"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Rabu, 28 Oktober 2009

PUISI : Karya WS. Rendra - Tentang Pemuda

" Petani Jagung "
ilustrasi oleh : dari web-nya kompas dan di edit dikit aja



SAJAK SEONGGOK JAGUNG



Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………

Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.

Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :

Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
Di sini aku merasa asing dan sepi!


Tim, 12 Juli 1975




*Diposting oleh petani bodoh untuk Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009






-------ooOoo-------

Senin, 17 Agustus 2009

CATATAN : Obrolan Singkat Dihari Kemerdekaan

" Bendera Dipancang Langit "
ilustrasi oleh: dari hasil nemu di warnet



MERDEKA, BUNG ... !!



SEBUAH diskusi ala jelata, disimpang jalan yang berdebu.

“Hei.. lewat diem-diem aja, nggak pake negur.. sombong amat, abis dari mana nih? Senyum-senyum sendiri..”.

“Sori-sori.. hehe, saya baru dari lapangan liat yang pada lomba. Tadinya sih mau ikutan sesi yang panjat pinang, tapi udah banyak yang ikut.. Jadi males, ya udah nonton aja hehe.. Lucu, banyak yang merosot saling injak.. hahaha..”.

“Wah.. kok saya nggak tau ada acara dilapangan, emangnya acara apaan? Kayaknya rame banget..”.

“Nah.. saya yang kaget, pake nanya kayak gitu.. Kayak bukan orang Indonesia aja, hari ini kan 17-an.. udah 64 tahun kita merdeka bung.. Mana pula kau ingat itu, heh..”.

“Merdeka? Merdeka dari apa maksudnya..? Emangnya sekarang kita udah merdeka..”.

“Hhmmm.. jangan belagu gitu dong, kita memang nggak ikut berjuang waktu revolusi kemerdekaan dulu, makanya sekarang kita punya ‘tugas’ buat ngerayainnya..”.

“Oohhh.. merdeka dari penjajahan negara lain maksudnya, ngomong dong hehe.. Saya pikir apaan.. heuheu..”.

“Emangnya maksud kau apaan? Merdeka dari apa gitu..?”.

“Haahahaa.. kau sekarang balik nanya, maksud saya tadi kita di zaman merdeka ini apa kita sudah benar-benar merdeka nggak..?!”.

“Ya tentu dong kita merdeka, buktinya sekarang kita bebas.. Nggak perlu kerja romusha atau bayar upeti buat Kompeni..”.

“Hhahaahaa.. Kau kebanyakan nonton sinetron dan liat iklan HUT. RI sih, jadi merdeka yang terbayang cuma Kompeni Belanda sama Jepang hahaha.. Ayolah bung, saya mau nanya sama kau; apakah kita merdeka untuk mendapat pendidikan nggak jika kita ingin sekolah? Kita merdeka untuk bersuara nggak di internet dan media massa? Kita merdeka untuk menentukan pilihan nggak ketika pileg, pilkada, atau pilpres? Kita merdeka nggak untuk berobat ketika kita sakit? Kita merdeka nggak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak di negeri merdeka ini? Anak-anak kita bebas nggak untuk hidup selayaknya anak-anak.. lihat tuh dijalan-jalan kota-kota negeri ini.. Kita merdeka nggak untuk tau berapa kekayaan negeri kita sekarang? Paling kita hanya merdeka untuk tau hutang saja.. Lalu apa kita sudah merdeka untuk menggugat segala kebobrokan pejabat negeri ini? Apakah petani kita merdeka untuk mendapatkan pupuk yang murah? Apakah nelayan kita merdeka untuk mendapat BBM bagi perahunya dengan harga terjangkau? Apakah para buruh sudah merdeka untuk mendapat upah yang layak dan bukan sekedar upah minimum? Dan yang lebih penting lagi, apakah kita sudah merdeka untuk ‘dimanusiakan sebagai manusia dan warga yang merdeka’ oleh negara merdeka ini…?”.

