-

Ekonomi biasa dalam kota naik dari Rp.1600,- menjadi Rp.2000,-

Ekonomi Pelajar Mahasiswa naik dari Rp.900,- menjadi Rp.1000,-

Wah.. berarti kalau naik Damri lewat jalur biasa ke Jatinangor via Cibiru menjadi Rp.4000,- dong??!! Oh.. shit man!! Apa kabar buruh dan para jelata lainnya? Damri ini menjadi satu-satunya andalan buat mereka bepergian? Biaya hidup membengkak namun pendapatan masih tetap cenderung menurun.. hhiiikk..hhiiikkzz.. Aku terdiam dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya sebuah SMS kemudian aku kirim kepada seorang kawan. Agar kawan itu bisa mempersiapkan biaya lebih jika ingin naik angkutan umum, sebab harga kemarin sudah berubah.


**********

Pukul 04.05 sore

Sore (masih) tertanggal 24 Mei 2008. Naik angkot kota Bandung aku sedang bergegas untuk pulang ke Jatinangor. Sama seperti hari pertama kemarin, maka di hari kedua sekaligus sebagai hari terakhir pelaksanan Try Out ini aku merasa lelah juga seharian jadi ‘patung’ mengawasi anak-anak SMA yang sedang ‘bermimpi’ untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri lewat jalur resmi SMPTN dengan biaya pendidikan yang ‘murah dan berkualitas’. Entahlah, apakah proses Try Out yang diikuti bisa membantu mereka menggapai cita-cita. Biaya pendidikan yang terus mencekik dari waktu ke waktu telah merajam jauh di ulu hati. Menyeret-nyeret rakyat kedalam kebodohan yang ‘senantiasa dipelihara’. Oleh siapa? Entahlah.. Hingga sekolah kemudian menjadi suatu kata yang ‘menakutkan’, selain dari lapangan pekerjaan yang selalu memandulkan semangat hidup kaum proletar. Anak-anak itu (seperti yang tadi aku lihat) masih saja terus ‘memelihara’ mimpinya. Mungkin berharap, ada suatu titik balik dari kecerahan yang dijanjikan mulut-mulut para pembohong negeri ini. Hhuuuuhhh..

Ah.. itu terlalu jauh aku menerawang..

Ada yang lebih ‘menarik’ dalam perjalananku kali ini. Kelakuan sopir angkot yang selalu ngomel-ngomel seperti nggak jelas juntrungannya membuat aku miris. Lebih miris daripada melihat ‘si manehna’ bergandengan tangan dengan lelaki lain hhiikk..hi..hiikzz.. sudahlah kita kembali ke sopir angkot aja he..he..he..!!

Berita membahana diseantero Indoensia Raya tercinta ini adalah BBM naik hampir 30 persen. Kalau aku pikir-pikir berarti penumpang mesti bayar angkot tinggal dinaikkan aja sebesar 30 persen dari ongkos sebelumnya. Kemarin bayar seribu perak ya sekarang kasih tambahan jadi Rp.1300,-. Kalau sebelumnya tarif Rp.2000,- ya hari ini seterusnya bayar ongkos jadi Rp.2500,- . Hhoo..ho.ho.. Matematika yang sederhana bukan brow.. tapi ternyata matematika angkot tidaklah ‘semudah’ itu. Emosi para sopir membuat logika 30 persen tinggal menjadi rumus hitungan ‘goblok’ penumpang saja. Kenapa? Sebab mereka ternyata memasang tarif menjadi 2 kali lipat harga sebelumnya. Penumpang tidak mengikuti, maka sumpah serapah pun berhamburan layaknya peluru dan gas air mata aparat ketika membubarkan para demonstran yang dianggap anarkis. Wah..wahh.. aku mesti pasang badan nih. Okeh.. aku bayar sesuai keinginan mereka tapi aku nggak mau sopir itu pasang muka serem dan suaranya seperti disangar-sangarkan seolah-olah sedang menakuti penumpang agar ikut tarif baru versi mereka. Tidak.. terima kasih!! Aku bukan pejahat dan aku tidak ada salah apapun dengan naikknya harga BBM.

KKiiirrriii.. Stop piinggirr!!!
Jalan Riau.. perempatan Trunojoyo.. Yaaa..ya.. satu, saya aja..!!

Aku nggak tahu jika aku kemudian menjadi sedikit ‘beringas’. Namun setelahnya, keramahan sopir itu kayaknya cuma buat aku saja. Tentu saat itu aku berharap penumpang lain yang masih didalam angkot akan terinspirasi dengan cara tadi. Ya paling tidak akan membuat mereka lebih dihargai sebagai penumpang.

Tapi yang pasti, sebenarnya disini aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Aku cuma terlalu letih, kawan..


**********

Pukul 11.24 malam

Malamnya aku membaca berita di internet. Hari ini banyak sopir angkot mogok kerja dan sebagian lagi telah menaikkan tarifnya sendiri tanpa perlu instruksi dari pemerintah. Tentu dengan harga yang bervariasi. Ada yang yang berpatok dengan angka kenaikan Rp.500-, 30 persen, atau 100 persen sekaligus seperti sopir tolol tadi.

Kemudian di Jakarta beberapa kawan-kawan mahasiswa ditangkap karena melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga BBM. Di beberapa kota lain aksi mahasiswa dan masyarakat pun mulai disikapi secara represif oleh aparat. Baiklah kawan.. Disini dan untuk kali ini aku ingin mengatakan, TERKUTUK DAN KEPARATLAH PRIA YANG BERNAMA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DAN JUSUF KALLA BESERTA SELURUH SUPORTERNYA… “


* Terima kasih kepada HU. Pikiran Rakyat – Bandung dan Lembaga Bimbingan Belajar “Ganesha Operation” Bandung, atas pemberian kesempatan kepada anak-anak SMA untuk bisa mengikuti Try Out secara gratis.. Bravo PR dan GO..!!

Jatinangor, 25 Mei 2008


-----0000------

Sabtu, 10 Mei 2008

Mengenang 10 Tahun Reformasi

Organisasi Intra Kampus
Sekilas Review: Sebuah Perebutan Kekuasaan dan Gerakan Perjuangan Mahasiswa



Ada yang menarik kalau kita mau mencermati sejarah gerakan mahasiswa Indonesia yang dikaitkan dengan keberadaan organisasi intra kampus sebagai pijakan langkah awal gerakan menuju keluar. NKK / BKK yang merupakan sebuah ‘alternatif’ hukum pemerintah untuk mengekang aktifitas independen mahasiswa telah berjalan dengan baik. Sistem organisasi yang menjadi ‘markas’ mahasiswa menggodok rumusan perjuangan telah menjadi gergaji yang memotong langkah mahasiswa itu sendiri.


Sistem BEM / BPM yang sekarang begitu diagung-agungkan mahasiswa sesungguhnya adalah jebakan yang membuai dari pemerintah. Sebutan atau penamaan organisasi dengan struktur yang dijejalkan sebagai prototipe negara adalah retorika yang mengkerdilkan organisasi dan (secara otomatis) perjuangan atau gerakan mahasiswa. Eksekutif jabatan presiden mahasiswa adalah eksekutif semu. Legislatif jabatan ketua BPM adalah legislatif semu. Alih-alih pembelajaran politik malah yang terjadi adalah konflik horizontal ditataran mahasiswa itu sendiri. Gerakan mahasiswa pun terkotak-kotak. Belum sampai berjuang mahasiswa bersama rakyat kekuatan sudah habis untuk ‘berseteru’ memperebutkan ‘kekuasaan semu’ didalam kampus.


