"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Sabtu, 29 Maret 2008

Kampung Halaman (2)

BAHASA IBU, IDENTITAS DIRI, DAN BUSUNG LAPAR


Oleh: Sulye Jati


Seorang kawan di Bandung pernah bertanya kepada saya (mungkin secara iseng), “kenapa sih pulau Bung namanya Lombok? Emangnya disana cuacanya panas banget ya..?”. Kawan Bandung saya ini rupanya menyangka bahwa Lombok (dari asal kata pulau Lombok) itu artinya cabe (sunda; cengek). Setelah pertanyaan itu saya beberapa kali kemudian teringat dengan sebuah buku yang dulu pernah saya baca. Buku (yang judul dan penulisnya saya lupa) itu adalah kepunyaan almarhum Bapak saya. Isinya berkisar seputar tata cara pemakaman dan prosesi tahlilan masyarakat Sasak. Tapi, di awalnya juga diceritakan tentang asal muasal pulau Lombok dan masyarakatnya yang mungkin saja (kesimpulan umumnya) merupakan subjektif penulisnya. Namun, terlepas dari hal tersebut sepanjang yang saya ingat, isinya memang cukup menarik sebab penulisnya juga mencantumkan referensi dan data dari sebuah observasi yang cukup baik.


Sekedar flashback, dalam buku itu diceritakan bahwa pulau Lombok dulu asalnya hanyalah sebuah daratan kecil yang meliputi wilayah dilereng gunung Rinjani saja dan berbentuk memanjang (bhs. Sasak; lombok atau tepeng). Oleh karena tempatnya terlalu sempit (sesek), maka masyarakatnya disebut orang Sasak (sesak). Selain itu, disebabkan oleh kaisan ayam bekisar milik Dewi Anjani (salah satu tokoh legenda masyarakat Sasak yang bersemayam di gunung Rinjani), maka lama kelamaan daratan pulau Lombok yang tadinya sempit dan berbentuk memanjang menjadi tambah besar (lebar).


Opini pertama tentang (sesek ke sesak menjadi sasak) tentu saja sangat kental pengaruh bahasa indonesianya. Dan opini kedua tentang (lombok atau lurus menjadi Lombok) sangat penuh dengan aroma legenda yang tentu saja sangat susah dipertanggungjawabkan secara ilmu sejarah (sains). Sebagai orang Sasak saya tidak berkecil hati dengan minimnya data sejarah asal muasal keberadaan masyarakat Sasak dan di pulau Lombok. Semua asal nama tempat dan suku di Indonesia rata-rata seperti itu. Sangat dipengaruhi oleh cerita (dongeng atau legenda). Dongeng dan fakta sejarah kadang-kadang dicampur aduk sehingga menjadi sebuah formula ‘data sejarah’ yang dianggap otentik dan valid. Ini memang tidak terlepas dari SDM dan parameter pemahaman masyarakat Indonesia secara umum sampai saat ini masih tradisional.


*******


Di lain kesempatan, kawan saya (yang sepertinya sangat menyukai sejarah dan kebudayaan) kembali bertanya dengan sedikit opini, “Apa sih ciri khas dari gamelan sasak? Semua gamelan di Indonesia alat-alatnya hampir sama. Perangkat seperti suling, kendang dan lainnya hampir nggak ada yang beda. Anda dulu pernah mengatakan tentang kelenang. Itu sama dengan kulintang, kan? Secara umum, gamelan itu malah lebih identik dengan Jawa (Jawa tengah dan Jawa Timur) dan Bali lho..! Di Jawa Barat, alat musik kecapi sudah menjadi ikon budayanya. Malah di Sumatera, khususnya daerah Minangkabau, Sumatera Barat, musik tradisional dengan khas melayunya lebih kental..”.


Penjelasan yang bisa saya berikan waktu itu kemudian hanya sebatas Gendang Beleq dan model suara suling dan irama gamelan Sasak. Entah, apakah penjelasan saya benar atau tidak. Disitu saya memberikan gambaran bahwa gamelan sasak itu ketukan iramanya seperti pertengahan antara gamelan Jawa yang pelan / lembut dan gamelan Bali yang cepat / bersemangat. Kemudian suara suling sasak itu seperti kita membayangkan angin laut yang notabene berbeda dengan angin gunung (istilah saya untuk mengatakan Jawa). Bagi kawan saya itu, penjelasan yang saya berikan mungkin terdengar aneh dan ngejelimet. Entah valid atau tidak, tapi hanya itulah hal yang bisa saya berikan. Tidak pula saya ceritakan tentang tradisi Presean. Ini cukup untuk kemudian membuat kawan saya itu manggut-manggut seperti domba Garut.


*******


Di milis Komunitas Sasak, kawan-kawan Lombok (sasak) saling berbagi ‘kamus’ tentang bahasa sasak (yang baik dan benar menurut perspektif dan subjektif mereka) dengan tujuan (sepertinya) untuk saling melengkapi dan mencari kesepahaman bersama. Saya pribadi setuju dan sangat sepakat. Walaupun hingga seorang kawan yang sedang menyelesaikan skripsinya (tentang kamus Bahasa Sasak) sempat meminta bantuan di milis tentang bahan skripsinya itu dan tidak banyak anggota milis yang bisa memberikan bantuan. Kamus bahasa sasak mungkin masih terlalu sulit untuk dicari referensinya. Saya pribadi kemudian mengakui, bahwa saya sebagai orang sasak (dengan ibu dari Lombok Tengah dan bapak dari lombok selatan) masih tidak mengerti dengan identitas saya sendiri. Biarpun itu hanya sebatas bahasa yang telah saya dengar dan pergunakan, mungkin dari semenjak saya masih dalam kandungan. Bahasa adalah salah satu unsur budaya dan budaya adalah identitas. Untuk itulah saya kemudian disebut (dan menyebut diri) sebagai orang Sasak.


*******


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca koran dan melihat informasi di TV. Tentang kejadian busung lapar di NTB (Lombok). Lombok Tengah ternyata masuk juga sebagai salah satu penyumbang tempat kejadian. Saya kemudian bersiap-siap, sebab benar saja setelah itu seorang kawan saya nyeletuk, “Bukankah Lombok itu Lumbung Padi, kok ada busung lapar.. kayak Somalia aja..”. Untuk kesekian kali saya cuma bisa tersenyum kecut. Dan masih hangat kemudian, lotengpers memberitakan hal yang sama baru-baru ini. Korban gizi buruk sepertinya bertambah lagi.


Kemudian ada yang menambahkan, “Kalau kita main ke Lombok aman-aman nggak disana, Bung? Saya lihat berita TV, di Lombok itu perang terus antar kampung. Belum lagi rampoknya.. Padahal saya sekali-sekali pengin berlibur kesana. Denger-denger pantainya keren banget, lebih bagus dari Bali..”.


Untuk yang satu ini saya mantap menjawab, “Aman.. untuk berlibur Lombok itu aman banget, jangan khawatir.. Silahkan aja mau datang kapanpun, bila perlu saya temenin..”.


Ah.. entahlah (sekali lagi), apakah saya terlalu sering bercerita (dengan bersemangat) bahwa Lombok itu adalah sebuah tempat yang sangat luar biasa. Sebuah tempat yang bisa mewakili kalimat Alm. Soeharto, sebagai bumi gemah ripah loh jinawi. Saya belum bisa memastikan apakah cerita saya yang terkadang sangat bersemangat tentang Lombok adalah sebuah kesalahan atau kekeliruan. Sebab, (seperti harapan masyarakat Lombok umumnya) saya juga ingin Lombok itu bisa terkenal dan maju. Untuk itu harus dikampanyekan dan ‘diiklankan’ keberadaan dan segala potensi atau sumber daya alamnya dengan berbagai cara. Keberadaan saya di rantauan juga bisa saya manfaatkan sebagai ‘duta’ untuk mengkampanyekan itu. Apakah itu duta pariwisata, duta budaya, dan sebagainya. Tapi, mendengar kembali bahwa di Lombok Tengah muncul lagi kasus busung lapar, saya jadi bingung. Walaupun saya tidak tahu pasti apakah pariwisata, budaya, keramahan, dan busung lapar adalah sesuatu yang berkolerasi.