“Ho..oh.. Saya jadi bingung dan pusing dengar pertanyaan kau, negara ini sudah ada yang ngurus kawan. Pertanyaan-pertanyaan kau tadi harusnya dijawab sama yang ngurus negara itu.. bukan saya hehe..”.

“Eeeittss.. Sebab kau sudah merasa merdeka maka saya nanya sama kau bung.. hehe.. Tapi maap juga kalau sudah bikin kau bingung.. haha.. sudahlah, tak penting pula kita berdebat itu. Saya sudah merasa merdeka kok bung, sebagai anak negeri ini tentunya dan bukan sebagai warga negara.. bingung pula kau sekarang. Ayo kita ngopi, dengan jiwa merdeka tentunya.. hehe..”.

“Ayolah.. nanti saya bayar rokoknya, kau kopinya hehe.. sambil ngobrolin apa saja oke, merdeka bung..!!”.

Lalu senja turun perlahan dan HUT. RI setiap tahun akan terus diperingati sebagai sebuah budaya yang (sepertinya) sudah tanpa makna. Entahlah, apa kata para pahlawan di alam sana.




Jatinangor, 17 Agustus 2009






-------ooOoo-------

Minggu, 21 Juni 2009

PUISI : Rencana Besar Mendulang Asap

RENCANA BESAR

Tiap kali kita bertemu lewat kata-kata dilayar kaca
Selalu kau bercerita akan rencana besar yang saga
Tiap kali kita bersua lewat berbagai kertas sebagai pesan
Inilah dia rencana besar tak pernah lupa kau ingatkan

Bukan firman tidaklah sabda namun begitu mudah dihapalkan

Saat tiba kata-kata siap di asah di bibir matahari
(katamu) Rencana besar tertinggal di laci
Tersimpan rapat dengan puluhan sandi pada anak kunci
(lalu untuk membukanya aku sibuk sendiri mencari belati),


Bandung, 21 Juni 2009




TEORI MENDULANG ASAP

Ayo marilah berkumpul
Hari ini sesuai rencana kita akan mendulang asap
Untuk mematahkan teori jika tak ada yang tak mungkin
Ayo cepat jangan banyak argumen diadu
Kulkas dipanaskan didalamnya sungguhlah membeku
Lima jam saja asap pasti akan menjadi batu
(ternyata untuk mematahkan teoripun harus dengan teori)


Jatinangor, 8 Juni 2009




-----oooOooo-----

Jumat, 05 Juni 2009

CATATAN : Refleksi Tentang Mahasiswa Menjelang Pilpres 2009

" Aksi Mahasiswa "
ilustrasi oleh: dari nyari di google saja



MAHASISWA INDONESIA DALAM CUPLIKAN SEBUAH SEJARAH

(Refleksi Kecil Menjelang Pilpres 2009)



Begitulah, masanya selalu momentum dan terkadang latah. Saat itu mereka akan angkat tubuh dari kursi-kursi kelas yang kaku dan keluar dari ruang-ruang kampus yang pengap untuk menasbihkan diri menjadi simbol perlawanan..”

TAHUN 1908 – 1928 – 1945, deret masa yang tercatat emas dalam tinta sejarah negeri. Budi Utomo memulai pergerakan dengan berbasis pendidikan untuk pemuda. Tahun ini (walaupun bukanlah embrio pertama kalinya) telah cukup untuk meletakkan sebuah dasar bagi perjuangan melawan penjajahan dengan metode yang lebih berbobot dan terdidik. Berlanjut ke tahun 1928, ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan oleh para pemuda Indonesia yang intinya menyatakan persatuan seluruh rakyat yang antikolonial. Lalu 1945, pemuda-pemuda mendorong para politisi muda seperti Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa Rengasdengklok hampir menyebut semua tokoh dibalik ‘penculikan bersejarah’ ini adalah pemuda.