Organisasi BEM / BPM sejatinya bukanlah media kebersamaan mahasiswa merapatkan barisan untuk perjuangan, tapi lebih kepada organisasi simulasi mahasiswa yang menjauhkan mahasiswa dari perannya di sistem sosial masyarakat luas. Memang benar, sebagai organisasi politik kampus BEM dan BPM sudah dikategorikan sehat. Ada kekuasaan disana (kekuasaan kelompok) dan ada oposisi serta pengawas. Namun perjuangan mahasiswa bukan kearah hal itu. Bisa ditebak kemudian, jika banyak kepentingan kontra perjuangan mahasiswa dapat masuk dengan mudah ke ranah mahasiswa. Penunggangan pihak lain terhadap mahasiswa merupakan hal yang sulit dihindari. Suara mahasiswapun tak lagi lantang dan taringnya perlahan tumpul. Retorika atas nama rakyat tinggal jargon-jargon yang dianggap angin lalu oleh penguasa.


Tidak ada kata lain, menurut ilalangmerah.blogspot.com, mahasiswa harus mulai sadar untuk mengembalikan dirinya sendiri ke trek yang semestinya. Wujudkan kembali organisasi intra kampus yang merupakan representasi mahasiswa tanpa kelompok. Mahasiswa adalah satu. Tidak perlu berandai-andai dengan pembelajaran politik karena tanpa disadari (mau tidak mau) pengalaman politik otomatis akan mahasiswa dapatkan jika sudah terjun dalam gerakannya secara bersama-sama dalam satu suara. Mahasiswa bukanlah ‘pengawas’ bagi mahasiswa lainnya dalam sebuah sistem simulasi. Mahasiswa adalah rekan juang rakyat, mitra kerja pemerintah dan birokrat kampus, sekaligus juga sebagai fungsi kontrol terhadap birokrat kampus dan pemerintah itu sendiri. Ingat.. Tanpa embel-embel eksekutif legislatif pun bukankah Dema (Dewan Mahasiswa) dulu telah melahirkan politikus-politikus yang handal? Tidak ada jabatan presiden di sana. Tidak ada sebutan Ketua Legislatif didalamnya. Namun hasil yang didapatkan jauh dari sekedar menyandang gelar eksekutif dan legislatif.


Rebut kembali hak mahasiswa untuk berorganisasi secara ‘bebas’ dan independen. Tolak segala bentuk intervensi birokrat kampus dan pemerintah dalam organisasi mahasiswa. Hanya dengan kebersamaan mahasiswa akan mendapatkan kekuatan dan dengan kekuatan itulah mahasiswa akan bisa terus melanjutkan perjuangan. Hingga sampai dengan saat ini? NKK / BKK dengan bentuk-bentuk organisasi yang dirunutnya adalah kubangan fatamorgana yang menyesatkan.



*Mantan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) periode 2005 / 2006
Fakultas Ilmu Komunikasi - Universitas Padjadjaran




Ketika Telah Satu Dasawarsa



Kami masih ingat berita itu sepuluh tahun lalu
Kami masih mencium aroma darahmu yang sepuluh tahun lalu
Kami masih merasakan panas api itu setelah sepuluh tahun lalu
Kami masih ingat ..


Bendera yang dulu itu masih coba kami kibarkan
Panji-panji yang dulu tetap coba kami tegakkan
Mungkin dengan sisa-sisa semangat yang telah engkau wariskan
(mungkin) menjadi kata yang kini membuat kami malu ..


Tragedimu telah menjadi sejarah pemerintah
Yang masih membuat kami luka ..
Reformasimu adalah bara
Yang kini kami coba nyalakan kembali ..


Bersama rakyat yang tetap mengenangmu
Kami tetap bersiap jika harus kembali ke jala
Yang masih menyisakan goresan pantulan
Peluru yang menembus jantungmu


Abang .. Saudara .. Kawan ..
Penguasa itu masih menyangka engkau telah mati
Padahal tidak ada yang mati karena engkau masih setia digaris depan
Memberikan komando dan tangan dikepal menjulang


Sumpah Mahasiswa dan Rakyat Indonesia ..
Kami Mahasiswa dan Rakyat Indonesia bersumpah
Bertanah air satu .. Tanah air tanpa penindasan
Kami Mahasiswa dan Rakyat Indonesia bersumpah
Berbangsa satu .. Bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami Mahasiswa dan Rakyat Indonesia bersumpah
Berbahasa satu .. Bahasa tanpa kebohongan .. “


Hidup rakyat .. hidup rakyat ..
Suaramu adalah juga suara kami
Menjulang kami masih mengangkat tangan kiri ..



Bandung, 12 Mei 2008
Mengenang para korban Semanggi 1 dan 2 serta penembakan Trisakti
Dalam ingatan 10 tahun Reformasi 1998 - 2008




---000---

Sabtu, 29 Maret 2008

Kampung Halaman (2)

BAHASA IBU, IDENTITAS DIRI, DAN BUSUNG LAPAR


Oleh: Sulye Jati


Seorang kawan di Bandung pernah bertanya kepada saya (mungkin secara iseng), “kenapa sih pulau Bung namanya Lombok? Emangnya disana cuacanya panas banget ya..?”. Kawan Bandung saya ini rupanya menyangka bahwa Lombok (dari asal kata pulau Lombok) itu artinya cabe (sunda; cengek). Setelah pertanyaan itu saya beberapa kali kemudian teringat dengan sebuah buku yang dulu pernah saya baca. Buku (yang judul dan penulisnya saya lupa) itu adalah kepunyaan almarhum Bapak saya. Isinya berkisar seputar tata cara pemakaman dan prosesi tahlilan masyarakat Sasak. Tapi, di awalnya juga diceritakan tentang asal muasal pulau Lombok dan masyarakatnya yang mungkin saja (kesimpulan umumnya) merupakan subjektif penulisnya. Namun, terlepas dari hal tersebut sepanjang yang saya ingat, isinya memang cukup menarik sebab penulisnya juga mencantumkan referensi dan data dari sebuah observasi yang cukup baik.


Sekedar flashback, dalam buku itu diceritakan bahwa pulau Lombok dulu asalnya hanyalah sebuah daratan kecil yang meliputi wilayah dilereng gunung Rinjani saja dan berbentuk memanjang (bhs. Sasak; lombok atau tepeng). Oleh karena tempatnya terlalu sempit (sesek), maka masyarakatnya disebut orang Sasak (sesak). Selain itu, disebabkan oleh kaisan ayam bekisar milik Dewi Anjani (salah satu tokoh legenda masyarakat Sasak yang bersemayam di gunung Rinjani), maka lama kelamaan daratan pulau Lombok yang tadinya sempit dan berbentuk memanjang menjadi tambah besar (lebar).


Opini pertama tentang (sesek ke sesak menjadi sasak) tentu saja sangat kental pengaruh bahasa indonesianya. Dan opini kedua tentang (lombok atau lurus menjadi Lombok) sangat penuh dengan aroma legenda yang tentu saja sangat susah dipertanggungjawabkan secara ilmu sejarah (sains). Sebagai orang Sasak saya tidak berkecil hati dengan minimnya data sejarah asal muasal keberadaan masyarakat Sasak dan di pulau Lombok. Semua asal nama tempat dan suku di Indonesia rata-rata seperti itu. Sangat dipengaruhi oleh cerita (dongeng atau legenda). Dongeng dan fakta sejarah kadang-kadang dicampur aduk sehingga menjadi sebuah formula ‘data sejarah’ yang dianggap otentik dan valid. Ini memang tidak terlepas dari SDM dan parameter pemahaman masyarakat Indonesia secara umum sampai saat ini masih tradisional.


*******


Di lain kesempatan, kawan saya (yang sepertinya sangat menyukai sejarah dan kebudayaan) kembali bertanya dengan sedikit opini, “Apa sih ciri khas dari gamelan sasak? Semua gamelan di Indonesia alat-alatnya hampir sama. Perangkat seperti suling, kendang dan lainnya hampir nggak ada yang beda. Anda dulu pernah mengatakan tentang kelenang. Itu sama dengan kulintang, kan? Secara umum, gamelan itu malah lebih identik dengan Jawa (Jawa tengah dan Jawa Timur) dan Bali lho..! Di Jawa Barat, alat musik kecapi sudah menjadi ikon budayanya. Malah di Sumatera, khususnya daerah Minangkabau, Sumatera Barat, musik tradisional dengan khas melayunya lebih kental..”.


