"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Rabu, 24 Desember 2008

CATATAN : Tentang Sebuah Pemilihan Kepala Dusun dan RT

" Papan Hasil Suara Pilkadus "
ilustrasi oleh : petani bodoh



NEGERI VOTING



Suatu hari dalam sebuah perjalanan menuju ke tempat seorang kawan di wilayah Bandung bagian utara melewati Padasuka terus ke atas. Pada sebuah jalan dimana disisi jalan itu sedang berlangsung sebuah pemilihan Ketua RW. Saya bisa memastikan karena disana ada spanduk yang bertuliskan tentang kegiatan itu. Melihat hal tersebut ingatan saya kemudian melayang kepada seorang kawan yang mengomel-ngomel waktu kepala desa yang dijagokannya kalah. Lewat sebuah pesan SMS dia menghujat calon kepala desa yang menang dengan menuduhnya telah melakukan melakukan kecurangan waktu kampanye dan saat pencoblosan.


Sedikit memaksa ia agar saya membenarkan ‘hujatannya’ itu, walau saya sendiri tidak tahu apa-apa dan saya tidak ada kepentingan apapun terhadap pemilihan kades didesanya. Untuk menyenangkan kawan saya itu, akhirnya saya ‘sedikit membenarkan’ juga. Toh, kawan saya itu tidak akan bisa merubah hasil dan kepala desa yang terpilih tetap dilantik.


*********


Diseluruh pemilu yang dilakasakan di Indonesia dan mungkin juga di dunia. Seorang pecundang selalu menyalahkan pemenang dengan mengatakan si pemenang telah melakukan kecurangan. Amat sangat jarang kita menemukan ada calon yang kalah akan mengakui secara terbuka bahwa ia kalah dan tidak ada tindak lanjut apapun semacam manggugat kekalahannya lewat tuduhan kecurangan yang tidak berdasar. Untuk sementara ini cukuplah dulu celoteh pembuka kita tentang pemilu di negeri ini.


Indonesia adalah sebuah negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologinya. Lima ayat yang tercantum didalamnya dianggap sebagai ruh dari seluruh proses berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat seluruh elemen. Saya sendiri cenderung menyebutnya cita-cita. Kenapa? Sebab sampai saat ini seluruh apa yang termaktub didalamnya tidak pernah bisa diimplementasikan mendekati angka setengah atau 50 persen. Kerusuhan berunsur SARA, kebobrokan akhlak generasi muda dan generasi tua, korupsi, ketidakadilan pemerintah, dan segala kebobrokan hampir di setiap elemen negeri menjadikan Pancasila saat ini masih berbentuk harapan bangsa saja.


Namun ada satu sisi dari kepribadian bangsa ini yang sepertinya menarik untuk dibuatkan catatan khusus. Ciri khas masyarakat yang satu ini sudah ada dan melekat erat dalam karakter sosial yang berlaku pada diri tiap-tiap anak negeri. Sebuah budaya yang sering kita sebut dan banggakan sebagai praktik kultur budaya timur.


Jika anda adalah seorang yang aktif dilingkungan anda. Entah sebagai Ketua RT / RW, Kepala Desa, Kepala Dusun, atau berbagai jabatan ‘kecil’ lainnya. Bisa dipastikan anda akan sering memndengar atau memakai istilah MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT. Ya.. istilah ini dulu sering dipraktikkan dalam sebuah sistem sosial bangsa Indonesia. Sebuah metode bermasyarakat yang sangat kita banggakan. Menggambarkan sebuah kebersamaan, persatuan, dan toleransi yang tinggi sebuah tatanan masyarakat dalam menyelesaikan atau membahas suatu hal secara bersama-sama seluruh elemen masyarakat tersebut. Semacam gotong royong kepentingan bersama yang ‘dikeroyok’ dengan ruh kekeluargaan yang tinggi.


Bangsa kita saat ini adalah bangsa dengan masyarakat yang latah. Selalu ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan segala sesuatunya. Saat ini salah satunya adalah ketika harus memilih ketua RT atau ketua RW. Latah ini kemudian menghilangkan atau mengenyampingkan hal yang kita sebut diatas, yakni; semangat musyawarah mufakat. Sendi-sendi yang ada selalu mengatasnamakan ‘demokrasi’. Sampai menyentuh ranah yang sangat jauh, yaitu; sosial dan agama. Demokrasi dianggapnya sekedar gagah-gagahan atau menunjukkan sebuah kecerdasan. Masyarakat kita memang sering aneh dalam menempatkan sesuatu.