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang akhirnya melahirkan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian nanti telah berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Tahun 1966, dianggap momen sejarah yang gemilang bagi mahasiswa Indonesia karena berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Waktu terus berjalan dan masa Orde Baru bertakhta di awal 70-an. Namun, seperti lazimnya sebuah kekuasaan politik militer, tidak berapa lama berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Disamping itu, pengekangan dan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan bersuara pun dilakukan lewat berbagai peraturan dan intimidasi-intimidasi.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Akhirnya pada 1974 dan 1978, mahasiswa mulai “merongrong” kekuasaan Orde Baru. Jika rentang waktu awal 60-an sampai awal rezim Orde Baru mahasiswa berjibaku dengan agenda politik praktis dan ideologi yang sangat vulgar yang berafiliasi pada partai, maka memasuki 1980-an, mahasiswa mulai aktif terlibat di basis rakyat sebagai garis massa yang independen. Mereka lebih menyuarakan pesan-pesan sosial dan perlawanan akan rezim penguasa.

*******

Mahasiswa takut sama Dosen
Dosen takut sama Rektor
Rektor takut sama Menteri
Menteri takut sama Presiden
Presiden takut sama Mahasiswa

-Taufik Ismail-


Tahun 80-an dan 90-an adalah refleksi sebuah ‘perjuangan bawah tanah’ bagi para mahasiswa. Gerbong kelompok yang disusun dalam sebuah tekanan politik rezim penguasa yang begitu kuat dan sistematis. Namun seperti semangat waktu-waktu yang berlalu, pembredelan yang kuat malah membuat rantai perlawanan semakin kokoh. Hingga akhirnya mahasiswa menemukan tanggalnya pada Mei 1998. Aksi besar (parlemen jalanan) pun pecah. Karena kenaikan harga-harga, inflasi yang tinggi, dan kematian beberapa mahasiswa Trisakti, jumlah mahasiswa yang menggugat membesar dan mulai menduduki gedung MPR/DPR. Penguasa tak mampu membendung dan Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Akan tetapi, ada yang menarik dan terus menjadi perdebatan di kalangan aktivis mahasiswa. Gerakan yang lahir dari dalam kampus dan luar kampus itu terus-menerus menjadi tim pemukul. Tetapi, hasil pukulan mereka kembali teredam ketika muncul pihak lain yang mengambil alih kekuasaan. Mahasiswa berperan sebagai gerakan pemukul sejak 1908 sampai 1998. Aksi mahasiswa yang banyak menelan korban luka-luka dan meninggal itu, nantinya selalu terpatahkan oleh kekuatan kelompok lain.

Menjelang pemilu tahun 2004, aktivis mahasiswa mulai dihadapkan pada wacana untuk meneruskan agenda politiknya dengan memasuki partai politik. Namun, ada beberapa lainnya yang tetap bertahan di garis massa; buruh, petani, dan nelayan. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang ‘terjebak’ di kampus terus bergerak ke sana kemari merespons persoalan-persoalan politik nasional dengan latah. Gerakannya timbul tenggelam bergantung pada isu-isu di media massa. Meski bergerak, mahasiswa tidak pernah mengambil peran dari kekuasaan. Revolusi Paris 1968 telah memberikan bukti itu ketika ribuan mahasiswa pada Mei 1968 berhasil menguasai Paris, namun membiarkan partai politik mengambil keuntungan dari gerakan mereka.

*******

…………………
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
…………………

-Chairil Anwar-


Gerakan mahasiswa saat ini masih dianggap ‘tertidur’. Mahasiswa terjebak pada simbol-simbol yang kaku. Aksi mahasiswa senantiasa dikaitkan dengan parlemen jalanan saja dan akan diansumsikan membuat macet. Mahasiswa di kampus pun telah terpecah belah dalam beberapa kepentingan dan golongan. Mahasiswa seharusnya membaca kembali sejarahnya sendiri. Merangkumnya tidaklah dengan kacamata kuda. Bukan latah membuat ulangan sejarah, tetapi untuk membuat sejarah baru sebab masa depan tetaplah akan berpijak dari hari ini. Menghidupkan jaringan dan mengasah kepekaan tidak mesti dengan turun kejalan saja. Tapi menghidupkan ‘kelas’ dengan dikusi yang lebih ber-visi dan variatif untuk berbagai solusi tentang masalah-masalah yang dihadapi.