Penjelasan yang bisa saya berikan waktu itu kemudian hanya sebatas Gendang Beleq dan model suara suling dan irama gamelan Sasak. Entah, apakah penjelasan saya benar atau tidak. Disitu saya memberikan gambaran bahwa gamelan sasak itu ketukan iramanya seperti pertengahan antara gamelan Jawa yang pelan / lembut dan gamelan Bali yang cepat / bersemangat. Kemudian suara suling sasak itu seperti kita membayangkan angin laut yang notabene berbeda dengan angin gunung (istilah saya untuk mengatakan Jawa). Bagi kawan saya itu, penjelasan yang saya berikan mungkin terdengar aneh dan ngejelimet. Entah valid atau tidak, tapi hanya itulah hal yang bisa saya berikan. Tidak pula saya ceritakan tentang tradisi Presean. Ini cukup untuk kemudian membuat kawan saya itu manggut-manggut seperti domba Garut.


*******


Di milis Komunitas Sasak, kawan-kawan Lombok (sasak) saling berbagi ‘kamus’ tentang bahasa sasak (yang baik dan benar menurut perspektif dan subjektif mereka) dengan tujuan (sepertinya) untuk saling melengkapi dan mencari kesepahaman bersama. Saya pribadi setuju dan sangat sepakat. Walaupun hingga seorang kawan yang sedang menyelesaikan skripsinya (tentang kamus Bahasa Sasak) sempat meminta bantuan di milis tentang bahan skripsinya itu dan tidak banyak anggota milis yang bisa memberikan bantuan. Kamus bahasa sasak mungkin masih terlalu sulit untuk dicari referensinya. Saya pribadi kemudian mengakui, bahwa saya sebagai orang sasak (dengan ibu dari Lombok Tengah dan bapak dari lombok selatan) masih tidak mengerti dengan identitas saya sendiri. Biarpun itu hanya sebatas bahasa yang telah saya dengar dan pergunakan, mungkin dari semenjak saya masih dalam kandungan. Bahasa adalah salah satu unsur budaya dan budaya adalah identitas. Untuk itulah saya kemudian disebut (dan menyebut diri) sebagai orang Sasak.


*******


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca koran dan melihat informasi di TV. Tentang kejadian busung lapar di NTB (Lombok). Lombok Tengah ternyata masuk juga sebagai salah satu penyumbang tempat kejadian. Saya kemudian bersiap-siap, sebab benar saja setelah itu seorang kawan saya nyeletuk, “Bukankah Lombok itu Lumbung Padi, kok ada busung lapar.. kayak Somalia aja..”. Untuk kesekian kali saya cuma bisa tersenyum kecut. Dan masih hangat kemudian, lotengpers memberitakan hal yang sama baru-baru ini. Korban gizi buruk sepertinya bertambah lagi.


Kemudian ada yang menambahkan, “Kalau kita main ke Lombok aman-aman nggak disana, Bung? Saya lihat berita TV, di Lombok itu perang terus antar kampung. Belum lagi rampoknya.. Padahal saya sekali-sekali pengin berlibur kesana. Denger-denger pantainya keren banget, lebih bagus dari Bali..”.


Untuk yang satu ini saya mantap menjawab, “Aman.. untuk berlibur Lombok itu aman banget, jangan khawatir.. Silahkan aja mau datang kapanpun, bila perlu saya temenin..”.


Ah.. entahlah (sekali lagi), apakah saya terlalu sering bercerita (dengan bersemangat) bahwa Lombok itu adalah sebuah tempat yang sangat luar biasa. Sebuah tempat yang bisa mewakili kalimat Alm. Soeharto, sebagai bumi gemah ripah loh jinawi. Saya belum bisa memastikan apakah cerita saya yang terkadang sangat bersemangat tentang Lombok adalah sebuah kesalahan atau kekeliruan. Sebab, (seperti harapan masyarakat Lombok umumnya) saya juga ingin Lombok itu bisa terkenal dan maju. Untuk itu harus dikampanyekan dan ‘diiklankan’ keberadaan dan segala potensi atau sumber daya alamnya dengan berbagai cara. Keberadaan saya di rantauan juga bisa saya manfaatkan sebagai ‘duta’ untuk mengkampanyekan itu. Apakah itu duta pariwisata, duta budaya, dan sebagainya. Tapi, mendengar kembali bahwa di Lombok Tengah muncul lagi kasus busung lapar, saya jadi bingung. Walaupun saya tidak tahu pasti apakah pariwisata, budaya, keramahan, dan busung lapar adalah sesuatu yang berkolerasi.


*******


Masyarakat Lombok secara sosial (baik secara sistem maupun pemahaman) saat ini sangat kental dengan budaya ‘invasi’. Karakter orang Sasak yang sangat familiar dan terbuka kepada pendatang menjadikan proses afiliasi dengan budaya sosial ‘invasi’ menjadi lebih cepat dan cenderung gampang untuk diterima. Apalagi budaya sosial di Indonesia memang relatif sama atau mirip. Opinion leader semacam pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan birokrat juga cenderung ‘berguru’ keluar. Namun, tidak selamanya apa yang ditimba itu baik atau diimplementasikan secara baik oleh para pemegang opini tersebut. Seperti sebuah virus, hal ini kemudian mulai merambah dan mengakar dikalangan masyarakat kebanyakan atau paling tidak ditingkat opinion leader lokal. Jika sudah seperti ini, karakter dan kepribadian asli masyarakat Sasak yang beragama dan berbudaya serta bernorma pun menjadi (seperti) hilang.


Jika aplikasi dan tujuan sudah melenceng jauh. Maka hasilnya? Ketidakjujuran, pemakaian sistem kekerasan, penindasan yang lemah, keluargaisme (sedarah), pembohongan publik, dan lain sebagainya kemudian menjadi semacam kolaborasi ‘mode’ yang sangat digemari. Tidak hanya dikalangan masyarakat tradisional tapi sudah menjadi semacam karakter umum dari pemuka agama, pemuka adat, dan pejabat. Tapi jangan salah, kondisi ini bukannya tanpa komplain. Tuntutan hidup yang layak menjadikan masyarakat akhirnya mmilih alternatif lain untuk bisa mengangkat keadaan ekonominya. Ini bisa kita lihat dari tingginya arus masyarakat Sasak yang pergi ke luar negeri, semacam; Malaysia, Brunei, Timur Tengah, atau ke daerah Asia Timur semacam Korea Selatan dan Jepang. Suatu hal yang sebenarnya lumrah bagi orang di seluruh dunia sekalipun, untuk orang bekerja mencari rezeki dimana saja di planet Bumi ini. Hal pokok yang bisa dicermati adalah alasan kita untuk melakukan itu.


Secara umum, Lombok Tengah sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani. Sisanya adalah menjadi pegawai negeri atau lain-lain dan bagi yang tinggal di pesisir selatan mungkin lebih tertarik untuk menjadi nelayan. Jika melihat kondisi tersebut, maka kita sudah mahfum kalau faktor alam seperti curah hujan dan musim akan sangat mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Selama satu tahun kedepan kita harus makan apa, tergantung dari berapa hasil panen tahun ini. Selama ini pokok masalah kehidupan masyarakat Lombok Tengah memang cenderung complicated. Itu harus kita akui sebagai sebuah fakta yang sungguh valid.


Selama ini, Praya sebagai ibukota kabupaten adalah merupakan miniatur Lombok Tengah. Kondisi Lombok Tengah bisa dilihat dari kondisi Praya. Walaupun ada benarnya, namun tidak selamanya miniatur itu mencerminan keadaan yang sesungguhnya dari kondisi keseluruhan. Apalagi untuk konteks kehidupan masyarakat dari sisi ekonomi maupun sosialnya yang senantiasa dinamis. Tingkat SDM yang rendah juga sangat menentukan bagaimana suatu masyarakat bisa survive menjalani hidup. Hal yang agak berbeda untuk sebagian kecil golongan yang hidup dari asupan gaji. Dalam arti kata, kondisi hujan dan musim tidak sepenuhnya berpengaruh. Berarti disini ada sebuah semacam kesenjangan.