Dulu pemilu ‘besar’ itu hanya diadakan untuk memilih partai politik sebagai bagian dari aspirasi masyarakat untuk ikut berpolitik. Pemilu ‘kecil’ dilangsungkan untuk menentukan Kepala Desa. Terlepas dari kondisi politik negeri ini yang sangat digenggam oleh rezim yang berkuasa waktu itu, tetaplah sistem pemilu memang harus ada. Meninggalkan rezim orde baru yang carut marut dengan berbagai kasus, era reformasi kemudian menghadirkan sebuah pemilu yang lain, yaitu pemilu Presiden, Gubernur, dan Walikota / Bupati. Sebuah kemajuan dalam alam demokrasi telah kita raih.


Sedikit kemudian kesalahan pemerintah kita adalah ketika mencoba mendidik rakyatnya dengan menyuruh mereka latah. Pemilu yang menarik adaah tugas pemerintah dan elemen pelaksana untuk mengemasnya. Saat ini pemilu kita mempunyai golongan putih yang cukup besar. Golongan putih adalah sebutan untuk masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan berbagai alasan. Namun semua bersumber dari satu alasan umum; Pemilu tidak menarik sebab tidak menghadirkan perubahan yang mendasar dan konkrit bagi masyarakat. Entahlah.. dari sudut pandang apa si Golput ini menilai. Tapi yang pasti, poin bahwa pemilu tidak menarik sudah cukup sebagai bahan evaluasi.


Sebagain besar masyarakat kita adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah. SDM yang ada merupakan imbas dari pendidikan dan pemahaman yang memang masih sangat kurang. Untuk mengakali itu, pemerintah kemudian melakukan kampanye partisipasi pemilu yang salah satunya adalah dengan mendorong diadakannya Pemilu dari sub fungsi terkecil yaitu pemilihan Ketua RT dengan metode pemilu. Harapan pemerintah adalah masyarakat menjadi terbiasa dan pendidikan politik bisa lebih cepat merata. Namun pemerintah telah mengorbankan sebuah cita-cita besar untuk sebuah politik. Pemerintah telah mendidik masyarakat untuk melakukan segala sesuatu atas dasar kepentingan politik dan menggerus semangat ‘budaya timur’ yang telah ada di masyarakat sejak dulu.


Dulu semangat kebersamaan masyarakat dibentuk lewat pertemuan-pertemuan antar anggota masyarakat. Berbagai hal dibicarakan, termasuk untuk memilih ketua RT atau kepala dusun. Musyawarah mufakat betul-betul dipraktikkan secara nyata dan efektif. Sekarang semangat itu hampir sudah tidak ada lagi seiring dengan pudarnya semangat kekeluargaan dimasyarakat. Negeri kita adalah negeri voting. Hingga mungkin suatu saat nanti kita akan melakukan seluruh pekerjaan dengan cara diundi atau pemilihan suara terbanyak tanpa pernah belajar untuk merembukkannya terlebih dahulu. Musyawarah mufakat akan menjadi dongeng sejarah tentang sebuah masyarakat Indonesia dimasa lalu. Yah.. begitulah..



Jatinangor, 23 Desember 2008



---------0000000----------

Sabtu, 13 Desember 2008

CATATAN : TENTANG PAHLAWAN


" Pejuang Revolusi "
ilustrasi oleh : petani bodoh





PAHLAWAN





Seorang pahlawan adalah mereka yang berjuang dulu waktu zaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan. Tujuan berjuang sudah jelas; untuk sebuah pembebasan dari penindasan oleh penjajah. Guru SD saya berkali – kali menerangkan itu dari semenjak saya kelas satu sampai kelas enam. Waktu itu, kata pahlawan kemudian menjadi salah satu kosakata yag sangat gagah dan macho bagi kami murid-murid SD di kampung saya. Memang begitulah kira-kira otak kanak-kanak mencerna. Yang menerangkan hal itu juga seorang pahlawan, walapun tanpa tanda jasa. Titel itu melekat dan sempurna dipropagandakan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Itulah kenapa guru pada saat itu ‘rela’ digaji sangat kecil. Mungkin sebab gelar pahlawan telah membuat mereka menjadi tidak enak untuk protes.