- Ditambahkan dari berbagai sumber





--------oooOooo--------

Senin, 11 Mei 2009

CATATAN : Sekilas Tentang Pemilu 2009


" Kampanye Parpol "
ilustrasi oleh: hasil browsing di google.com saja



PESTA RAKYAT



SEBUAH perhelatan akbar negeri gemah ripah loh jinawi ini di episode pertama telah berakhir dulu. Bukan pesta terakhir tentunya, tapi semacam pesta awal karena itu cuma untuk memilih para senapati wakil rakyat dulu. Sekaligus sebagai media pembuktian siapa kelompok yang terbaik. Terbaik disini maksudnya adalah yang paling banyak mendapat ‘aplaus penonton’. Pesta yang kedua nanti merupakan seremonial puncak, berupa pemilihan raja dan patihnya. Mereka inilah yang nanti akan dinobatkan memimpin negeri ini selama lima tahun kedepan.

Corat-coret diatas hanya perumpamaan saya saja terhadap situasi pemilihan umum kali ini. Setelah pada tulisan sebelumnya saya mencoba meraba-raba para caleg yang bertarung. Berangkat dari begitu mirisnya melihat para caleg yang tersingkir dengan begitu banyak efek samping. Stress (hingga ada yang kemudian mengalami gangguan jiwa), menarik sumbangan, mengamuk, bunuh diri, dan lain sebagainya.

Sebagai anak bangsa (walaupun saya golput dengan alasan yang mungkin subjektif), saya merasa bersyukur mereka tidak terpilih. Amat sangat mengerikan jika akhirnya rakyat akan diwakilkan apirasinya melalui orang-orang dengan mental seperti itu. Hancurlah bangsa ini. Ditengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif, malah akan sempat menerima ‘parasit-parasit’ yang lebih parah. Walaupun tidak dipungkiri, ada juga caleg ‘kacau’ yang akhirnya bisa lolos.


Namun sebagai manusia saya merasa harus ikut ‘berbelasungkawa’ terhadap apa yang dialami oleh para caleg gagal itu beserta dengan keluarganya. Rasa kemanusiaan memang harus kita bedakan dengan komentar-komentar politik. Terbayang beban mental (selain beban materi dan tenaga yang telah keluar tentunya) yang mesti ikut dipikul para keluarga caleg gagal. Ah.. semua memang punya resiko masing-masing. Begitulah..

Pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat. Itulah jargon yang selama ini terpatri disetiap lubuk hati rakyat. Pemilu adalah pestanya rakyat dalam berpolitik. Terlepas dari apakah rakyat itu memahami atau tidak tentang politik itu sendiri. Mengerti atau tidak pestanya sendiri. Tidak begitu penting (mungkin) karena toh politik yang dimaksud itu adalah rakyat cuma dibutuhkan coblosan atau contrengannya saja. Tidak lebih dari itu, sebab setelah pesta coblos atau contreng selesai maka kemudian adalah pestanya para ‘senapati terpilih dan para calon raja beserta kelompoknya saja’. “Rakyat diam saja, tidak usah ikut-ikutan. Untuk hal-hal ‘penting’ biarlah kami yang pintar-pintar saja yang memutuskan..”, begitulah kira-kira katanya.

Mengacu kepada pesta, maka saya pribadi tidak pernah merasa heran jika pada musim kampanye legislatif kemarin banyak orang jingkrak-jingkrak, konvoi-konvoi sambil membawa bendera parpol, mengecat badan dan rambut dengan warna yang selaras warna parpol, serta berbagai tingkah kegembiraan lainnya. Ya namanya juga pesta. Terlepas dari apakah rakyat yang berpesta itu benar-benar berpesta dengan kesadaran sendiri atau dibayar untuk berpesta, tapi yang pasti aura hiruk pikuk (semu) telah berhasil diciptakan.