*******


Masyarakat Lombok secara sosial (baik secara sistem maupun pemahaman) saat ini sangat kental dengan budaya ‘invasi’. Karakter orang Sasak yang sangat familiar dan terbuka kepada pendatang menjadikan proses afiliasi dengan budaya sosial ‘invasi’ menjadi lebih cepat dan cenderung gampang untuk diterima. Apalagi budaya sosial di Indonesia memang relatif sama atau mirip. Opinion leader semacam pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan birokrat juga cenderung ‘berguru’ keluar. Namun, tidak selamanya apa yang ditimba itu baik atau diimplementasikan secara baik oleh para pemegang opini tersebut. Seperti sebuah virus, hal ini kemudian mulai merambah dan mengakar dikalangan masyarakat kebanyakan atau paling tidak ditingkat opinion leader lokal. Jika sudah seperti ini, karakter dan kepribadian asli masyarakat Sasak yang beragama dan berbudaya serta bernorma pun menjadi (seperti) hilang.


Jika aplikasi dan tujuan sudah melenceng jauh. Maka hasilnya? Ketidakjujuran, pemakaian sistem kekerasan, penindasan yang lemah, keluargaisme (sedarah), pembohongan publik, dan lain sebagainya kemudian menjadi semacam kolaborasi ‘mode’ yang sangat digemari. Tidak hanya dikalangan masyarakat tradisional tapi sudah menjadi semacam karakter umum dari pemuka agama, pemuka adat, dan pejabat. Tapi jangan salah, kondisi ini bukannya tanpa komplain. Tuntutan hidup yang layak menjadikan masyarakat akhirnya mmilih alternatif lain untuk bisa mengangkat keadaan ekonominya. Ini bisa kita lihat dari tingginya arus masyarakat Sasak yang pergi ke luar negeri, semacam; Malaysia, Brunei, Timur Tengah, atau ke daerah Asia Timur semacam Korea Selatan dan Jepang. Suatu hal yang sebenarnya lumrah bagi orang di seluruh dunia sekalipun, untuk orang bekerja mencari rezeki dimana saja di planet Bumi ini. Hal pokok yang bisa dicermati adalah alasan kita untuk melakukan itu.


Secara umum, Lombok Tengah sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani. Sisanya adalah menjadi pegawai negeri atau lain-lain dan bagi yang tinggal di pesisir selatan mungkin lebih tertarik untuk menjadi nelayan. Jika melihat kondisi tersebut, maka kita sudah mahfum kalau faktor alam seperti curah hujan dan musim akan sangat mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Selama satu tahun kedepan kita harus makan apa, tergantung dari berapa hasil panen tahun ini. Selama ini pokok masalah kehidupan masyarakat Lombok Tengah memang cenderung complicated. Itu harus kita akui sebagai sebuah fakta yang sungguh valid.


Selama ini, Praya sebagai ibukota kabupaten adalah merupakan miniatur Lombok Tengah. Kondisi Lombok Tengah bisa dilihat dari kondisi Praya. Walaupun ada benarnya, namun tidak selamanya miniatur itu mencerminan keadaan yang sesungguhnya dari kondisi keseluruhan. Apalagi untuk konteks kehidupan masyarakat dari sisi ekonomi maupun sosialnya yang senantiasa dinamis. Tingkat SDM yang rendah juga sangat menentukan bagaimana suatu masyarakat bisa survive menjalani hidup. Hal yang agak berbeda untuk sebagian kecil golongan yang hidup dari asupan gaji. Dalam arti kata, kondisi hujan dan musim tidak sepenuhnya berpengaruh. Berarti disini ada sebuah semacam kesenjangan.


Tulisan ini tidak sebagai sebuah protes terhadap sebagain kecil masyarakat Lombok Tengah yang berada dalam kondisi mapan. Tidak sama sekali dan jauh dari hal tersebut. Alangkah baiknya kalau kita lebih melihat kepada sesuatu secara sistem. Sebab, sistem telah memudahkan manusia untuk membuat ukuran penilaian dalam melihat kelebihan dan kekurangan dari sesuatu. Tolak ukurnya? Untuk kehidupan masyarakat tentu saja program kerja dan tingkat kesejahteraan. Kondisi kesejahteraan masyarakat tidak begitu saja dipertanggungjawabkan kepada kondisi cuaca hujan yang jelas-jelas merupakan sebuah kondisi alam. Namun, pemberdayaan masyarakat harus lebih diutamakan sehingga masyarakat bisa mempunyai alternatif pilihan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Apapun hal yang diprogramkan atau yang dilakukan oleh pemerintah, tujuan utamanaya jelas; MENINGKATKAN TARAF KESEJAHTERAAN RAKYAT.


Kasus meningkatnya pencurian, perampokan, perang antar kampung, dan gejolak sosial lainnya janganlah hanya dilihat dari sisi karakter masyarakat tradisional saja. Ada persoalan tentang lilitan hidup disana. Ada masalah eksistensi hidup dan hasrat pengakuan yang tidak terarah. Berarti pola pengayoman dan pemberdayaannya ada yang kurang tepat. Walaupun tidak kita pungkiri juga, bahwa perilaku agresif negatif masyarakat yang seperti itu cukup mengganggu stabilitas daerah yang berarti juga menganggu arus ekonomi yang masuk ke Lombok Tengah sebagai salah satu daerah tujuan wisata di NTB dan Indonesia. Namun akar masalahnya saja tidak disentuh, bagaimana mau selesai?


Seorang kawan di Lombok Tengah melakukan ‘pembelaan’, “masalahya adalah rata-rata orang Lombok Tengah itu tidak kreatif.. mereka cuma bisa melakukan pekerjaan warisan, yaitu bertani saja. Selain itu, susah..”. Nah lho.. kenapa orang Lombok Tengah seperti itu jadinya?!


Sebuah keuntungan bagi Lombok Tengah adalah potensi alamnya (terutama wilayah pantai) sebagai aset berharga yang siap untuk dikelola dan dikembangkan. Hasilnya, kalau merujuk kepada undang-undang, adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu sebagai contoh, pembangunan Bandara Internasional (yang ‘mengorbankan’ ribuan hektar sawah petani yang masih tergolong produktif) bisakah mengangkat harkat masyarakat Lombok Tengah atau NTB? Harusnya (harus) bisa!! Sebab, selain mendatangkan devisa yang besar buat daerah maka iming-iming banyaknya pekerjaan di bandara itu bagi kaum pribumi Lombok memang harus kita perhitungkan pula.


Tapi, masalah pokok yang muncul adalah kita disana sebagai apa. Tukang parkir? Jual rokok asongan? Penjaga hotel dan restoran? Tukang pukul pub dan karaoke? Sopir taksi? Atau apa? Bandara itu adalah sebuah proyek bertaraf internasional yang tentu saja membutuhkan kemampuan atau SDM yang baik dan cocok. Investor luar negeri tidak akan mau tahu kita orang pribumi atau tidak. Mereka hanya melihat orang (pekerja) itu dari sisi kemampuannya saja yang akan disesuaikan dengan kebutuhan. Akan sangat professional model perekrutan nantinya. Sebab bagi mereka, this is a business .. Sah-sah saja dan itu wajar. Tinggal kita sekarang. Mampukah kta bersaing untuk bisa masuk di ranah itu? Saya pribadi belum bisa memastikan. Sebab, sampai tulisan ini dibuat, saya belum pernah mendengar program Lombok Tengah untuk meningkatkan kualitas SDM (pendidikan) masyarakatnya secara signifikan.


Seorang kawan yang lain di Lombok Tengah bercerita, “Anggaran Lombok Tengah sekitar 64 persen itu cuma berputar dikalangan pengusaha saja..”. Wow.. 64 persen berarti lebih dari setengah (jika itu jumlah pemilih, akan lebih dari cukup untuk memenangkan sebuah pemilu) dan hanya berada dikalangan minoritas.


Kritis juga dia, tapi kawan ini tidak menjelaskan tentang sisanya dan data itu dia dapat dari mana bahwa realisasi anggaran itu hanya berputar dikalangan elit saja. Jika itu pengusaha, usaha apa mereka? Saya tidak begitu antusias menanyakan tentang itu. Sebab, dengan berita busung lapar dan gepeng saja saya sudah pesimis dengan program pemerintah Lombok Tengah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Isu sentralisasi pembangunan pun semakin sering saya dengar dan Janapria itu (menurut saya) tidak begitu jauh dari Praya. Jadi, kedatangan gepeng ke Praya itu sebagai sesuatu yang lumrah. Sebagai bagian dari rakyat, mereka datang untuk menuntut haknya. Hak untuk hidup layak (tidak sekedar supaya mampu bertahan hidup) dan sejahtera.


…………………..