Tulisan ini tidak sebagai sebuah protes terhadap sebagain kecil masyarakat Lombok Tengah yang berada dalam kondisi mapan. Tidak sama sekali dan jauh dari hal tersebut. Alangkah baiknya kalau kita lebih melihat kepada sesuatu secara sistem. Sebab, sistem telah memudahkan manusia untuk membuat ukuran penilaian dalam melihat kelebihan dan kekurangan dari sesuatu. Tolak ukurnya? Untuk kehidupan masyarakat tentu saja program kerja dan tingkat kesejahteraan. Kondisi kesejahteraan masyarakat tidak begitu saja dipertanggungjawabkan kepada kondisi cuaca hujan yang jelas-jelas merupakan sebuah kondisi alam. Namun, pemberdayaan masyarakat harus lebih diutamakan sehingga masyarakat bisa mempunyai alternatif pilihan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Apapun hal yang diprogramkan atau yang dilakukan oleh pemerintah, tujuan utamanaya jelas; MENINGKATKAN TARAF KESEJAHTERAAN RAKYAT.


Kasus meningkatnya pencurian, perampokan, perang antar kampung, dan gejolak sosial lainnya janganlah hanya dilihat dari sisi karakter masyarakat tradisional saja. Ada persoalan tentang lilitan hidup disana. Ada masalah eksistensi hidup dan hasrat pengakuan yang tidak terarah. Berarti pola pengayoman dan pemberdayaannya ada yang kurang tepat. Walaupun tidak kita pungkiri juga, bahwa perilaku agresif negatif masyarakat yang seperti itu cukup mengganggu stabilitas daerah yang berarti juga menganggu arus ekonomi yang masuk ke Lombok Tengah sebagai salah satu daerah tujuan wisata di NTB dan Indonesia. Namun akar masalahnya saja tidak disentuh, bagaimana mau selesai?


Seorang kawan di Lombok Tengah melakukan ‘pembelaan’, “masalahya adalah rata-rata orang Lombok Tengah itu tidak kreatif.. mereka cuma bisa melakukan pekerjaan warisan, yaitu bertani saja. Selain itu, susah..”. Nah lho.. kenapa orang Lombok Tengah seperti itu jadinya?!


Sebuah keuntungan bagi Lombok Tengah adalah potensi alamnya (terutama wilayah pantai) sebagai aset berharga yang siap untuk dikelola dan dikembangkan. Hasilnya, kalau merujuk kepada undang-undang, adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu sebagai contoh, pembangunan Bandara Internasional (yang ‘mengorbankan’ ribuan hektar sawah petani yang masih tergolong produktif) bisakah mengangkat harkat masyarakat Lombok Tengah atau NTB? Harusnya (harus) bisa!! Sebab, selain mendatangkan devisa yang besar buat daerah maka iming-iming banyaknya pekerjaan di bandara itu bagi kaum pribumi Lombok memang harus kita perhitungkan pula.


Tapi, masalah pokok yang muncul adalah kita disana sebagai apa. Tukang parkir? Jual rokok asongan? Penjaga hotel dan restoran? Tukang pukul pub dan karaoke? Sopir taksi? Atau apa? Bandara itu adalah sebuah proyek bertaraf internasional yang tentu saja membutuhkan kemampuan atau SDM yang baik dan cocok. Investor luar negeri tidak akan mau tahu kita orang pribumi atau tidak. Mereka hanya melihat orang (pekerja) itu dari sisi kemampuannya saja yang akan disesuaikan dengan kebutuhan. Akan sangat professional model perekrutan nantinya. Sebab bagi mereka, this is a business .. Sah-sah saja dan itu wajar. Tinggal kita sekarang. Mampukah kta bersaing untuk bisa masuk di ranah itu? Saya pribadi belum bisa memastikan. Sebab, sampai tulisan ini dibuat, saya belum pernah mendengar program Lombok Tengah untuk meningkatkan kualitas SDM (pendidikan) masyarakatnya secara signifikan.


Seorang kawan yang lain di Lombok Tengah bercerita, “Anggaran Lombok Tengah sekitar 64 persen itu cuma berputar dikalangan pengusaha saja..”. Wow.. 64 persen berarti lebih dari setengah (jika itu jumlah pemilih, akan lebih dari cukup untuk memenangkan sebuah pemilu) dan hanya berada dikalangan minoritas.


Kritis juga dia, tapi kawan ini tidak menjelaskan tentang sisanya dan data itu dia dapat dari mana bahwa realisasi anggaran itu hanya berputar dikalangan elit saja. Jika itu pengusaha, usaha apa mereka? Saya tidak begitu antusias menanyakan tentang itu. Sebab, dengan berita busung lapar dan gepeng saja saya sudah pesimis dengan program pemerintah Lombok Tengah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Isu sentralisasi pembangunan pun semakin sering saya dengar dan Janapria itu (menurut saya) tidak begitu jauh dari Praya. Jadi, kedatangan gepeng ke Praya itu sebagai sesuatu yang lumrah. Sebagai bagian dari rakyat, mereka datang untuk menuntut haknya. Hak untuk hidup layak (tidak sekedar supaya mampu bertahan hidup) dan sejahtera.


…………………..

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak terbebas dari kelaparan merupakan hak asasi paling dasar. Bahkan, hak-hak asasi lain tidak akan terpenuhi tanpa lebih dulu menjamin hak atas kecukupan pangan dan gizi. Hak atas pangan dideklarasikan sebagai HAM melalui berbagai perjanjian internasional. Di antaranya, Deklarasi Universal untuk HAM tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan (pangan), pakaian (sandang), dan rumah (papan)....

…………………….


Lebih menyedihkan, laporan Dinas Kesehatan NTB, dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami busung lapar selama Januari-Mei 2005, tujuh di antaranya meninggal.


(Widodo Dwi Putro. Kompas edisi 25 Maret 2008)


Berkaitan dengan kasus-kasus diatas, lotengpers di media online-nya pun pernah memberitakan hal serupa (Gizi Buruk, Satu Balita Meninggal – 17 Maret 2008). Kecuali kasus L.Serinata yang pernah di panggil KPK, maka saya belum percaya apakah di Lombok Tengah juga berlangsung praktik korupsi. Tapi kejadian demi kejadian kemudian membuat banyak orang mulai menduga-duga.


Menilik sebuah tempat yang menjadi pusat lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tidaklah dalam arti kata harus bekerja disana. Tapi kemampuan menganalisa sebuah program untuk usaha yang nantinya akan dibuka dan mendukung keberadaan bandara (sebagai contoh saja) itu juga membutuhkan kemampuan. SDM? Tentu saja iya.. entahlah, apakah kita semua sudah sampai berpikir kesana. Pemerintah Lombok Tengah saya pikir pasti sudah berpikir tentang itu. Tapi, jika kemudian program pengembangan itu cuma berlaku untuk kalangan elit (pengusaha atau kerabat dekat, seperti yang ‘dituduhkan’ oleh kawan saya itu) saja, maka saya jadi curiga bahwa jangan-jangan para penguasa di Lombok Tengah itu menganut prinsip anti kemapanan bersama. Kalau sudah seperti itu, maka tidak ada kata lain selain masyarakat Lombok Tengah harus kembali melakukan perlawanan. Mohon maaf, jangan sampai slogan “satu komando satu perlawanan” itu kemudian disalahartikan sebagai stimulus (baik berupa ide atau aplikasi gerakan massa) untuk sebuah tindakan anarkis yang kampungan. Maksud saya bukan seperti itu, karena perjuangan itu bisa lewat banyak cara yang tentu saja baik, cerdas, dan beretika.