Setelah selesai berpesta, saatnya rakyat kembali bekerja. Untuk episode ini tugasnya sementara sudah selesai. Nanti dikampanye pilpres rakyat berpesta kembali. Lalu setelah itu banyak pilkada menanti, dimana rakyat boleh kembali berjingkrak-jingkrak. Cukup itulah bagiannya. Untuk yang lebihnya itu jatah para elit yang menyediakan pesta.

Politik senantiasa menyediakan aroma kepentingan. Ada kekuasaan, pengaruh, dan materi yang tidak sedikit. Segala omong kosong demi ibu pertiwi atau segala dalil atas nama Tuhan hanyalah intrik untuk mendapatkan dukungan. Rakyat dalam sebuah komoditas politik saat ini di Indonesia tidak lebih hanya atas nama saja dan bukan merupakan tujuan sejati yang utama. Lalu… untuk apa kita mesti ikut berpesta jika kita hanya menjadi penggembira semata?

Yang jelas, pemilu kali ini (seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya) telah menyisakan banyak sampah dilapangan dan dijalan-jalan. Mungkin juga pada akhirnya akan menciptakan lebih banyak ‘sampah’ diruangan-ruangan.




Jatinangor, 11 Mei 2009





------------ooOOOoo-----------

Rabu, 18 Maret 2009

CATATAN : Tentang Calon Legislatif Pada Pemilu 2009

" Menatap Janji "
ilustrasi oleh: petani bodoh


MELAMAR PEKERJAAN (POLITIK)



SEBUAH komentar cukup menarik terlontar dari seorang kawan. Bukan karena kawan ini adalah seorang pendiskusi yang cukup tangguh. Tapi ternyata celetukannya itu memberikan sebuah alternatif lain bagi saya di tahun 2009 ini. Ketangguhan kawan ini adalah bisa tahan berdiskusi sampai subuh asal ada kopi hitam dan rokok. Tidak apa-apa, toh semua mesti ada syaratnya.

“Memilih parpol yang akan saya dukung di pemilu tahun 2009 ini amatlah menjadi sebuah pilihan yang sulit. Tidak ada parpol yang betul-betul ‘istiqomah’ dengan komitmennya semula. Semenjak reformasi di pemilu 1999 dan tahun 2004 semua hanya jadi catatan saja. Parpol baru? Isinya orang-orang lama dengan ‘sejarah kelam’ dan selebihnya hasil pindahan partai lama juga. Jadi apanya yang baru?! Kemudian mendukung calegnya.. Caleg baru tidak ada yang saya kenal, rekam jejaknya pun sangat minim. Bila perlu saya katakan kosong, walau ini terlihat subjektif.. Gimana kita tahu dia itu mampu dan kredibilitasnya bisa teruji?! Terus untuk mencoblos atau mencontreng caleg lama? Hahahaha.. everbody know-lah, sampah semua.. Mungkin nanti saya akan mencontreng pas pemilu presiden ajalah, paling nggak orang-orangnya sudah sangat terekam masa lalu dan kemampuannya. Itu juga kalau orang yang saya jagoin maju sebagai calon.. kalau nggak, ya sayonaralah..”.

Kawan saya itu seperti seorang orator ulung merangkap pimpinan demonstran. Saya kemudian manggut-manggut macam murid padepokan silat yang sedang di isi ilmu tenaga dalam oleh kiyainya. Berbagai pikiran rasanya menyeruak didalam otak tanpa diundang.

*******

Semua materi obrolan dibulan-bulan awal tahun 2009 ini 75 sampai 80 persen isinya tidak pernah lepas dari pemilu dengan segala macam atribut dan tetek bengek didalamnya. Jika ada wacana lain nanti ujung-ujungnya juga akan dikaitkan-kaitkan dengan pemilu hingga akhirnya 100 persen kita akan mengobrolkan hal itu. Dari obrolan dipinggir jalan sampai diskusi sedikit intelek di mailing list. Tidak ada yang salah, toh alur pikiran kita secara umum saat ini memang sangat disetir oleh issue nasional yang sedang diagendakan dan pasti ramai disiarkan oleh media massa. Tidak peduli siapapun. Apakah itu kalangan tukang becak, buruh atau petani dan nelayan, sampai kalangan ‘manusia pintar’ semacam teknokrat, dosen, dan mahasiswa. Pemerintah menghembuskan dan media massa menjualnya.