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak terbebas dari kelaparan merupakan hak asasi paling dasar. Bahkan, hak-hak asasi lain tidak akan terpenuhi tanpa lebih dulu menjamin hak atas kecukupan pangan dan gizi. Hak atas pangan dideklarasikan sebagai HAM melalui berbagai perjanjian internasional. Di antaranya, Deklarasi Universal untuk HAM tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan (pangan), pakaian (sandang), dan rumah (papan)....

…………………….


Lebih menyedihkan, laporan Dinas Kesehatan NTB, dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami busung lapar selama Januari-Mei 2005, tujuh di antaranya meninggal.


(Widodo Dwi Putro. Kompas edisi 25 Maret 2008)


Berkaitan dengan kasus-kasus diatas, lotengpers di media online-nya pun pernah memberitakan hal serupa (Gizi Buruk, Satu Balita Meninggal – 17 Maret 2008). Kecuali kasus L.Serinata yang pernah di panggil KPK, maka saya belum percaya apakah di Lombok Tengah juga berlangsung praktik korupsi. Tapi kejadian demi kejadian kemudian membuat banyak orang mulai menduga-duga.


Menilik sebuah tempat yang menjadi pusat lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tidaklah dalam arti kata harus bekerja disana. Tapi kemampuan menganalisa sebuah program untuk usaha yang nantinya akan dibuka dan mendukung keberadaan bandara (sebagai contoh saja) itu juga membutuhkan kemampuan. SDM? Tentu saja iya.. entahlah, apakah kita semua sudah sampai berpikir kesana. Pemerintah Lombok Tengah saya pikir pasti sudah berpikir tentang itu. Tapi, jika kemudian program pengembangan itu cuma berlaku untuk kalangan elit (pengusaha atau kerabat dekat, seperti yang ‘dituduhkan’ oleh kawan saya itu) saja, maka saya jadi curiga bahwa jangan-jangan para penguasa di Lombok Tengah itu menganut prinsip anti kemapanan bersama. Kalau sudah seperti itu, maka tidak ada kata lain selain masyarakat Lombok Tengah harus kembali melakukan perlawanan. Mohon maaf, jangan sampai slogan “satu komando satu perlawanan” itu kemudian disalahartikan sebagai stimulus (baik berupa ide atau aplikasi gerakan massa) untuk sebuah tindakan anarkis yang kampungan. Maksud saya bukan seperti itu, karena perjuangan itu bisa lewat banyak cara yang tentu saja baik, cerdas, dan beretika.


Saat opini ini saya hembuskan, di Bumi NTB sedang gonjang-ganjing persiapan untuk pemilihan gubernur. Saya pribadi merasa NTB atau Lombok Tengah itu tidak membutuhkan sosok gubernur atau bupati, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah sosok atau seorang pemimpin. Kita sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan saat kampanye. Para calon (orang-orang yang berkepentingan) akan menjadi sangat dermawan, murah senyum, sok akrab, dan gemar mengumbar janji-janji. Mungkin masyarakat NTB atau Lombok Tengah sudah sangat jenuh dengan segala tetek bengek omong kosong para politikus tersebut. Masyarakat dengan segala beban hidup dan penderitaan hanya dijadikan komoditi iklan kampanye untuk sebuah kekuasaan. Retorika semu dengan bahasa-bahasa politik yang oportunis. Realita klasik, kemiskinan masyarakat itu selalu ada didekat kita. Tersangkut dipagar halaman rumah kita. Untuk itu, sebelum masa pemilihan tiba, mari kita instropeksi diri agar kita tidak mengutuk-ngutuk pilihan kita nanti.


………………………………………………………….

Di sini hari ini ada begawe besar bernama panen raya
Berbondong-bondong kami memilih bupati dan gubernur
Seperti bercocok tanam kami menusuk-nusuk gambar di ulu hati
Mencoblos angka dan janji
Jantung kami terpancung belati,

(PANEN RAYA – Sulye Jati)


*******


Judul tulisan ini adalah “Bahasa Ibu, Identitas Diri, dan Busung Lapar”. Melihat dan mendengar kondisi Lombok Tengah sekarang ini, maka saya kemudian berpendapat bahwa Bahasa Ibu kita sekarang tidak semata hanya bahasa daerah, yakni Bahasa Sasak saja. Tapi, bahasa ibu menurut perspektif saya adalah BAHASA NURANI, sebuah bahasa hati kepada masyarakat. Bahasa yang membuat masyarakat menjadi tenteram, adil, aman, dan sejahtera. Sosok ibu adalah orang yang akan melakukan apa saja demi anak-anaknya. Demi mereka yang dalam ayoman, pengawasan, dan asuhannya. Agar bisa tetap sehat, pintar, nyaman, dan tidak terlantar.


Bahasa ibu adalah sebuah bahasa yang tidak hanya sekedar janji-janji percuma yang ketika ditagih kemudian menjelma menjadi pentungan congkak dan arogan. Terlalu sempurna dan mengkhayal? Tidak.. Kalau mau diaplikasikan insya Allah terwujud. Dengan itu masyarakat akan bisa tinggal landas meninggalkan kemiskinan. Tidak hanya kalangan tertentu saja dan masyarakat miskin tetap saja tinggal dilandasan.


Dengan bahasa hati maka para ‘penguasa’ Lombok Tengah akan bisa jernih melihat kondisi realita masyarakatnya. Seberapa pintar mereka sekarang atau masih tetap bodoh? Masih teraturkah mereka makan setaip hari? Kalau sakit mereka mampu berobat ke dokter atau tidak? Alasan mereka jauh-jauh merantau itu apa? Kemampuannya tidak dianggap, menjadi ancaman, atau di Lombok Tengah sudah susah cari makan? Jika mereka sudah biasa bertanya seperti itu, maka kita akan mulai bangga dengan IDENTITAS KITA sebagai orang Lombok Tengah. Bukan hanya sebagai (eks) Bumi Gora dan yang tinggal sejarah.


Sekarang ini, dimana kita cuma bisa bangga bahwa di Lombok Tengah sekali setahun ada event Presean akbar di lapangan Muhajirin. Setahun sekali kita punya hajatan Pesta Pantai di Kuta ketika Bau Nyale. Bangga bahwa Bupatinya-nya sangat berbudaya dan selalu menggalakkan olahraga berkuda (!?). Tapi, setelah itu anak-anak bergizi buruk dan akhirnya mati busung lapar, keluarga terlunta-lunta dijalanan menjadi gelandangan atau pengemis dan dianggap ‘sampah’ sehingga harus digaruk, dan orang-orang Sasak lainnya (yang SDM-nya dianggap rendah) berkeliaran di negeri orang jauh di sana meninggalkan anak istri untuk menjadi pekerja kasar dan buruh-buruh migran perkebunan. Sementara itu setiap LPJ Bupati akan ditutup dengan tepuk tangan para anggota dewan, bahwa proram pemerintah terhadap masyarakat sudah berhasil. Naïflah kita.. naiflah nurani kita.. Negeri ini bukanlah warisan dari nenek moyang siapapun. Negeri ini hanyalah pinjaman dari anak cucu kita semua.





-----oooo-----

Selasa, 25 Maret 2008

kampus oh kampus ..

**Praktikum :

Teka - Teki Dahulu, Saat Ini dan (mungkin?) Masa Depan


*Oleh: G. Sulye Jati – K0B03218


Mendengar kata praktikum, maka mahasiswa Fikom tiba-tiba akan menjadi ‘orang rabun’, selalu meraba-raba. ‘Salah pegang malah kena kentut’. Jika dirunut kebelakang akan kita jumpai salah satu masalah klasik yang selalu menjadi PeeR bagi Organisasi Kemahasiswaan seperti BPM. Sepertinya jawaban yang didapat pun selalu klasik.

Apa yang terjadi dengan praktikum dalam kampus ini? Melihat jumlah Rp.600.000 (enam ratus ribu rupiah) sebagai biaya praktikum paling tinggi yang saat ini dibayarkan per mahasiswa di Fikom tiap semester, maka harusnya semua teka-teki menjadi tuntas. Selama ini penggunaan uang praktikum yang berhasil dideteksi oleh mahasiswa terlihat sangat tidak efektif. Sepertinya pihak Fakultas dan Pengelola Program terlihat bingung untuk mengadakan praktikum bagi mahasiswanya. Ada yang aneh..