Saat opini ini saya hembuskan, di Bumi NTB sedang gonjang-ganjing persiapan untuk pemilihan gubernur. Saya pribadi merasa NTB atau Lombok Tengah itu tidak membutuhkan sosok gubernur atau bupati, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah sosok atau seorang pemimpin. Kita sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan saat kampanye. Para calon (orang-orang yang berkepentingan) akan menjadi sangat dermawan, murah senyum, sok akrab, dan gemar mengumbar janji-janji. Mungkin masyarakat NTB atau Lombok Tengah sudah sangat jenuh dengan segala tetek bengek omong kosong para politikus tersebut. Masyarakat dengan segala beban hidup dan penderitaan hanya dijadikan komoditi iklan kampanye untuk sebuah kekuasaan. Retorika semu dengan bahasa-bahasa politik yang oportunis. Realita klasik, kemiskinan masyarakat itu selalu ada didekat kita. Tersangkut dipagar halaman rumah kita. Untuk itu, sebelum masa pemilihan tiba, mari kita instropeksi diri agar kita tidak mengutuk-ngutuk pilihan kita nanti.


………………………………………………………….

Di sini hari ini ada begawe besar bernama panen raya
Berbondong-bondong kami memilih bupati dan gubernur
Seperti bercocok tanam kami menusuk-nusuk gambar di ulu hati
Mencoblos angka dan janji
Jantung kami terpancung belati,

(PANEN RAYA – Sulye Jati)


*******


Judul tulisan ini adalah “Bahasa Ibu, Identitas Diri, dan Busung Lapar”. Melihat dan mendengar kondisi Lombok Tengah sekarang ini, maka saya kemudian berpendapat bahwa Bahasa Ibu kita sekarang tidak semata hanya bahasa daerah, yakni Bahasa Sasak saja. Tapi, bahasa ibu menurut perspektif saya adalah BAHASA NURANI, sebuah bahasa hati kepada masyarakat. Bahasa yang membuat masyarakat menjadi tenteram, adil, aman, dan sejahtera. Sosok ibu adalah orang yang akan melakukan apa saja demi anak-anaknya. Demi mereka yang dalam ayoman, pengawasan, dan asuhannya. Agar bisa tetap sehat, pintar, nyaman, dan tidak terlantar.


Bahasa ibu adalah sebuah bahasa yang tidak hanya sekedar janji-janji percuma yang ketika ditagih kemudian menjelma menjadi pentungan congkak dan arogan. Terlalu sempurna dan mengkhayal? Tidak.. Kalau mau diaplikasikan insya Allah terwujud. Dengan itu masyarakat akan bisa tinggal landas meninggalkan kemiskinan. Tidak hanya kalangan tertentu saja dan masyarakat miskin tetap saja tinggal dilandasan.


Dengan bahasa hati maka para ‘penguasa’ Lombok Tengah akan bisa jernih melihat kondisi realita masyarakatnya. Seberapa pintar mereka sekarang atau masih tetap bodoh? Masih teraturkah mereka makan setaip hari? Kalau sakit mereka mampu berobat ke dokter atau tidak? Alasan mereka jauh-jauh merantau itu apa? Kemampuannya tidak dianggap, menjadi ancaman, atau di Lombok Tengah sudah susah cari makan? Jika mereka sudah biasa bertanya seperti itu, maka kita akan mulai bangga dengan IDENTITAS KITA sebagai orang Lombok Tengah. Bukan hanya sebagai (eks) Bumi Gora dan yang tinggal sejarah.


Sekarang ini, dimana kita cuma bisa bangga bahwa di Lombok Tengah sekali setahun ada event Presean akbar di lapangan Muhajirin. Setahun sekali kita punya hajatan Pesta Pantai di Kuta ketika Bau Nyale. Bangga bahwa Bupatinya-nya sangat berbudaya dan selalu menggalakkan olahraga berkuda (!?). Tapi, setelah itu anak-anak bergizi buruk dan akhirnya mati busung lapar, keluarga terlunta-lunta dijalanan menjadi gelandangan atau pengemis dan dianggap ‘sampah’ sehingga harus digaruk, dan orang-orang Sasak lainnya (yang SDM-nya dianggap rendah) berkeliaran di negeri orang jauh di sana meninggalkan anak istri untuk menjadi pekerja kasar dan buruh-buruh migran perkebunan. Sementara itu setiap LPJ Bupati akan ditutup dengan tepuk tangan para anggota dewan, bahwa proram pemerintah terhadap masyarakat sudah berhasil. Naïflah kita.. naiflah nurani kita.. Negeri ini bukanlah warisan dari nenek moyang siapapun. Negeri ini hanyalah pinjaman dari anak cucu kita semua.





-----oooo-----

Selasa, 25 Maret 2008

kampus oh kampus ..

**Praktikum :

Teka - Teki Dahulu, Saat Ini dan (mungkin?) Masa Depan


*Oleh: G. Sulye Jati – K0B03218


Mendengar kata praktikum, maka mahasiswa Fikom tiba-tiba akan menjadi ‘orang rabun’, selalu meraba-raba. ‘Salah pegang malah kena kentut’. Jika dirunut kebelakang akan kita jumpai salah satu masalah klasik yang selalu menjadi PeeR bagi Organisasi Kemahasiswaan seperti BPM. Sepertinya jawaban yang didapat pun selalu klasik.

Apa yang terjadi dengan praktikum dalam kampus ini? Melihat jumlah Rp.600.000 (enam ratus ribu rupiah) sebagai biaya praktikum paling tinggi yang saat ini dibayarkan per mahasiswa di Fikom tiap semester, maka harusnya semua teka-teki menjadi tuntas. Selama ini penggunaan uang praktikum yang berhasil dideteksi oleh mahasiswa terlihat sangat tidak efektif. Sepertinya pihak Fakultas dan Pengelola Program terlihat bingung untuk mengadakan praktikum bagi mahasiswanya. Ada yang aneh..

Kita ambil contoh Program D3 PAKT Fikom Unpad. Baru-baru ini mahasiswa angkatan 2005 D3 PAKT mengadakan apa yang disebut Kuliah Lapangan (Kulap). Kegiatan kulap (yang sering menjadi kontoversi antara mahasiswa dan birokrat) yang tidak pernah ada anggaran ketika dibayarkan oleh mahasiswa saat registrasi tiap semester, tapi malah sangat sering dilaksanakan. Dari mana pos anggaran kulap tersebut? Ada indikasi dana kulap berasal biaya praktikum (mudah-mudahan saya salah). Jika itu yang dipakai, lalu bagaimana dengan Praktikum tersebut?

Selama ini praktikum yang didapat oleh mahasiswa adalah tugas mata kuliah dari dosen yang dikerjakan dirumah. Pembiayaan (kalau harus ada biayanya) biasanya oleh mahasiswa pribadi, karena memang biayanya tidak begitu besar dan kawan-kawan mahasiswa memang jarang saya dengar berkeberatan. Tapi, berbeda sekali dengan jumlah Rp. 600.000,- yang terbilang ’wah’ bagi mahasiswa proletar. Bayangkan jika dari total yang dibayarkan per mahasiswa (mahasiswa Fikom saat ini sudah dikisaran angka 5000 orang) tiap semester digunakan sebesar Rp.150.000 saja untuk praktikum yang sebenarnya. Akan didapat angka Rp. 750.000.000, apalagi kalau Rp.250.000 dan tinggal kalikan saja. Jika itu kemudian digunakan untuk membeli alat-alat praktikum dikampus, selama 2 semester saja maka Fikom sudah sangat memadai peralatan penunjang pendidikannya. Sedangkan untuk membangun Student Center (dengan jumlah dana yang misterius, karena tiap pihak menjawab berbeda dan ada juga yang No Comment) saja Fikom sangat mampu. Ada sistem subsidi silang antar fakultas di Unpad (mungkin setelah dipotong Rektorat), tapi sangat tidak logis kalau itu kemudian yang menjadi alasan.