Namun hal yang (sepertinya) paling ngetren saat ini adalah tentang ramainya orang-orang yang mengajukan diri menjadi calon angota legislatif. Bahasa resminya adalah calon anggota DPR dan DPRD. Entah apa yang melatarbelakangi tren ini. Suara-suara yang pro dan kontra (lebih tepatnya mendukung dan mengkritisi) pun bermunculan. Yang pro tentu saja para pendukung caleg dan keluarganya. Yang kontra adalah yang tidak mendukung dan mereka yang mencoba melihat hal itu dari sudut pandang berbeda. Kawan saya diatas mungkin salah satunya.

Saat ini, negeri kita dan negara-negara lain diseluruh dunia sedang mengalami suatu gejolak perekonomian yang disebut Resesi Global. Saya tidak betul-betul mengerti dan tahu pasti apa dan kenapa Resesi Global itu. Tapi dari dampaknya membuat saya memahaminya sebagai sebuah permasalahan ekonomi yang mengakibatkan banyak buruh di PHK dan harga barang-barang menjadi naik. Efek nyata dari itu adalah mencari pekerjaan menjadi sangat sulit dan lonjakan pengangguran meningkat cukup tajam. Daya beli masyarakat turun dan terjadi penambahan angka kemiskinan. Cukup sudah saya memahami itu.

Parpol sepertinya mencoba untuk memecahkan masalah itu dengan 'tindakan yang konkret'. Salah satu caranya adalah dengan membuka keran sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk melamar pekerjaan menjadi anggota DPR atau DPRD. Gayung bersambut.. Masyarakat pun antusias, ‘pekerjaan terhormat’ menunggu. Membuai mimpi para caleg akan fasilitas mewah dengan gaji besar. Namun tentu saja seperti layaknya hitung-hitungan jual beli, untuk mendapatkan ikan besar perlu umpan besar dan pancing yang kuat (mahal). Para caleg diharuskan untuk menyediakan modal yang besar pula. Modal disini adalah pengertian yang sebenarnya, yakni uang dalam jumlah besar sebagai salah satu kekuatan (utama) untuk ‘membujuk’ rakyat agar mencontrengnya dipemilu. Dari sini kemudian polemik terjadi.

Pembukaan keran berpuluh partai untuk orang-orang melamar menjadi caleg telah menimbulkan kekhawatiran bahwa nanti DPR dan DPRD akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan kredibel. Bisa dimaklumi, menjadi seorang anggota DPR atau DPRD tidaklah seperti menjadi pegawai negeri biasa atau karyawan sebuah perusahaan. Aktifitas seorang anggota dewan adalah rutinitas yang padat dan memerlukan kemampuan yang lebih. Maklumlah, sebagai pengawas pemerintah dan penyalur aspirasi rakyat, maka ia juga berpungsi sebagai legislator; yakni membuat dan mengesahkan sebuah undang-undang atau aturan yang akan digunakan sebagai acuan dalam menjalankan roda pemerintahan dan membuat berbagai kebijakan terkait lainnya (legislasi). Disini pada akhirnya caleg berkualitas tergeser oleh caleg dadakan berkaitan dengan kekuatan uang yang dimiliki.

Seperti kata seorang pengamat, anggota dewan itu paling tidak harus memahami dan mengerti Ilmu Hukum, Ilmu Tatanegara, dan Ilmu Pemerintahan, disamping Ilmu Politik sebagai basic-nya. Kenapa? Sebab dasar pekerjaannya memang berkutat dibidang itu. Alangkah baiknya jika kemudian ada penambahan pengetahuan serta pemahaman dibidang Ilmu Komunikasi, Budaya, Sosial, Ekonomi, dan lain sebaginya. Tidak perlu sekomplit itu, namun akan ada nilai tambah jika ada ilmu lain yang mengikutinya. Hingga nanti ketika menjabat, mungkin akan jadi lebih enak untuk menentukan si anggota tersebut akan ditempatkan di komisi apa.