Kita ambil contoh Program D3 PAKT Fikom Unpad. Baru-baru ini mahasiswa angkatan 2005 D3 PAKT mengadakan apa yang disebut Kuliah Lapangan (Kulap). Kegiatan kulap (yang sering menjadi kontoversi antara mahasiswa dan birokrat) yang tidak pernah ada anggaran ketika dibayarkan oleh mahasiswa saat registrasi tiap semester, tapi malah sangat sering dilaksanakan. Dari mana pos anggaran kulap tersebut? Ada indikasi dana kulap berasal biaya praktikum (mudah-mudahan saya salah). Jika itu yang dipakai, lalu bagaimana dengan Praktikum tersebut?

Selama ini praktikum yang didapat oleh mahasiswa adalah tugas mata kuliah dari dosen yang dikerjakan dirumah. Pembiayaan (kalau harus ada biayanya) biasanya oleh mahasiswa pribadi, karena memang biayanya tidak begitu besar dan kawan-kawan mahasiswa memang jarang saya dengar berkeberatan. Tapi, berbeda sekali dengan jumlah Rp. 600.000,- yang terbilang ’wah’ bagi mahasiswa proletar. Bayangkan jika dari total yang dibayarkan per mahasiswa (mahasiswa Fikom saat ini sudah dikisaran angka 5000 orang) tiap semester digunakan sebesar Rp.150.000 saja untuk praktikum yang sebenarnya. Akan didapat angka Rp. 750.000.000, apalagi kalau Rp.250.000 dan tinggal kalikan saja. Jika itu kemudian digunakan untuk membeli alat-alat praktikum dikampus, selama 2 semester saja maka Fikom sudah sangat memadai peralatan penunjang pendidikannya. Sedangkan untuk membangun Student Center (dengan jumlah dana yang misterius, karena tiap pihak menjawab berbeda dan ada juga yang No Comment) saja Fikom sangat mampu. Ada sistem subsidi silang antar fakultas di Unpad (mungkin setelah dipotong Rektorat), tapi sangat tidak logis kalau itu kemudian yang menjadi alasan.

Praktikum yang dimaksud saat ini cenderung adalah kulap. Padahal antara praktikum dengan kulap itu berbeda, baik dalam teknis pelaksanaan maupun tujuannya. Ada sejenis krisis kepercayaan dikalangan mahasiswa tentang alokasi atau penggunaaan dana praktikum ini oleh pihak kampus. Ini didasari oleh keadaan Fikom yang sangat megah dalam infrastruktur fisik kampus (termasuk pengadaan bus –yang terkenal dengan sebutan Tugu Fikom- dan mobil-mobil), tapi sangat lemah dalam peralatan infrastruktur penunjang pendidikannya. Peralatan yang tua dan sangat kurang. Apa kabar pihak Rektorat? Apakah anda berkeinginan untuk jalan-jalan ke Fikom?

Tidak bermaksud kemudian untuk mengatakan bahwa dana praktikum harus diaudit, tapi alangkah baiknya kalau pihak-pihak yang terkait bisa transparan dalam masalah yang satu ini. Apa yang harus ditakutkan kalau memang penggunannya jelas? Pembangunan Fisik kampus itu bagus, tapi pengadaan sarana (peralatan) praktikum yang cukup adalah bagian utamanya. Sebab, mahasiswa yang ada disini adalah untuk belajar dan bukan untuk sekedar bermain-main saja.

Haruskah kemudian Fikom di audit? Kenapa petinggi Fakultas dan Rektorat seperti tutup mata dengan jari tangan? Akan kemana tujuan praktikum nantinya? Kemudian kenapa pembayaran praktikum dikurangi saja kalau memang pelaksanaannya tidak memakan biaya besar? Kalau Pengelola Program, Fakultas, dan Rektorat sama-sama saja, lalu siapa yang harus mengaudit? Bagaimana harus bersaing menjadi BHPT kalau sistem seperti itu? Ini memang masalah klasik (se-klasik alasan-alasannya), semua memang teka-teki, mungkin hanya Tuhan saja yang tahu..


*Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa
Fikom Unpad 2005 -2006


**pernah dimuat di bulletin IMAGE Fikom Unpad Tahun 2006



--------------00000000000-----------------

Senin, 24 Maret 2008

Kampung Halaman (1)



Oleh: Sulye Jati



“ Begini bos.. agama adalah jiwa untuk menjalankan amanat yang diemban, bukan sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan. Janganlah terlalu serakah, bukankah pemimpin yang religius dan berbudaya itu tidak mesti seorang Tuan Guru atau seorang ningrat kan?! Jika tidak ingin dikritik, maka jangan berbicara apapun.. jangan melakukan apapun.. dan jangan menjadi apapun. Tapi, kalau itu belum terlaksana bukan berarti kita harus anarkis kan?! .. “


“ .. saya bukan anti pemerintah, bukan juga tidak menghargai dan menghormati posisi seseorang yang sudah jelas-jelas memang keturunan pemimpin. Tapi, tidak setiap keturunan pemimpin bisa jadi pemimpin kan? Apakah anak maling harus jadi maling juga? Mari kita realistis.. kredibilitas dan kemampuannya memang harus dipertanyakan kembali. Dan hal yang terjadi sekarang di Lombok Tengah adalah kolusi dan nepotisme edan-edanan.. Protes?! Siap-siaplah untuk dikeprok sama algojonya. Pers jangan terlalu diharapkan. Oportunis semua.. “


Membuka tulisan ini saya tidak akan beromantisme dulu dengan sejarah reformasi negeri ini yang sangat kelam dengan pelanggaran HAM-nya. Saya lebih tertarik untuk mengingat kembali percakapan saya dengan seorang kawan di kampung, melalui telepon beberapa waktu lalu. Kesimpulan yang saya dapat dari kawan itu adalah kurang lebih seperti petikan dialog diatas. Tentu saja setelah sebelumnya kawan saya itu curhat tentang betapa tidak bebasnya manusia untuk ‘bersuara’ di Lombok Tengah (selanjutnya saya singkat Loteng).


Ada yang menarik dari berbagai informasi yang saya dapat; kebebasan berpendapat, nepotisme, tidak berlakunya right man on the right place, regenerasi yang tidak tepat sasaran, dan pemimpin yang bukan pemimpin. Entahlah.. Dari sudut pandang apa kawan saya melihat. Subjektif mungkin iya. Tapi yang jelas, seorang manusia (rakyat) di Loteng telah memberikan penilaian. Toh, menurut saya (lagi-lagi mungkin subjektif) didunia ini tidak ada yang bebas nilai. Mencari opini dan penilaian objektif hanyalah mimpi saja. Kenapa? Sebab tentu saja semua manusia punya kepentingan dan inilah yang membuat sudut pandang menjadi tidak akurat. Disamping penindasan dan atau intimidasi yang dirasakan.


Kondisi Indonesia pasca reformasi dengan media yang terus menggeliat saat ini menjadikan bisnis media massa adalah lahan menyenangkan bagi sebagian orang.

Sebagai gambaran, pada zaman orde baru perusahaan koran yang memiliki Surat Izin Umum Penerbitan Pers (SIUPP) hanya 321. Saat itu media televisi juga hanya TVRI. Tapi, setelah Mei 1998 semuanya berubah. Reformasi yang muncul membawa angin baru bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Media massa cetak pun muncul seperti cendawan di musim hujan. Hanya dalam tempo satu tahun setelah reformasi, jumlah media massa cetak bertambah menjadi 852 perusahaan. Hingga kini, jumlah itu terus berkembang. (Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung – Suplemen Kampus edisi 29 Maret 2007).


Entahlah.. mengapa semua orang ingin berbisnis media massa. Euforia kebebasan berpikir dan berpendapat tetaplah sebagai salah satu alasannya, tentu saja selain murni sebagai bisnis. Dikarenakan semua orang demen bicara bebas ya harus disediakan medianya. Jadilah itu bisnis. Seperti jual cendol dimusim kemarau.. insya Allah, kemungkinan laku tinggi. Birokrat dan politikus pun sangat mahfum akan hal itu.


Di Loteng, kepemimpinan bupati sebelum reformasi di dominasi oleh orang-orang kiriman dari Jawa. Sebagai daerah yang merupakan bekas wilayah jajahan Majapahit dan Mataram, ditambah dengan karakter orang Lombok yang sangat familiar dan terbuka. Maka, semua itu tidaklah masalah. Sampai ada lelucon, kalau gaya pejabat di Loteng saat ini selalu ingin seperti gaya pejabat Jawa. Baik itu dari tingkah laku mengaturnya maupun gaya dan logat berbicaranya. Biarlah itu. Toh itu cuma masalah pribadi. Selama itu baik ya tidak masalah.