Praktikum yang dimaksud saat ini cenderung adalah kulap. Padahal antara praktikum dengan kulap itu berbeda, baik dalam teknis pelaksanaan maupun tujuannya. Ada sejenis krisis kepercayaan dikalangan mahasiswa tentang alokasi atau penggunaaan dana praktikum ini oleh pihak kampus. Ini didasari oleh keadaan Fikom yang sangat megah dalam infrastruktur fisik kampus (termasuk pengadaan bus –yang terkenal dengan sebutan Tugu Fikom- dan mobil-mobil), tapi sangat lemah dalam peralatan infrastruktur penunjang pendidikannya. Peralatan yang tua dan sangat kurang. Apa kabar pihak Rektorat? Apakah anda berkeinginan untuk jalan-jalan ke Fikom?

Tidak bermaksud kemudian untuk mengatakan bahwa dana praktikum harus diaudit, tapi alangkah baiknya kalau pihak-pihak yang terkait bisa transparan dalam masalah yang satu ini. Apa yang harus ditakutkan kalau memang penggunannya jelas? Pembangunan Fisik kampus itu bagus, tapi pengadaan sarana (peralatan) praktikum yang cukup adalah bagian utamanya. Sebab, mahasiswa yang ada disini adalah untuk belajar dan bukan untuk sekedar bermain-main saja.

Haruskah kemudian Fikom di audit? Kenapa petinggi Fakultas dan Rektorat seperti tutup mata dengan jari tangan? Akan kemana tujuan praktikum nantinya? Kemudian kenapa pembayaran praktikum dikurangi saja kalau memang pelaksanaannya tidak memakan biaya besar? Kalau Pengelola Program, Fakultas, dan Rektorat sama-sama saja, lalu siapa yang harus mengaudit? Bagaimana harus bersaing menjadi BHPT kalau sistem seperti itu? Ini memang masalah klasik (se-klasik alasan-alasannya), semua memang teka-teki, mungkin hanya Tuhan saja yang tahu..


*Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa
Fikom Unpad 2005 -2006


**pernah dimuat di bulletin IMAGE Fikom Unpad Tahun 2006



--------------00000000000-----------------

Senin, 24 Maret 2008

Kampung Halaman (1)



Oleh: Sulye Jati



“ Begini bos.. agama adalah jiwa untuk menjalankan amanat yang diemban, bukan sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan. Janganlah terlalu serakah, bukankah pemimpin yang religius dan berbudaya itu tidak mesti seorang Tuan Guru atau seorang ningrat kan?! Jika tidak ingin dikritik, maka jangan berbicara apapun.. jangan melakukan apapun.. dan jangan menjadi apapun. Tapi, kalau itu belum terlaksana bukan berarti kita harus anarkis kan?! .. “


“ .. saya bukan anti pemerintah, bukan juga tidak menghargai dan menghormati posisi seseorang yang sudah jelas-jelas memang keturunan pemimpin. Tapi, tidak setiap keturunan pemimpin bisa jadi pemimpin kan? Apakah anak maling harus jadi maling juga? Mari kita realistis.. kredibilitas dan kemampuannya memang harus dipertanyakan kembali. Dan hal yang terjadi sekarang di Lombok Tengah adalah kolusi dan nepotisme edan-edanan.. Protes?! Siap-siaplah untuk dikeprok sama algojonya. Pers jangan terlalu diharapkan. Oportunis semua.. “


Membuka tulisan ini saya tidak akan beromantisme dulu dengan sejarah reformasi negeri ini yang sangat kelam dengan pelanggaran HAM-nya. Saya lebih tertarik untuk mengingat kembali percakapan saya dengan seorang kawan di kampung, melalui telepon beberapa waktu lalu. Kesimpulan yang saya dapat dari kawan itu adalah kurang lebih seperti petikan dialog diatas. Tentu saja setelah sebelumnya kawan saya itu curhat tentang betapa tidak bebasnya manusia untuk ‘bersuara’ di Lombok Tengah (selanjutnya saya singkat Loteng).


Ada yang menarik dari berbagai informasi yang saya dapat; kebebasan berpendapat, nepotisme, tidak berlakunya right man on the right place, regenerasi yang tidak tepat sasaran, dan pemimpin yang bukan pemimpin. Entahlah.. Dari sudut pandang apa kawan saya melihat. Subjektif mungkin iya. Tapi yang jelas, seorang manusia (rakyat) di Loteng telah memberikan penilaian. Toh, menurut saya (lagi-lagi mungkin subjektif) didunia ini tidak ada yang bebas nilai. Mencari opini dan penilaian objektif hanyalah mimpi saja. Kenapa? Sebab tentu saja semua manusia punya kepentingan dan inilah yang membuat sudut pandang menjadi tidak akurat. Disamping penindasan dan atau intimidasi yang dirasakan.


Kondisi Indonesia pasca reformasi dengan media yang terus menggeliat saat ini menjadikan bisnis media massa adalah lahan menyenangkan bagi sebagian orang.

Sebagai gambaran, pada zaman orde baru perusahaan koran yang memiliki Surat Izin Umum Penerbitan Pers (SIUPP) hanya 321. Saat itu media televisi juga hanya TVRI. Tapi, setelah Mei 1998 semuanya berubah. Reformasi yang muncul membawa angin baru bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Media massa cetak pun muncul seperti cendawan di musim hujan. Hanya dalam tempo satu tahun setelah reformasi, jumlah media massa cetak bertambah menjadi 852 perusahaan. Hingga kini, jumlah itu terus berkembang. (Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung – Suplemen Kampus edisi 29 Maret 2007).


Entahlah.. mengapa semua orang ingin berbisnis media massa. Euforia kebebasan berpikir dan berpendapat tetaplah sebagai salah satu alasannya, tentu saja selain murni sebagai bisnis. Dikarenakan semua orang demen bicara bebas ya harus disediakan medianya. Jadilah itu bisnis. Seperti jual cendol dimusim kemarau.. insya Allah, kemungkinan laku tinggi. Birokrat dan politikus pun sangat mahfum akan hal itu.


Di Loteng, kepemimpinan bupati sebelum reformasi di dominasi oleh orang-orang kiriman dari Jawa. Sebagai daerah yang merupakan bekas wilayah jajahan Majapahit dan Mataram, ditambah dengan karakter orang Lombok yang sangat familiar dan terbuka. Maka, semua itu tidaklah masalah. Sampai ada lelucon, kalau gaya pejabat di Loteng saat ini selalu ingin seperti gaya pejabat Jawa. Baik itu dari tingkah laku mengaturnya maupun gaya dan logat berbicaranya. Biarlah itu. Toh itu cuma masalah pribadi. Selama itu baik ya tidak masalah.


Sebagai bagian dari bekas invasi Jawa dan seperti ingin mengikuti tradisi didaerah bekas ‘rajanya’ dulu maka, kehidupan di Loteng selanjutnya selalu didominasi juga oleh kaum ningrat dan kiyai (ulama / Tuan Guru). Reformasi sepertinya terlalu lemah untuk merubah tradisi bahwa pemimpin itu harusnya berasal dari kalangan ningrat dan atau ulama. Entahlah.. jika yang terjadi pada tahun 1998 itu bukanlah reformasi, tapi revolusi. Wallahua’lam bish shawab.


Tidaklah aneh di Indonesia jika kaum ulama dan ningrat banyak bercokol di tempat-tempat strategis birokrasi dan politik. Suksesnya Kesultanan Yogya dan Cirebon bisa menjadi contoh hal tersebut. Di paham demokrasi perihal itu sah-sah saja. Namun tidak semua kemenangan yang diperoleh berdasarkan atas penilaian pemilih terhadap kapabilitas calon. Konteks calon sebagai seorang pemimpin di ranah republik belumlah berkembang di masyarakat. Di masyarakat Loteng, sudut pandang penilaian lebih diarahkan (oleh siapa?) kepada tradisi dan pengaruh tradisional. Sisi intelektual dan kredibilats modern diabaikan.