Bergerak kearah waktu tahun 2008 sekarang ini, kata pahlawan kembali menjadi perbincangan cukup hangat. Sehangat segelas kopi dipagi hari. Banyak alasan untuk memperbincangkan hal itu. Termasuk mungkin juga menjadi alasan saya membuat catatan ini. Selain itu dialog dalam film Naga Bonar 2 membuat saya tertegun, "Semua yang dimakamin disini itu pahlawan ya..?". Makam pahlawan Kalibata hanya membisu.

Seorang bekas presiden meninggal dunia awal tahun 2008 ini. Guru-guru berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji pada pertengahan tahun. Menjelang akhir tahun, beberapa tokoh revolusi kemerdekaan (yang telah meninggal dunia) mendapat penghargaan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Sebuah partai (yang katanya progresif reformis) secara sepihak mendadak telah ‘mengangkat’ seorang bekas presiden sebagai pahlawan dan kemudian menjadi polemik dimasyarakat. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan gaji ‘para pahlawan tanpa tanda jasa’ sebesar 100 persen mulai tahun depan. Jika harus memberikan gelar, maka saya ingin menyematkan gelar untuk tahun 2008 ini sebagai Tahun Pahlawan.

Membuka sebuah milis, kami ada sedikit perbincangan tentang seorang bekas bupati di tempat kami di kampung sana. Ia merupakan tersangka korupsi yang sedang diadili sampai terkencing-kencing di tengah persidangan. Seorang mantan gubernur juga mendadak mengalami sedikit ‘gangguan jiwa’ ketika kasusnya semakin mengerucut kearah vonis hakim. Banyak yang tersenyum simpul dan tertawa dengan adegan langka itu. Namun ada yang mencoba ‘menengahi’ dengan mengatakan bahwa bagaimanapun juga sang bekas bupati dan bekas gubernur itu telah berjasa juga dengan daerah yang dipimpinnya semasa ia masih menjabat. Kata ‘berjasa’ kembali mengingatkan saya dengan kata pahlawan.

Di negeri ini, saya tidak pernah mendengar ada seorang bupati, gubernur, atau presiden dipaksa oleh rakyat untuk menjadi bupati, gubernur, atau presiden. Mereka pasti mencalonkan diri. Dengan kata lain, menjadi kepala daerah atau kepala negara itu adalah murni keinginan dia sendiri. Sampai harus mengeluarkan biaya besar dan tidak jarang dengan kecurangan dan keculasan. Kenapa? Pekerjaan sebagai kepala daerah atau kepala negara itu adalah sebuah job yang penuh harta. Gaji besar, fasilitas mewah dan lain sebagainya. Termasuk untuk keluarganya juga sampai ring keberapa saya sendiri kurang tahu. Saat seseorang ingin menjadi gubernur maka dia sudah tahu tugas dan tanggung jawabnya yang memang besar. Jadi, jika dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka itu memang sudah tugasnya yang bisa disebut keberhasilan dan bukan jasa.

Seluruh pekerjaan yang berafiliasi dengan kalimat pegawai negeri juga seperti itu. Menjadi sangat aneh ketika seorang pegawai negeri yang digaji oleh negara (baca; rakyat) disebut berjasa kepada negara karena dia bisa menjadi pegawai negeri yang baik dan berhasil menjalankan program-programnya dengan baik. Bagi saya itu sangatlah aneh.

Sebuah jasa dalam konteks sosial bermasyarakat dan bernegara adalah sebuah pekerjaan tanpa pamrih. Dengan kata lain, tidak menghitung berapa jumlah feed back yang dia terima. Tidak komplain ketika gaji kecil. Tidak protes saat tidak mendapatkan fasilitas mewah. Para pejuang zaman perang kemerdekaan dulu tidak pernah mendaftar untuk menjadi pejuang dan tidak mendapatkan gaji atas pekerjaannya berjuang mengusir penjajah. Saya pun tidak yakin para TNI zaman revolusi kemerdekaan itu digaji. Mereka murrni berjuang dan tulus ikhlas tanpa pamrih. Itulah yang kita sebut jasa.