Saat ini bermunculan banyak caleg dengan tagline rata-rata sama. Memperjuangkan aspirasi rakyat dan mengabdi untuk kepentingan rakyat banyak (paling tidak rakyat yang memilihnya). Saya memastikan bahwa tagline itu sangat klasik dan standar. Hanya sebuah retorika yang tidak jelas maksud dan tujuannya serta tidak konkret sama sekali. Sepertinya rata-rata caleg itu hanya ikut-ikutan saja dari apa yang mereka pernah dengar. Bisa kita menduga kemudian bahwa ‘bekal’ mereka sangat minim sebagai penyalur aspirasi. Mungkin mereka tidak mengerti betul jika menjaring dan menyalurkan aspirasi didalam rapat dewan itu punya tatacara dan mekanisme tersendiri. Sangat dekat dengan strategi politik tentunya. Kemampuan analisis dengan bargain argumentasi yang kuat merupakan skill yang mesti dimiliki oleh seorang anggota dewan. Tanpa itu, sepertinya disetiap rapat ia hanya akan menjadi pelengkap absensi saja.

Saya tidak akan ber-negative thinking bahwa rata-rata caleg pemula itu adalah orang-orang dengan kemampuan dibawah rata-rata dan sebenarnya tidak pantas menjadi seorang anggota dewan. Namun dilihat dari sedikit curriculum vitae-nya yang sangat bias, mereka ternyata tidak sedikit adalah para penganggur yang awalnya tidak punya pekerjaan. Mengajukan diri menjadi caleg adalah salah satu usaha untuk mencari pekerjaan dan bukan sebagai sarana untuk berdarma bakti mengabdi kepada rakyat. Tentu sangat kontras dengan hakikat sebuah lembaga legislatif itu sendiri. Gaji besar dan fasilitas mewah adalah alasan yang sangat gampang bisa ditebak. Tidak perlu ngantor setiap hari tapi jatah selalu ada. Enak betul..

Mencari pekerjaan, berdarma bakti, uang yang melimpah.. Segala kata itu berkecamuk dalam pikiran saya yang dangkal. Saya berkhayal; seandainya para caleg itu mau betul-betul menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain, maka jalannya bukan menjadi angggota DPR atau DPRD. Biaya kampanye rata-rata caleg (tidak kredibel) yang berkisar diangka puluhan hingga ratusan juta, malah ada juga yang bermilyar rupiah itu bisa digunakan sebagai modal untuk membikin usaha. Dengan cara itu mereka bisa menyediakan lapangan pekerjaan buat sekian banyak pengangguran dan korban PHK lainnya. Sungguh sangat mulia dengan manfaat yang begitu nyata hingga langsung terasa oleh masyarakat banyak. Malahan disini mereka bisa langsung menjadi bos atau direkturnya sekalian.

Yah.. Apa hendak dikata, mental orang-orang kita memang pemalas dan selalu cenderung instan. Selalu ingin cepat dan langsung enak tanpa kerja keras dapat kuasa dan uang banyak dengan titel terhormat. Seperti halnya para anak muda yang bermimpi langsung menjadi artis terkenal lewat Indonesian Idol atau AFI, maka seperti itulah karakter para caleg kita sekarang ini. Instan untuk langsung menjadi seorang ‘politikus kondang’. Habiskan uang yang banyak untuk mendapat pekerjaan yang ‘terhormat’ tanpa peduli apakah dirinya pantas atau tidak untuk menjadi ‘orang terhormat’. Yah.. Uang memang pemegang kekuasaan yang sebenarnya.

Hhmmm.. Saya lupa kalau hutang saya akhir bulan ini harus dibayar secepatnya. Kalau tidak, saya tidak boleh berhutang makan lagi diwarung. Pusing juga.. Mungkin suatu saat nanti saya juga harus jualan kecap, hehe..



Jatinangor menjelang pemilu, 17 Maret 2009




---------ooOoo---------