"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Rabu, 18 Maret 2009

CATATAN : Tentang Calon Legislatif Pada Pemilu 2009

" Menatap Janji "
ilustrasi oleh: petani bodoh


MELAMAR PEKERJAAN (POLITIK)



SEBUAH komentar cukup menarik terlontar dari seorang kawan. Bukan karena kawan ini adalah seorang pendiskusi yang cukup tangguh. Tapi ternyata celetukannya itu memberikan sebuah alternatif lain bagi saya di tahun 2009 ini. Ketangguhan kawan ini adalah bisa tahan berdiskusi sampai subuh asal ada kopi hitam dan rokok. Tidak apa-apa, toh semua mesti ada syaratnya.

“Memilih parpol yang akan saya dukung di pemilu tahun 2009 ini amatlah menjadi sebuah pilihan yang sulit. Tidak ada parpol yang betul-betul ‘istiqomah’ dengan komitmennya semula. Semenjak reformasi di pemilu 1999 dan tahun 2004 semua hanya jadi catatan saja. Parpol baru? Isinya orang-orang lama dengan ‘sejarah kelam’ dan selebihnya hasil pindahan partai lama juga. Jadi apanya yang baru?! Kemudian mendukung calegnya.. Caleg baru tidak ada yang saya kenal, rekam jejaknya pun sangat minim. Bila perlu saya katakan kosong, walau ini terlihat subjektif.. Gimana kita tahu dia itu mampu dan kredibilitasnya bisa teruji?! Terus untuk mencoblos atau mencontreng caleg lama? Hahahaha.. everbody know-lah, sampah semua.. Mungkin nanti saya akan mencontreng pas pemilu presiden ajalah, paling nggak orang-orangnya sudah sangat terekam masa lalu dan kemampuannya. Itu juga kalau orang yang saya jagoin maju sebagai calon.. kalau nggak, ya sayonaralah..”.

Kawan saya itu seperti seorang orator ulung merangkap pimpinan demonstran. Saya kemudian manggut-manggut macam murid padepokan silat yang sedang di isi ilmu tenaga dalam oleh kiyainya. Berbagai pikiran rasanya menyeruak didalam otak tanpa diundang.

*******

Semua materi obrolan dibulan-bulan awal tahun 2009 ini 75 sampai 80 persen isinya tidak pernah lepas dari pemilu dengan segala macam atribut dan tetek bengek didalamnya. Jika ada wacana lain nanti ujung-ujungnya juga akan dikaitkan-kaitkan dengan pemilu hingga akhirnya 100 persen kita akan mengobrolkan hal itu. Dari obrolan dipinggir jalan sampai diskusi sedikit intelek di mailing list. Tidak ada yang salah, toh alur pikiran kita secara umum saat ini memang sangat disetir oleh issue nasional yang sedang diagendakan dan pasti ramai disiarkan oleh media massa. Tidak peduli siapapun. Apakah itu kalangan tukang becak, buruh atau petani dan nelayan, sampai kalangan ‘manusia pintar’ semacam teknokrat, dosen, dan mahasiswa. Pemerintah menghembuskan dan media massa menjualnya.

Namun hal yang (sepertinya) paling ngetren saat ini adalah tentang ramainya orang-orang yang mengajukan diri menjadi calon angota legislatif. Bahasa resminya adalah calon anggota DPR dan DPRD. Entah apa yang melatarbelakangi tren ini. Suara-suara yang pro dan kontra (lebih tepatnya mendukung dan mengkritisi) pun bermunculan. Yang pro tentu saja para pendukung caleg dan keluarganya. Yang kontra adalah yang tidak mendukung dan mereka yang mencoba melihat hal itu dari sudut pandang berbeda. Kawan saya diatas mungkin salah satunya.

Saat ini, negeri kita dan negara-negara lain diseluruh dunia sedang mengalami suatu gejolak perekonomian yang disebut Resesi Global. Saya tidak betul-betul mengerti dan tahu pasti apa dan kenapa Resesi Global itu. Tapi dari dampaknya membuat saya memahaminya sebagai sebuah permasalahan ekonomi yang mengakibatkan banyak buruh di PHK dan harga barang-barang menjadi naik. Efek nyata dari itu adalah mencari pekerjaan menjadi sangat sulit dan lonjakan pengangguran meningkat cukup tajam. Daya beli masyarakat turun dan terjadi penambahan angka kemiskinan. Cukup sudah saya memahami itu.

Parpol sepertinya mencoba untuk memecahkan masalah itu dengan 'tindakan yang konkret'. Salah satu caranya adalah dengan membuka keran sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk melamar pekerjaan menjadi anggota DPR atau DPRD. Gayung bersambut.. Masyarakat pun antusias, ‘pekerjaan terhormat’ menunggu. Membuai mimpi para caleg akan fasilitas mewah dengan gaji besar. Namun tentu saja seperti layaknya hitung-hitungan jual beli, untuk mendapatkan ikan besar perlu umpan besar dan pancing yang kuat (mahal). Para caleg diharuskan untuk menyediakan modal yang besar pula. Modal disini adalah pengertian yang sebenarnya, yakni uang dalam jumlah besar sebagai salah satu kekuatan (utama) untuk ‘membujuk’ rakyat agar mencontrengnya dipemilu. Dari sini kemudian polemik terjadi.