Sebagai bagian dari bekas invasi Jawa dan seperti ingin mengikuti tradisi didaerah bekas ‘rajanya’ dulu maka, kehidupan di Loteng selanjutnya selalu didominasi juga oleh kaum ningrat dan kiyai (ulama / Tuan Guru). Reformasi sepertinya terlalu lemah untuk merubah tradisi bahwa pemimpin itu harusnya berasal dari kalangan ningrat dan atau ulama. Entahlah.. jika yang terjadi pada tahun 1998 itu bukanlah reformasi, tapi revolusi. Wallahua’lam bish shawab.


Tidaklah aneh di Indonesia jika kaum ulama dan ningrat banyak bercokol di tempat-tempat strategis birokrasi dan politik. Suksesnya Kesultanan Yogya dan Cirebon bisa menjadi contoh hal tersebut. Di paham demokrasi perihal itu sah-sah saja. Namun tidak semua kemenangan yang diperoleh berdasarkan atas penilaian pemilih terhadap kapabilitas calon. Konteks calon sebagai seorang pemimpin di ranah republik belumlah berkembang di masyarakat. Di masyarakat Loteng, sudut pandang penilaian lebih diarahkan (oleh siapa?) kepada tradisi dan pengaruh tradisional. Sisi intelektual dan kredibilats modern diabaikan.


Sebuah studi kasus; kemenangan H.L.Wiratmaja sebagai Bupati Loteng saat ini dan berhasilnya L.Wire Abraham (putranya H.L.Wiratmaja) sebagai Kepala Desa Jago bisa menjadi contoh alasan bagi sebagian kaum non ningrat dan non ulama untuk ‘menggugat tradisi’. Padahal untuk negara yang menganut paham demokrasi moderen, latar belakang (selain sebagai orang ningrat) beliau berdua memang jauh dari kriteria dan syarat. Sebab hampir semua masyarakat Loteng sampun wikan, maka disini saya tidak ingin menggunjing. Everybody knows.. Jadi, untuk nepotisme besar-besaran di Loteng saya pribadi tidaklah heran. Kemenangan dengan pengaruh faktor X adalah hutang politik yang tetap harus di bayar.


Rata-rata semua daerah di Indonesia masih seperti itu kondisinya, walaupun Loteng memang berada dalam posisi yang masih ‘luar biasa’ (maaf, lihatlah semua posisi struktur birokrasi saat ini di Loteng). Pertanyaan yang muncul adalah; apakah semua orang yang non ningrat dan non ulama di Loteng tidak ada yang pantas dan kredibel? Sangat tidak logis jika jawabannya adalah YA! Revolusi di Rusia dulu juga berasal dari pertanyaan kecil seperti itu (disamping sebab-sebab lainnya yang tentu saja sangat politis). Namun, alasan yang biasanya dilontarkan rakyat setiap menggugat pemerintahnya adalah tidak transparansinya pemerintah dan tidak aspiratifnya menjalankan kebutuhan masyarakat. Untuk Loteng, ada tambahan info; keluarga bupati sekarang sangat pongah dan terkesan arogan. Attitude dan tingkah laku kesehariannya tidak mencerminkan keluarga pemimpin yang harus di gugu dan di tiru. Entahlah.. saya pribadi tidak pernah telpon-telponan ataupun SMS-an dengan keluarga Bupati Loteng. Apalagi akrab-akraban he..he..he..


Indonesia mempunyai banyak agama dan budaya sebagai latar belakang masing-masing daerah. Keberadaan agama dan budaya itu adalah kemudian menjadi suatu norma dan aturan tidak tertulis yang disepakati bersama masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengatur kehidupan sebagai negara, maka Indonesia mempunyai aturan yang sama untuk seluruh daerahnya. Sinergisnya pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin pemerintahan di daerah akan menciptakan suasana yang kondusif dan berkekuatan untuk daerah tersebut menjadi maju.


Dalam masyarakat modern, pemuka agama dan pemuka adat mempunyai tempat tersendiri dan tidak masuk secara struktur dalam dunia pemerintahan negara. Untuk kesetaraan yang demokratis, maka mereka bisa masuk diwilyah itu jika mempunyai kecakapan dengan kredibilats dan kemampuan secara asumsi negara. Salah satunya adalah latar belakang pendidikan. Negeri ini (sekali lagi) tidak membatasi siapapun untuk menjadi apapun. Syarat yang termaktub sudah begitu jelas. Tapi, hendaklah yang berminat tahu diri. Jika ada yang lebih baik kenapa harus tetap ingin menjadi (?). Pengaruh keagamaan yang dimiliki dan pengaruh garis keturunan yang menitis harusnya bisa dijadikan kekuatan bagi putra terbaiknya untuk membangun daerah. Bukankah mengurus sebuah daerah dengan sistem birokrasi tidak seperti mengurus pesantren dan ceramah dalam pengajian? Bukankah menjalankan roda pemerintahan tidaklah seperti menjalankan suatu acara kawinan dengan cara adat atau menggelar sebuah event presean? Jika para ulama dan kaum ningrat itu bisa (dan sadar) ya silahkan. Tapi, kalau tidak bisa dan tidak bisa di kritik (masukan) ya jangan pagah.


Konsep demokrasi yang di anut Indonsia adalah demokrasi ala eropa. Hal inilah yang seharusnya bisa membuat kaum agama dan kaum ningrat susah masuk (jika mereka tidak mau membuka ‘pakaian’ ulama atau ningratnya). Kenapa? Posisi sebagai pemuka agama dan pemuka adat (ningrat) menjadi tidak berlaku ketika masuk di ranah pemerintahan. Anda salah masyarakat bisa protes. Anda keliru rakyat boleh menggugat. Anda tidak becus, turunkan atau ganti sekarang juga. Hal tersebut akan berbeda jika itu dalam lingkup agama atau adat. Sebuah fatwa ulama atau keputusan adat adalah mutlak. Sebab mekanisme pertanggungjawabannya adalah kitab suci atau norma budaya dan adat istiadat. Siapa yang paling mengerti itu? Tentu saja ulama dan pemuka adat. Untuk konteks itu, ummat seyogyanya memang harus selalu ikut saja. Hampir-hampir tidak ada demokrasi pada wilayah itu.


Dari semua tersebut diatas, marilah kita bertanya kepada ibu kita masing-masing, “ sampun berembe Loteng mangkin, menurut pekayunan pelungguhm? ”. Panggung politik di Loteng saat ini masih saja di banjiri oleh kaum ningrat dan ulama yang ‘biadabnya’ mereka tidak mau menanggalkan atribut ulama dan atau ningratnya. Sah-sah saja, itu hak individu untuk ikut berkompetisi. Tapi, buka dulu ‘pakaiannya’ dan terimalah konsekuensi politik yang demokratis. Posisi di birokrasi akhirnya tetap membuat para ulama dan ningrat selalu oportunis. Pemerintahan kemudian berjalan otoriter dengan sistem penokohan yang sangat klasik. Tidak ada protes karena si A itu keturunan Tuan Guru. Tidak ada komplain sebab si B itu orang ningrat. Demokrasi pincang dan masyarakat biasa tetap bodoh. Jika ada suara ‘keras’ sedikit, maka itu dilempar ke masyarakat dengan bahasa yang provokatif. Maka yang kemudian terjadi adalah konflik (yang diciptakan). Rakyat yang (maaf) bodoh, hanya dijadikan bumper dengan dalih melindungi Tuan Guru-nya atau membela Lalu-nya. Biar salah juga dibela. Luar biasa. Paham feodalisme yang terus dipelihara oleh kaum elite di Loteng dan masyarakat pun tak pernah sadar bahwa itu adalah praktek pembodohan buat mereka.


Saya ber-positive thinking bahwa banyak orang hebat di Loteng dari luar kedua lingkaran ‘elit’ itu. Permasalahannya mereka belum mendapat kesempatan, kenapa? Pengaruh dan kemampuan mereka sepertinya tidak cukup untuk mendapat dukungan dari masyarakat Loteng. Masyarakat modern yang terdidik (terutama yang ber-SDM pendidikan politik yang baik) dalam memilih pemimpin akan lebih dan sangat mengutamakan sisi APA YANG KAMU BISA, ketimbang DARI MANA KAMU BERASAL kepada setiap kandiddat yang muncul atau menyodorkan diri. Jika di Loteng kemudian terpilih calon dengan kriteria DARI MANA KAMU BERASAL tanpa dibarengi APA YANG KAMU BISA, maka pertanyaannya adalah; apakah masyarakat Loteng (maaf) bodoh? Dan atau siapa yang ‘bermain’ dan apa kepentingannya? Kue politik adalah makanan terlezat bagi manusia Indonesia, terutama untuk daerah Loteng yang notabene masih menjadikan pegawai negeri sebagai cita-cita yang utama bagi sebagian besar masyarakatnya. Yah.. Kita harus realistis bahwa seperti itulah realitanya, seperti kata kawan saya itu.