Sebuah studi kasus; kemenangan H.L.Wiratmaja sebagai Bupati Loteng saat ini dan berhasilnya L.Wire Abraham (putranya H.L.Wiratmaja) sebagai Kepala Desa Jago bisa menjadi contoh alasan bagi sebagian kaum non ningrat dan non ulama untuk ‘menggugat tradisi’. Padahal untuk negara yang menganut paham demokrasi moderen, latar belakang (selain sebagai orang ningrat) beliau berdua memang jauh dari kriteria dan syarat. Sebab hampir semua masyarakat Loteng sampun wikan, maka disini saya tidak ingin menggunjing. Everybody knows.. Jadi, untuk nepotisme besar-besaran di Loteng saya pribadi tidaklah heran. Kemenangan dengan pengaruh faktor X adalah hutang politik yang tetap harus di bayar.


Rata-rata semua daerah di Indonesia masih seperti itu kondisinya, walaupun Loteng memang berada dalam posisi yang masih ‘luar biasa’ (maaf, lihatlah semua posisi struktur birokrasi saat ini di Loteng). Pertanyaan yang muncul adalah; apakah semua orang yang non ningrat dan non ulama di Loteng tidak ada yang pantas dan kredibel? Sangat tidak logis jika jawabannya adalah YA! Revolusi di Rusia dulu juga berasal dari pertanyaan kecil seperti itu (disamping sebab-sebab lainnya yang tentu saja sangat politis). Namun, alasan yang biasanya dilontarkan rakyat setiap menggugat pemerintahnya adalah tidak transparansinya pemerintah dan tidak aspiratifnya menjalankan kebutuhan masyarakat. Untuk Loteng, ada tambahan info; keluarga bupati sekarang sangat pongah dan terkesan arogan. Attitude dan tingkah laku kesehariannya tidak mencerminkan keluarga pemimpin yang harus di gugu dan di tiru. Entahlah.. saya pribadi tidak pernah telpon-telponan ataupun SMS-an dengan keluarga Bupati Loteng. Apalagi akrab-akraban he..he..he..


Indonesia mempunyai banyak agama dan budaya sebagai latar belakang masing-masing daerah. Keberadaan agama dan budaya itu adalah kemudian menjadi suatu norma dan aturan tidak tertulis yang disepakati bersama masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengatur kehidupan sebagai negara, maka Indonesia mempunyai aturan yang sama untuk seluruh daerahnya. Sinergisnya pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin pemerintahan di daerah akan menciptakan suasana yang kondusif dan berkekuatan untuk daerah tersebut menjadi maju.


Dalam masyarakat modern, pemuka agama dan pemuka adat mempunyai tempat tersendiri dan tidak masuk secara struktur dalam dunia pemerintahan negara. Untuk kesetaraan yang demokratis, maka mereka bisa masuk diwilyah itu jika mempunyai kecakapan dengan kredibilats dan kemampuan secara asumsi negara. Salah satunya adalah latar belakang pendidikan. Negeri ini (sekali lagi) tidak membatasi siapapun untuk menjadi apapun. Syarat yang termaktub sudah begitu jelas. Tapi, hendaklah yang berminat tahu diri. Jika ada yang lebih baik kenapa harus tetap ingin menjadi (?). Pengaruh keagamaan yang dimiliki dan pengaruh garis keturunan yang menitis harusnya bisa dijadikan kekuatan bagi putra terbaiknya untuk membangun daerah. Bukankah mengurus sebuah daerah dengan sistem birokrasi tidak seperti mengurus pesantren dan ceramah dalam pengajian? Bukankah menjalankan roda pemerintahan tidaklah seperti menjalankan suatu acara kawinan dengan cara adat atau menggelar sebuah event presean? Jika para ulama dan kaum ningrat itu bisa (dan sadar) ya silahkan. Tapi, kalau tidak bisa dan tidak bisa di kritik (masukan) ya jangan pagah.


Konsep demokrasi yang di anut Indonsia adalah demokrasi ala eropa. Hal inilah yang seharusnya bisa membuat kaum agama dan kaum ningrat susah masuk (jika mereka tidak mau membuka ‘pakaian’ ulama atau ningratnya). Kenapa? Posisi sebagai pemuka agama dan pemuka adat (ningrat) menjadi tidak berlaku ketika masuk di ranah pemerintahan. Anda salah masyarakat bisa protes. Anda keliru rakyat boleh menggugat. Anda tidak becus, turunkan atau ganti sekarang juga. Hal tersebut akan berbeda jika itu dalam lingkup agama atau adat. Sebuah fatwa ulama atau keputusan adat adalah mutlak. Sebab mekanisme pertanggungjawabannya adalah kitab suci atau norma budaya dan adat istiadat. Siapa yang paling mengerti itu? Tentu saja ulama dan pemuka adat. Untuk konteks itu, ummat seyogyanya memang harus selalu ikut saja. Hampir-hampir tidak ada demokrasi pada wilayah itu.


Dari semua tersebut diatas, marilah kita bertanya kepada ibu kita masing-masing, “ sampun berembe Loteng mangkin, menurut pekayunan pelungguhm? ”. Panggung politik di Loteng saat ini masih saja di banjiri oleh kaum ningrat dan ulama yang ‘biadabnya’ mereka tidak mau menanggalkan atribut ulama dan atau ningratnya. Sah-sah saja, itu hak individu untuk ikut berkompetisi. Tapi, buka dulu ‘pakaiannya’ dan terimalah konsekuensi politik yang demokratis. Posisi di birokrasi akhirnya tetap membuat para ulama dan ningrat selalu oportunis. Pemerintahan kemudian berjalan otoriter dengan sistem penokohan yang sangat klasik. Tidak ada protes karena si A itu keturunan Tuan Guru. Tidak ada komplain sebab si B itu orang ningrat. Demokrasi pincang dan masyarakat biasa tetap bodoh. Jika ada suara ‘keras’ sedikit, maka itu dilempar ke masyarakat dengan bahasa yang provokatif. Maka yang kemudian terjadi adalah konflik (yang diciptakan). Rakyat yang (maaf) bodoh, hanya dijadikan bumper dengan dalih melindungi Tuan Guru-nya atau membela Lalu-nya. Biar salah juga dibela. Luar biasa. Paham feodalisme yang terus dipelihara oleh kaum elite di Loteng dan masyarakat pun tak pernah sadar bahwa itu adalah praktek pembodohan buat mereka.


Saya ber-positive thinking bahwa banyak orang hebat di Loteng dari luar kedua lingkaran ‘elit’ itu. Permasalahannya mereka belum mendapat kesempatan, kenapa? Pengaruh dan kemampuan mereka sepertinya tidak cukup untuk mendapat dukungan dari masyarakat Loteng. Masyarakat modern yang terdidik (terutama yang ber-SDM pendidikan politik yang baik) dalam memilih pemimpin akan lebih dan sangat mengutamakan sisi APA YANG KAMU BISA, ketimbang DARI MANA KAMU BERASAL kepada setiap kandiddat yang muncul atau menyodorkan diri. Jika di Loteng kemudian terpilih calon dengan kriteria DARI MANA KAMU BERASAL tanpa dibarengi APA YANG KAMU BISA, maka pertanyaannya adalah; apakah masyarakat Loteng (maaf) bodoh? Dan atau siapa yang ‘bermain’ dan apa kepentingannya? Kue politik adalah makanan terlezat bagi manusia Indonesia, terutama untuk daerah Loteng yang notabene masih menjadikan pegawai negeri sebagai cita-cita yang utama bagi sebagian besar masyarakatnya. Yah.. Kita harus realistis bahwa seperti itulah realitanya, seperti kata kawan saya itu.