Pembukaan keran berpuluh partai untuk orang-orang melamar menjadi caleg telah menimbulkan kekhawatiran bahwa nanti DPR dan DPRD akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan kredibel. Bisa dimaklumi, menjadi seorang anggota DPR atau DPRD tidaklah seperti menjadi pegawai negeri biasa atau karyawan sebuah perusahaan. Aktifitas seorang anggota dewan adalah rutinitas yang padat dan memerlukan kemampuan yang lebih. Maklumlah, sebagai pengawas pemerintah dan penyalur aspirasi rakyat, maka ia juga berpungsi sebagai legislator; yakni membuat dan mengesahkan sebuah undang-undang atau aturan yang akan digunakan sebagai acuan dalam menjalankan roda pemerintahan dan membuat berbagai kebijakan terkait lainnya (legislasi). Disini pada akhirnya caleg berkualitas tergeser oleh caleg dadakan berkaitan dengan kekuatan uang yang dimiliki.

Seperti kata seorang pengamat, anggota dewan itu paling tidak harus memahami dan mengerti Ilmu Hukum, Ilmu Tatanegara, dan Ilmu Pemerintahan, disamping Ilmu Politik sebagai basic-nya. Kenapa? Sebab dasar pekerjaannya memang berkutat dibidang itu. Alangkah baiknya jika kemudian ada penambahan pengetahuan serta pemahaman dibidang Ilmu Komunikasi, Budaya, Sosial, Ekonomi, dan lain sebaginya. Tidak perlu sekomplit itu, namun akan ada nilai tambah jika ada ilmu lain yang mengikutinya. Hingga nanti ketika menjabat, mungkin akan jadi lebih enak untuk menentukan si anggota tersebut akan ditempatkan di komisi apa.

Saat ini bermunculan banyak caleg dengan tagline rata-rata sama. Memperjuangkan aspirasi rakyat dan mengabdi untuk kepentingan rakyat banyak (paling tidak rakyat yang memilihnya). Saya memastikan bahwa tagline itu sangat klasik dan standar. Hanya sebuah retorika yang tidak jelas maksud dan tujuannya serta tidak konkret sama sekali. Sepertinya rata-rata caleg itu hanya ikut-ikutan saja dari apa yang mereka pernah dengar. Bisa kita menduga kemudian bahwa ‘bekal’ mereka sangat minim sebagai penyalur aspirasi. Mungkin mereka tidak mengerti betul jika menjaring dan menyalurkan aspirasi didalam rapat dewan itu punya tatacara dan mekanisme tersendiri. Sangat dekat dengan strategi politik tentunya. Kemampuan analisis dengan bargain argumentasi yang kuat merupakan skill yang mesti dimiliki oleh seorang anggota dewan. Tanpa itu, sepertinya disetiap rapat ia hanya akan menjadi pelengkap absensi saja.

Saya tidak akan ber-negative thinking bahwa rata-rata caleg pemula itu adalah orang-orang dengan kemampuan dibawah rata-rata dan sebenarnya tidak pantas menjadi seorang anggota dewan. Namun dilihat dari sedikit curriculum vitae-nya yang sangat bias, mereka ternyata tidak sedikit adalah para penganggur yang awalnya tidak punya pekerjaan. Mengajukan diri menjadi caleg adalah salah satu usaha untuk mencari pekerjaan dan bukan sebagai sarana untuk berdarma bakti mengabdi kepada rakyat. Tentu sangat kontras dengan hakikat sebuah lembaga legislatif itu sendiri. Gaji besar dan fasilitas mewah adalah alasan yang sangat gampang bisa ditebak. Tidak perlu ngantor setiap hari tapi jatah selalu ada. Enak betul..

Mencari pekerjaan, berdarma bakti, uang yang melimpah.. Segala kata itu berkecamuk dalam pikiran saya yang dangkal. Saya berkhayal; seandainya para caleg itu mau betul-betul menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain, maka jalannya bukan menjadi angggota DPR atau DPRD. Biaya kampanye rata-rata caleg (tidak kredibel) yang berkisar diangka puluhan hingga ratusan juta, malah ada juga yang bermilyar rupiah itu bisa digunakan sebagai modal untuk membikin usaha. Dengan cara itu mereka bisa menyediakan lapangan pekerjaan buat sekian banyak pengangguran dan korban PHK lainnya. Sungguh sangat mulia dengan manfaat yang begitu nyata hingga langsung terasa oleh masyarakat banyak. Malahan disini mereka bisa langsung menjadi bos atau direkturnya sekalian.

Yah.. Apa hendak dikata, mental orang-orang kita memang pemalas dan selalu cenderung instan. Selalu ingin cepat dan langsung enak tanpa kerja keras dapat kuasa dan uang banyak dengan titel terhormat. Seperti halnya para anak muda yang bermimpi langsung menjadi artis terkenal lewat Indonesian Idol atau AFI, maka seperti itulah karakter para caleg kita sekarang ini. Instan untuk langsung menjadi seorang ‘politikus kondang’. Habiskan uang yang banyak untuk mendapat pekerjaan yang ‘terhormat’ tanpa peduli apakah dirinya pantas atau tidak untuk menjadi ‘orang terhormat’. Yah.. Uang memang pemegang kekuasaan yang sebenarnya.

Hhmmm.. Saya lupa kalau hutang saya akhir bulan ini harus dibayar secepatnya. Kalau tidak, saya tidak boleh berhutang makan lagi diwarung. Pusing juga.. Mungkin suatu saat nanti saya juga harus jualan kecap, hehe..



Jatinangor menjelang pemilu, 17 Maret 2009




---------ooOoo---------