Saya takut menggunjing. Ibu saya selalu berpesan untuk sedapat mungkin menjauhi posisi menggunjing. “Sangat tidak baik dan dilarang oleh agama,” katanya. “Nanti kamu bisa dapat karma,” beliau menambahkan. Hingga ibu saya pun melarang saya untuk menjadi seorang wartawan. “kerjaannya ngomongin orang terus..”, beliau memang kadang-kadang sok tahu. Walaupun sudah saya jelaskan bahwa berita itu tidak semuanya harus mengkritik pemerintah. Tapi, ibu saya tetap saja pagah dengan penilainnya. Ya sudahlah, tidak baik berdebat dengan ibu. Jadi, saya nurut saja biar sekalian berbakti mendengar kata orang tua. Toh beliau tidak protes jika saya sering menulis. Mungkin pikir beliau, menulis kan tidak mesti pekerjaan wartawan. Semua orang juga boleh menulis dan menjadikan tulisan sebagai dari ritme pekerjaannya. Dari pedagang sampai presiden juga menulis. Tapi, saya juga tidak bercita-cita kok untuk jadi wartawan. Jadi, atas larangan ibu saya itu, ya saya oke-oke saja J


Hal yang membuat saya bingung sehubungan dengan pesan dari ibu saya itu adalah saya menjadi sulit ketika harus berbicara atau menulis yang isinya semacam penilaian tentang seseorang secara personal. Dalam konteks apapun tetap saja saya bingung. Entahlah.. Saya amat sadar bahwa ibu saya adalah orang bodoh dan berpikiran kolot. Seperti orang-orang tua lainnya di Loteng, maka beliau juga sudah pernah hidup dibeberapa zaman yang sulit. Tapi, masyarakat Loteng kan tidak semuanya tua. Generasi mudanya juga sangat banyak, mungkin lebih banyak dari generasi tua. Apa ada yang salah pilih? Kenapa mulai ada yang menggugat kembali pilihannya? Iming-iming apa dan hal apa yang membuat mereka jadi seperti itu? Apakah mereka (maaf) bodoh juga? Kita tidak bisa melarang orang untuk menjadi tim sukses dan kaki tangan. Yang bisa dilakukan adalah mencerdaskan (sekali lagi) masyarakatnya dalam menentukan pilihan. Dengan begitu masyarakat Loteng tidak terus menerus dikategorikan sebagai pemilih tradisional semata (yang kampanyenya lebih hanya menggunakan cerita-cerita masa lalu dan slogan-slogan pendekatan historis serta kedekatan emosional semata).


Untuk melanggengkan kekuasaan, kaum penguasa secara sangat sadar tidak ingin rakyatnya cerdas (terutama pendidikan politik). Itu membahayakan koloninya penguasa. Jadi, jika itu masalahnya maka pihak yang bisa diharapkan untuk mencerdaskan rakyat adalah pers.
Posisi media massa moderen adalah sebagai elemen non pemerintah, dengan beberapa fungsinya antara lain sebagai alat pemberi informasi, pendidikan, penyebaran nilai-nilai, pengawasan, dan hiburan. Untuk mengawal roda pemerintahan yang bersih, adil, dan kondusif, maka itu adalah salah satu bagian dari tugas pers bersama masyarakat.
(Komunikasi Massa. 2004)


Maka, sudah selayaknya masyarakat Loteng menjadi cerdas dan kritis. Dalam konteks ancaman terhadap stabilitas nasional (semisal SARA dan sebagainya), maka pers menjadi mitra pemerintah untuk menghancurkan itu. Tapi, apakah peluang masyarakat Loteng untuk cerdas dan kritis adalah ancaman terhadap stabilitas nasional atau stabilitas Loteng (sehingga peluang itu harus dihancurkan)? Jika menilik kondisi masyarakat Loteng yang saat ini selalu saja seperti salah pilih dan senantiasa dalam bayang-bayang ketakutan untuk ‘bersuara’, maka saya pribadi menyimpulkan bahwa fungsi pers di Loteng saat ini (maaf) tidak berjalan cukup baik. Pers tidak cukup mau (atau mungkin tidak mau) untuk ‘menemani’ masyarakat menjadi cerdas dan kritis. Pers yang beredar di Loteng tidak bisa membantu masyarakatnya untuk menemukan kebebasan berpikir dan berpendapatnya. Tidak juga bisa membantu masyarakat untuk lebih menggunakan otak dan nurani yang maju ketika harus memilih seorang pemimpin, daripada harus mendengar celoteh tim sukses yang jelas-jelas sudah punya kepentingan tersendiri (individu maupun kolektif).


Tidak kita pungkiri, bahwasanya bisnis media massa tetaplah sebuah bisnis yang selalu menghitung untung rugi. Tidak aneh sebab mereka juga perlu materi untuk terus hidup. Untuk daerah berkembang seperti NTB, maka belanja iklan koran (sebagai rata-rata pemasukan terbesar koran di Indonesia) pada spot mahal biasanya didominasi oleh iklan Pemda atau Instansi terkaitnya. Apakah toko kelontong atau bengkel kecil mau pasang iklan? Apalagi tukang jual pelecing.. Jika ada pihak swasta yang pasang iklan, spotnya berapa besar yang mereka berani pasang. Rata-rata tidak lebih dari iklan BW (red: black white) ukuran kolom. Mungkin lebih murah bikin pamplet dan disebar-sebarkan, lebih murah biaya opersionalnya. Atas dasar itulah (mungkin) yang membuat Lombok Post –koran pertama yang terbit di Lombok dan sebelumnya bernama Suara Nusa- lebih nyaman menjadi anak manis birokrat, ketimbang harus idealis dengan tetek bengek semangat jurnalismenya.


Dari sebuah milis kampus, seorang kawan di Aliansi Jurnalis Independen Bandung mengeluhkan media massa (TV, Radio, dan Koran / Majalah) di Indonesia sekarang yang kepemilikan sahamnya rata-rata dikuasai oleh ‘kaum bermasalah’ dan status quo. Hal inilah yang membuat wartawan pro rakyat kemudian berada dalam posisi gamang. Tarik ulur kepentingan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Jika itu juga terjadi dengan bisnis pers di NTB atau Loteng khususnya. Maka, say goodbye buat semangat jurnalisme dan segala tetek bengek fungsi pers buat masyarakat di Loteng. Media alternatif untuk pencerdasan masyarakat yang kritis dan berani sepertinya hanya akan menjadi cita-cita saja. Pemerintah perlu pers untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya dan pers perlu space untuk terus hidup dan berkembang. Ya, klop sudah.. masyarakat nanti saja dulu.


Tidak perlu berpanjang lebar saya bersuara disini sebab saya juga bukan seorang analis. Cukup saya simpulkan sementara ini bahwa fungsi pers di Loteng saat ini tidak lebih hanya alat penyampai informasi dan hiburan saja yang ujung-ujungnya menyerupai alat propaganda pemerintah semata. Tidak ada berita jujur yang dikemas berimbang dan dilempar ke masyarakat Loteng, hanya informasi saja (berita dan informasi adalah dua hal yang berbeda). Pengawalan yang dilakukan lebih diimplemetasikan sebagai ‘menjaga’ daripada sebagai ‘mengawasi’. Apalagi sebagai oposisi yang notabene memerlukan keberanian lebih, sangat jauh dari harapan. Masyarakatpun akhirnya tidak akan pernah tahu, jika pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin birokrasi negara berpaham demokrasi itu dalah tiga posisi yang berbeda. Hak, kewajiban, dan kosekuensinya pun berbeda pula.