Bekas presiden yang telah meninggal dunia (dan dimakamkan dengan upacara super megah) itu dulu telah (katanya) ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Ia kemudian mendapat feed back dengan menjadi presiden (penuh kontroversi) selama 32 tahun. Sekarang hartanya masih bisa dinikmati sampai 7 turunan. Sudah impas kan?! Untuk gelar pahlawan sebagai presiden saya rasa sudah tidak perlu. Tidak ada istilah tanpa pamrih menjadi kepala negara. Ia digaji dan mendapatkan kekayaan serta kekuasaan luar biasa dengan jabatan itu. Sebagai bekas pejuang? Sejarah masih menyangsikan peran dan posisinya. Sementara ini masih banyak veteran revolusi kemerdekaan yang lebih hebat perjuangannya dan sudah dilupakan pemerintah. Selain itu, dosa-dosanya sebelum dan selama ia menjadi presiden pun belum terbayarkan sampai saat ini. Semua orang tahu dan sejarah telah mencatatnya.

Seorang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mendengar lagu Umar Bakrie-nya Iwan Fals saya sepakat itu. Tapi itu dulu. Sekarang? Saya berpendapat sudah tidak lagi. Seorang guru adalah seorang pegawai negeri dengan gaji besar. Guru yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang mengajar disekolah-sekolah darurat. Para relawan yang dengan kesadaran sendiri tanpa pamrih (baca; upah seadanya) mengabdikan diri untuk mengajar buat anak-anak tidak mampu dan didaerah bencana. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah para guru-guru madrasah di pelosok-pelosok yang diupah dengan gabah setiap panen dan sama sekali tidak punya gaji pensiun ataupun tunjangan kesehatan. Mereka rela karena panggilan hati nurani untuk melakukan sesuatu atas nama kemanusiaan dan berbuat baik kepada sesama dalam menyebarkan ilmu pendidikan.

Onani terakhir dari catatan ini adalah tidak ada istilah pahlawan untuk pegawai negeri dan segala hal yang berafiliasi dengan pekerjaan itu. Termasuk para anggota dewan (yang terhormat), kepala daerah, menteri-menteri, dan kepala negara. Mereka memilih pekerjaan itu dengan kesadaran sendiri karena disana ada materi yang tidak sedikit dan kekuasaan yang berlimpah. Tidak ada pemaksaan untuk hal itu, malah mereka yang cenderung memaksakan.

Membuka milis yang lain, seorang kawan yang cantik bercerita tentang kesederhanaan seorang Ahmadinejad. Ia adalah kepala negara di negeri para mullah; Iran. Kawan cantik saya itu bermimpi mempunyai presiden seperti Ahmadinejad. Dan saya membaca email-nya sambil tersenyum. Ikut bermimpi.. sambil ‘berharap’ juga bahwa suatu saat nanti kata pahlawan akan di hapus dari kamus besar Bahasa Indonesia yang disempurnakan.



Bandung, 14 Desember 2008





----------ooooooooooo---------

Sabtu, 06 Desember 2008

REKAM JEJAK : Anak - Anak Negeri

ANAK INDONESIA SAJA



" Pengamen "
Laswi - Bandung



" Ikut kakak "
Laswi - Bandung


" Sudut Tersembunyi "
BSM - Bandung


" Headline Hari Ini "



" Eksistensi "



" Ikut Bapak "
Gedung Sate - Bandung


" Eksploitasi "
Gedung Sate - Bandung


" Berburu Receh "
Stasiun Tasikmalaya



Coba perhatikan gambar - gambar diatas ..


Sebuah ungkapan bahwa anak adalah generasi penerus. Jika ingin melihat seperti apa Indonesia dimasa depan, maka lihatlah seperti apa anak-anak Indonesia saat ini. Ada yang berjuang mengejar mimpi dalam tekanan penderitaan dan sebagian kecil lainnya mengubur mimpinya sendiri ditengah taburan kemewahan. Yah.. Itulah realita yang kita buat saat ini..

Salam petani bodoh ..


7 Desember 2008



------------ooooooooo-------------