Saya takut menggunjing. Ibu saya selalu berpesan untuk sedapat mungkin menjauhi posisi menggunjing. “Sangat tidak baik dan dilarang oleh agama,” katanya. “Nanti kamu bisa dapat karma,” beliau menambahkan. Hingga ibu saya pun melarang saya untuk menjadi seorang wartawan. “kerjaannya ngomongin orang terus..”, beliau memang kadang-kadang sok tahu. Walaupun sudah saya jelaskan bahwa berita itu tidak semuanya harus mengkritik pemerintah. Tapi, ibu saya tetap saja pagah dengan penilainnya. Ya sudahlah, tidak baik berdebat dengan ibu. Jadi, saya nurut saja biar sekalian berbakti mendengar kata orang tua. Toh beliau tidak protes jika saya sering menulis. Mungkin pikir beliau, menulis kan tidak mesti pekerjaan wartawan. Semua orang juga boleh menulis dan menjadikan tulisan sebagai dari ritme pekerjaannya. Dari pedagang sampai presiden juga menulis. Tapi, saya juga tidak bercita-cita kok untuk jadi wartawan. Jadi, atas larangan ibu saya itu, ya saya oke-oke saja J


Hal yang membuat saya bingung sehubungan dengan pesan dari ibu saya itu adalah saya menjadi sulit ketika harus berbicara atau menulis yang isinya semacam penilaian tentang seseorang secara personal. Dalam konteks apapun tetap saja saya bingung. Entahlah.. Saya amat sadar bahwa ibu saya adalah orang bodoh dan berpikiran kolot. Seperti orang-orang tua lainnya di Loteng, maka beliau juga sudah pernah hidup dibeberapa zaman yang sulit. Tapi, masyarakat Loteng kan tidak semuanya tua. Generasi mudanya juga sangat banyak, mungkin lebih banyak dari generasi tua. Apa ada yang salah pilih? Kenapa mulai ada yang menggugat kembali pilihannya? Iming-iming apa dan hal apa yang membuat mereka jadi seperti itu? Apakah mereka (maaf) bodoh juga? Kita tidak bisa melarang orang untuk menjadi tim sukses dan kaki tangan. Yang bisa dilakukan adalah mencerdaskan (sekali lagi) masyarakatnya dalam menentukan pilihan. Dengan begitu masyarakat Loteng tidak terus menerus dikategorikan sebagai pemilih tradisional semata (yang kampanyenya lebih hanya menggunakan cerita-cerita masa lalu dan slogan-slogan pendekatan historis serta kedekatan emosional semata).


Untuk melanggengkan kekuasaan, kaum penguasa secara sangat sadar tidak ingin rakyatnya cerdas (terutama pendidikan politik). Itu membahayakan koloninya penguasa. Jadi, jika itu masalahnya maka pihak yang bisa diharapkan untuk mencerdaskan rakyat adalah pers.
Posisi media massa moderen adalah sebagai elemen non pemerintah, dengan beberapa fungsinya antara lain sebagai alat pemberi informasi, pendidikan, penyebaran nilai-nilai, pengawasan, dan hiburan. Untuk mengawal roda pemerintahan yang bersih, adil, dan kondusif, maka itu adalah salah satu bagian dari tugas pers bersama masyarakat.
(Komunikasi Massa. 2004)


Maka, sudah selayaknya masyarakat Loteng menjadi cerdas dan kritis. Dalam konteks ancaman terhadap stabilitas nasional (semisal SARA dan sebagainya), maka pers menjadi mitra pemerintah untuk menghancurkan itu. Tapi, apakah peluang masyarakat Loteng untuk cerdas dan kritis adalah ancaman terhadap stabilitas nasional atau stabilitas Loteng (sehingga peluang itu harus dihancurkan)? Jika menilik kondisi masyarakat Loteng yang saat ini selalu saja seperti salah pilih dan senantiasa dalam bayang-bayang ketakutan untuk ‘bersuara’, maka saya pribadi menyimpulkan bahwa fungsi pers di Loteng saat ini (maaf) tidak berjalan cukup baik. Pers tidak cukup mau (atau mungkin tidak mau) untuk ‘menemani’ masyarakat menjadi cerdas dan kritis. Pers yang beredar di Loteng tidak bisa membantu masyarakatnya untuk menemukan kebebasan berpikir dan berpendapatnya. Tidak juga bisa membantu masyarakat untuk lebih menggunakan otak dan nurani yang maju ketika harus memilih seorang pemimpin, daripada harus mendengar celoteh tim sukses yang jelas-jelas sudah punya kepentingan tersendiri (individu maupun kolektif).


Tidak kita pungkiri, bahwasanya bisnis media massa tetaplah sebuah bisnis yang selalu menghitung untung rugi. Tidak aneh sebab mereka juga perlu materi untuk terus hidup. Untuk daerah berkembang seperti NTB, maka belanja iklan koran (sebagai rata-rata pemasukan terbesar koran di Indonesia) pada spot mahal biasanya didominasi oleh iklan Pemda atau Instansi terkaitnya. Apakah toko kelontong atau bengkel kecil mau pasang iklan? Apalagi tukang jual pelecing.. Jika ada pihak swasta yang pasang iklan, spotnya berapa besar yang mereka berani pasang. Rata-rata tidak lebih dari iklan BW (red: black white) ukuran kolom. Mungkin lebih murah bikin pamplet dan disebar-sebarkan, lebih murah biaya opersionalnya. Atas dasar itulah (mungkin) yang membuat Lombok Post –koran pertama yang terbit di Lombok dan sebelumnya bernama Suara Nusa- lebih nyaman menjadi anak manis birokrat, ketimbang harus idealis dengan tetek bengek semangat jurnalismenya.


Dari sebuah milis kampus, seorang kawan di Aliansi Jurnalis Independen Bandung mengeluhkan media massa (TV, Radio, dan Koran / Majalah) di Indonesia sekarang yang kepemilikan sahamnya rata-rata dikuasai oleh ‘kaum bermasalah’ dan status quo. Hal inilah yang membuat wartawan pro rakyat kemudian berada dalam posisi gamang. Tarik ulur kepentingan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Jika itu juga terjadi dengan bisnis pers di NTB atau Loteng khususnya. Maka, say goodbye buat semangat jurnalisme dan segala tetek bengek fungsi pers buat masyarakat di Loteng. Media alternatif untuk pencerdasan masyarakat yang kritis dan berani sepertinya hanya akan menjadi cita-cita saja. Pemerintah perlu pers untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya dan pers perlu space untuk terus hidup dan berkembang. Ya, klop sudah.. masyarakat nanti saja dulu.


Tidak perlu berpanjang lebar saya bersuara disini sebab saya juga bukan seorang analis. Cukup saya simpulkan sementara ini bahwa fungsi pers di Loteng saat ini tidak lebih hanya alat penyampai informasi dan hiburan saja yang ujung-ujungnya menyerupai alat propaganda pemerintah semata. Tidak ada berita jujur yang dikemas berimbang dan dilempar ke masyarakat Loteng, hanya informasi saja (berita dan informasi adalah dua hal yang berbeda). Pengawalan yang dilakukan lebih diimplemetasikan sebagai ‘menjaga’ daripada sebagai ‘mengawasi’. Apalagi sebagai oposisi yang notabene memerlukan keberanian lebih, sangat jauh dari harapan. Masyarakatpun akhirnya tidak akan pernah tahu, jika pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin birokrasi negara berpaham demokrasi itu dalah tiga posisi yang berbeda. Hak, kewajiban, dan kosekuensinya pun berbeda pula.


Sebagai penutup, maka saya ingin mengingat kembali celetukan seorang kawan kuliah saya, seorang anak Jakarta dan pemerhati majalah musik. “ sepertinya dunia pers di Indonesia saat ini membutuhkan orang-orang kayak Setiawan Jody untuk mendirikan usaha media massa hanya sebagai hobi saja, sekaligus juga jalan untuk mengabdi kepada masyarakat. Tidak terlalu mengarapkan untung besar. Asal tetap hidup dan bisa menghidupi karyawannya. Agar keberadaannya senantiasa bisa menjadi teman yang loyal buat masyarakat.. “. Saya tersenyum dan berpikir itu mimpi. Tapi, kawan saya berkata, “siapa tahu..?!”. “ya..ya..ya.. siapa tau..”, saya menggumam.





------000------