Sebagai penutup, maka saya ingin mengingat kembali celetukan seorang kawan kuliah saya, seorang anak Jakarta dan pemerhati majalah musik. “ sepertinya dunia pers di Indonesia saat ini membutuhkan orang-orang kayak Setiawan Jody untuk mendirikan usaha media massa hanya sebagai hobi saja, sekaligus juga jalan untuk mengabdi kepada masyarakat. Tidak terlalu mengarapkan untung besar. Asal tetap hidup dan bisa menghidupi karyawannya. Agar keberadaannya senantiasa bisa menjadi teman yang loyal buat masyarakat.. “. Saya tersenyum dan berpikir itu mimpi. Tapi, kawan saya berkata, “siapa tahu..?!”. “ya..ya..ya.. siapa tau..”, saya menggumam.





------000------

Sabtu, 22 Maret 2008

Puisi

MULUT


Di mulut kanak-kanak
Kata-kata seperti tanpa makna
Di mulut para remaja
Kata-kata hanyalah rayuan saja
Di mulut orang tua
Kata-kata adalah petuah
Di mulut guru
Kata-kata adalah pelajaran
Di mulut para raja
Kata-kata adalah sabda
yang terdengar seperti firman tuhan
(dengan huruf t kecil saja)
Dan di mulut ‘kita’
Kata-kata adalah ‘kitab suci’
Sebatang pena yang menjelma sebilah pedang,


Jatinangor, Juli 2004


EKSEKUSI (Aku dan Kau)


Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih gelisah
Degup-degup jantung dan detak jam
Adakah arti yang sama?

Berbaris menunggu instruksi
Sebuah drama tentang keberhasilan
Tentang mimpi-mimpi masa depan
Sekaligus menghibur ibu dirumah
Tanpa beliau pernah tahu jika anaknya
Semalam masih repot mencari pinjaman

sepatu, dasi, dan jas

Dan pagi-pagi terlihat klimis dan wangi

dengan parfum tebengan

Aduhai… IPK kita berapa?
Berapa jumlah sarjana Indonesia tahun ini?

Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih bergairah
Ketukan palu atau suara mesiu
Adakah arti yang sama?

Diseluruh dunia
Picu-picu diciptakan untuk ditarik
Seperti itulah potret kita (aku dan kau)
Berlomba menuju pelatuk,


Jatinangor, Mei 2007



RESAH


Pada senja ada bias-bias pecah mengubur desah
Pada subuh ada gairah-gairah mengikat patah
Lalu, rindu pun meleleh seperti geliat ASI yang basi
Tumpah di bilik-bilik,


Saritem, Desember 2003


SERENADE FAJAR


Pada negeri-Mu di pesona bunga
Di penghujung musim ku ketuk kabut
Saat Jatinangor masih bercadar kelam
Embun sedingin subuh

Tuhan..
Bolehkan aku berdzikir tanpa tasbih?
Dan ku hitung asma-Mu dengan kalkulator?


Jatinangor, Maret 2005





-----------oooooooo------------

Puisi

RIUH DI HATI SENDIRI

Kepada: Tahun Baru ‘kelas dua’


Sederet kalimat telah terkirim diawal tahun
Kata-kata tanpa taring lewat hape yang ketinggalan zaman
Sekedar memperteguh identitas yang selalu diperdebatkan
(Persetan dengan mereka karena aku hanya ingin menghormati Muhammad saja, atau juga empat lelaki sahabatnya)
Tidak ada gerimis atau hujan namun mendung sempat menggertak bumi
Semenjak siang ..

Selepas isya jalanan masih seperti malam-malam sebelumnya
Kecuali sederet kanak-kanak yang membawa obor berbaris-baris
(minyak tanah yang langka dengan harga yang membumbung tinggi tentulah bukan masalah buat mereka)
Hanya mereka yang mempersembahkan suara sebenarnya
(kelak kalau sudah besar mungkin mereka tidak akan pernah mau melakukannya lagi, buat apa? Malu dong pawai obor kayak ibu-ibu PKK.. Tahun baru kan cuma tanggal satu Januri saja.. itu kata artis di tivi-tivi)

Setelah semua berlalu dan malam mulai merangkak lebih pekat
Aku bersenandung riuh
Aku membakar petasan dengan suara bedug
dan kembang api yang beraroma dupa
Aku berjoget riang dalam irama gambus, gamelan, marawis,
atau tari-tarian masa lampau
Hanya yang berbeda dengan pawai obor kanak-kanak itu adalah
semua yang kulakukan tanpa suara tanpa rupa tanpa aroma
Hingga tetes embun dan jerami patah pun bisa kau dengar dalam hening
Dan wangi nafas bayi pun bisa kau hirup dalam sunyi
Sebab aku melakukannya didalam hati saja.. dihati sendiri..
Maaf, malam ini aku membenci pemuda masjid apapun ..


(Jatinangor, malam Tahun Baru 1429 Hijriyah)



EPILOG PENDIDIKAN

Buat: Mahasiswa Baru


Di depan gerbang ia berdiri berjejal-jejal
Bercelana abu lusuh sepatu buta warna
Tiga tahun tak pernah ganti-ganti
Ah.. mari mengaso sejenak

Perjalanan dari pelosok-pelosok berdatangan
Bergerak menuju gedung-gedung pengharapan
Sabda para ‘Nabi’; diharamkan cita-cita dibuang kepemakaman

Dalam tas lusuh segepok duit lusuh
Tabungan emak selama tiga setengah tahun
Recehan yang kini menangis
Ditertawakan daftar biaya registrasi

Dalam ruangan berderet meja seperti singgasana para hakim
Ada bisik-bisik tangan dibawah SK Rektor
Dengan bahasa ‘asing’ yang kadang susah dimengerti
Ia lalu mengangguk-angguk sambil mengingat emak

Senja pun turun perlahan
Besok batas akhir daftar ulang
Dan malam ini
Orang miskin dilarang bermimpi,


Universitas Padjadjaran, Agustus 2004




--------ooooooo----------

Puisi

PANEN RAYA

Kepada; Bumi Siliwangi, Bumi Gora, gepeng di pusat kota, dan penderita busung lapar di NTB


Langit masih gelap dan dingin masih mendekap tulang
tapi ini bukanlah subuh
Langit sudah gelap dan dingin mulai menyapa tulang

tapi ini bukanlah maghrib

Langit memerah pipi dewi tapi ini bukan pagi
Langit memerah saga tapi ini bukan senja

Dinegeriku ini yang ada hanya terik saja menyengat
Melubangi ubun-ubun hingga telapak kaki mati
Dan menghancurkan hati

Dinegeriku ini yang ada hanya pekat saja melaknat
Membungkam pandangan hingga batas penderitaan
Dan membutakan nurani

Di sini hari ini ada hajatan bernama panen raya
Berbondong-bondong kami memilih bupati dan gubernur
Seperti bercocok tanam kami menusuk-nusuk gambar di ulu hati
Mencoblos angka dan janji … Jantung kami terpancung belati,


Bandung, 21 Maret 2008



Akhirnya Aku Melihat Kabut Di Jatinangor


Akar sejarah adalah cerita tentang masa lalu
Dibisikkan turun temurun dan terkadang dari hati ke hati
Hingga satu telinga mungkin akan tuli
Tapi .. Sungguh!!!
Kamis, 13 Maret 2008 pukul 05.50 pagi
Aku akhirnya melihat kabut di Jatinangor
Barisan pepohonan di sepanjang Supratman
Dengan ciri khas tukang cukur jalanannya
Bapak tua itu pernah bercerita
“ Dulu, Bandung itu jam 9 pagi atau jam 10 juga masih berkabut. Tebal sekali..”

Aku bergidik, dingin sekali sepertinya subuh mecucuk belulang
Dan hari ini aku melihat kabut di Jatinangor
Dari atap genteng pondokan
Kabut itu berarak walau tidak setebal cerita masa lalu
Mencoba menyapa bangunan yang sedang belajar sombong
Berupaya mendekap keheningan subuh yang perlahan pergi
Tergusur kebisingan rutin yang tekadang biadab
Di sela-sela garis langit hari ini aku melihat kabut di Jatinangor

Hari ini, besok, atau mungkin lusa
Cerita itu mungkin akan tetap didongengkan
Dengan suara yang sudah terdengar payah

Kabutmu, kabutku, kabut kita semua
Tidaklah lagi begitu dingin
Mungkin itu sisa kabut era globalisasi
Tergerus polusi dan segala caci maki
Lalu kukepalkan tangan menjulang

Yap.. akhirnya aku melihat kabut di Jatinangor!!

Jatinangor, 13 Maret 2008




-------------000000000000-------------

Jatinangor Yang Ku Tahu

KURANGI KECEPATAN .. ANDA MEMASUKI KAWASAN PENDIDIKAN JATINANGOR

Sebuah ingatan G. Sulye Jati


Jatinangor, Februari 2008 .. Musim hujan dengan jadwal yang tidak pasti. Ratusan ribu (mungkin jutaan) manusia bercampur di sini. Dengan tujuan yang berbeda – beda. Mengais rezeki atau mengais ilmu yang mengatasnamakan masa depan gemilang. Terkolaborasi dalam perjuangan irama cita dan cinta yang dijanjikan Tuhan. Jalanan setiap hari merayap semakin padat dan penat. Terjebak arus pembangunan yang tidak mengenal perencanaan dan (hampir – hampir) tanpa tujuan, selain daripada ambisi kampung ini untuk menjadi sebuah kota dan tujuan pendidikan (?). Pusat perbelanjaan yang megah menghamparkan etalase mimpi tentang modernisasi dan kemajuan. Entahlah .. apakah orang kampung besar ini sudah bisa menawar dan membeli isi etalase itu. Gerbang Unpad mendengkur lelap ditinggal jiwa – jiwa mahasiswa. Berhentilah dan lihatlah barang sebentar. Semua yang lalu lalang sepertinya tidak punya tujuan lain (mungkin), kecuali hanya sekedar transit di desa besar ini, untuk kemudian berharap pulang dengan beberapa titel; alumni, sarjana, dan orang sukses.

Jatinangor, Februari 2008 .. Penghuni tetap dan tidak tetap semakin ‘pintar’. Penghuni tetap menghitung rasa sosial ala pribumi dengan pendatang dari kota dan ‘kota’. Warga tidak tetap terus belajar menjadi manusia merdeka dengan porsi dan daya takar masing – masing IQ. Mahasiswa harus berubah ..”. / “tinggalkan cara - cara 1998, kebebasan mahasiswa itu harus seperti ini .. seperti itu .. contohlah cara mahasiswa di eropa ..”. Entahlah .. apa mereka lupa, negeri ini (termasuk Jatinangor) kondisinya belum seperti negeri – negeri di eropa. Sebagian kecil di luar lingkaran itu mencoba bertahan untuk tidak tergerus. Bertahan dengan masa lalu dan dengan semangat yang terpompa dari nuansa sisa – sisa nyanyian aksi jalanan. Entahlah .. sampai kapan.

Jatinangor, akhir Juli 2003 .. Dalam damri ekonomi jurusan Kalapa – Tanjungsari yang memasang tiket Rp.1800,- memasuki Jatinangor bisa terlihat jelas plang identitas; KURANGI KECEPATAN .. ANDA MEMASUKI KAWASAN PENDIDIKAN JATINANGOR. Saat itu aku tidak tahu kalau desa besar ini ternyata sedang menggeliat. Menguap dan bersiap – siap terjaga. Lahan – lahan menunggu pulpen untuk tanda tangan pembebasan. Bis kuning UNPAD -yang butut dan digratiskan- juga bertuliskan Kampus Pembebasan dengan warna merah. Entahlah .. apa yang dibebaskan, sebab aku banyak melihat dan mendengar mahasiswa ngobrol tentang pembebasan yang belum juga di teken Rektor. Lima tahun kemudian aku sadar Jatinangor sudah berlari dan tumbuh sangat dewasa .. begitu cepat. Agustus 2003, aku mendengar kalau Wahyu –si pemuda tanggung asal Bogor- seorang mahasiswa STPDN tewas dibunuh seniornya. SIAPKAN KEKUATAN .. ANDA MEMASUKI KAWASAN PENDIDIKAN JATINANGOR. Kalau diijinkan mungkin aku ingin menulis ulang plang itu.

Jatinangor, Agustus 2004 .. Di Rektorat UNPAD Bandung, aku melihat mahasiswa baru berjejal membayar tiket untuk ke Jatinangor. Sebagian yang datang dengan modal pas – pasan di sodori surat perjanjian. Bulan sekian harus di lunasi. Surat utang, seperti itulah maksudnya. Akhir bulan Agustus aku sadar, penghuni UNPAD Jatinangor melonjak drastis. Ada kelas baru katanya. TINGKATKAN ‘KEMAMPUAN’ .. ANDA MEMASUKI KAWASAN PENDIDIKAN JATINANGOR. Kalau diijinkan mungkin aku ingin menulis ulang plang itu. Warga Jatinangor sebagian sedang berpesta dengan euphoria dana pembebasan lahan. Bersiap – siap pula untuk menyambut lonjakan ‘penumpang’. Entahlah .. apakah rektor, menteri pendidikan dan presiden juga di kasih undangan.

Jatinangor, 2005 – 2006 – 2007 .. Adat dan norma terus dibenahi dan diperbaharui. Gelombang eksodus dan invasi budaya kian menghantam, maka masyarakat harus menyesuaikan diri. Aku tak mengerti .. bukankah tamu harus mengerti dan mengikuti aturan di rumah orang? Tapi di Jatinangor, ungkapan “Di mana bumi di pijak disitu langit di junjung “ sepertinya hanya tinggal slogan. Aku ingat, pepatah itu pernah aku ucapkan dulu waktu aku diwawancara menjadi mahasiswa baru. Entahlah .. saat itu aku sangat yakin. Namun, aku memikirkan ulang kalimat itu setelah orang STPDN kembali membunuh juniornya yang berasal jauh dari Maluku, Clif Muntu, jadi tumbal sebuah ‘kurikulum’ ala pemerintah. Tidak puas pula, Wendi, seorang pemuda tanggung di bantai juga di tempat billiard yang menjadi salah satu simbol pembangunan dan modernisasi Jatinangor. Dia seorang preman dan mengganggu kami..”, katanya. Pemuda kampung itu datang sambil mabuk.., yang lain menimpali. Pembenaran (atau pembelaan) untuk mereka menghilangkan nyawa seorang pemuda tanggung. Entahlah .. apakah calon Pamong Praja itu mengerti dengan kata preman. Entah juga .. sebagai mahasiswa ‘elit’, mengapa tengah malam mereka ada di tempat preman menghabiskan waktu. Tapi yang harus mereka mengerti, itulah salah satu bentuk dan rupa masyarakat yang nanti akan mereka layani dari kantor – kantor yang nyaman. Entahlah .. kurikulum di sekolah tinggi itu mungkin tidak (atau lupa) membahas tentang karakter masyarakat di zaman globalisasi.

Jatinangor, Februari 2008 .. menjelang subuh di hari Selasa tanggal 26. Bangunan – bangunan megah itu pasti sedang menggigil menunggu pagi. Sebuah gedung lainnya (katanya milik Pemprov Jabar) sedang sekarat menghitung rugi. Terbanting persaingan industri pendidikan yang kejam. Jatinangor menanggung kosekuensi pembangunan yang di label ilmu pengetahuan. Ah entahlah .. saat ini aku hanya ingin mengalir saja. Sambil mengingat kampung halaman nun jauh di Lombok sana. Sekilas diantaranya menyelipkan ingatan pada senyumnya .. (?) aku tiba – tiba tersenyum juga sendiri. Biarlah Jatinangor bergerak dan berlari mengejar mimpinya. Tiket damri ekonomi Kalapa – Tanjungsari via Jatinangor sekarang harganya Rp.3200,-. KURANGI KECEPATAN .. ANDA MEMASUKI KAWASAN PENDIDIKAN JATINANGOR. Plang bodoh .. Jatinangor tidak akan pernah mau mematuhi perintah dari tulisan plang itu. Aku? Tentu saja tidak .. karena seperti Jatinangor, aku juga punya cita – cita :)




------0000------

Salam Padang Ilalang Merah

Selamat datang di padang ilalang merah. Negeri para pengelana yang mencari kebebasan. Berpikir, bersuara, dan berlaku sesuai dengan kata hati dan nurani.

Selamat bertani di padang ilalang merah. Tanah para pekerja yang mendambakan kedamaian. Di kota, di kampung, dan disetiap jengkal sudut pertiwi.

Selamat mengarungi padang ilalang merah. Air para para petarung yang merindukan kesejahteraan. Di sungai, di danau, dan dilautan raya nusantara yang kaya.

Bumi yang kita tempati, air yang kita minum, dan udara yang kita hirup bukanlah warisan dari nenek moyang kita. Semua hanyalah pinjaman dari anak cucu para generasi setelah kita. Padang ilalang merah … sebuah catatan tentang kebebasan dan kejujuran. Pada hati dan nurani.

Salam ..