PESTA RAKYAT
SEBUAH perhelatan akbar negeri gemah ripah loh jinawi ini di episode pertama telah berakhir dulu. Bukan pesta terakhir tentunya, tapi semacam pesta awal karena itu cuma untuk memilih para senapati wakil rakyat dulu. Sekaligus sebagai media pembuktian siapa kelompok yang terbaik. Terbaik disini maksudnya adalah yang paling banyak mendapat ‘aplaus penonton’. Pesta yang kedua nanti merupakan seremonial puncak, berupa pemilihan raja dan patihnya. Mereka inilah yang nanti akan dinobatkan memimpin negeri ini selama lima tahun kedepan.
Corat-coret diatas hanya perumpamaan saya saja terhadap situasi pemilihan umum kali ini. Setelah pada tulisan sebelumnya saya mencoba meraba-raba para caleg yang bertarung. Berangkat dari begitu mirisnya melihat para caleg yang tersingkir dengan begitu banyak efek samping. Stress (hingga ada yang kemudian mengalami gangguan jiwa), menarik sumbangan, mengamuk, bunuh diri, dan lain sebagainya.
Sebagai anak bangsa (walaupun saya golput dengan alasan yang mungkin subjektif), saya merasa bersyukur mereka tidak terpilih. Amat sangat mengerikan jika akhirnya rakyat akan diwakilkan apirasinya melalui orang-orang dengan mental seperti itu. Hancurlah bangsa ini. Ditengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif, malah akan sempat menerima ‘parasit-parasit’ yang lebih parah. Walaupun tidak dipungkiri, ada juga caleg ‘kacau’ yang akhirnya bisa lolos.
Namun sebagai manusia saya merasa harus ikut ‘berbelasungkawa’ terhadap apa yang dialami oleh para caleg gagal itu beserta dengan keluarganya. Rasa kemanusiaan memang harus kita bedakan dengan komentar-komentar politik. Terbayang beban mental (selain beban materi dan tenaga yang telah keluar tentunya) yang mesti ikut dipikul para keluarga caleg gagal. Ah.. semua memang punya resiko masing-masing. Begitulah..
Pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat. Itulah jargon yang selama ini terpatri disetiap lubuk hati rakyat. Pemilu adalah pestanya rakyat dalam berpolitik. Terlepas dari apakah rakyat itu memahami atau tidak tentang politik itu sendiri. Mengerti atau tidak pestanya sendiri. Tidak begitu penting (mungkin) karena toh politik yang dimaksud itu adalah rakyat cuma dibutuhkan coblosan atau contrengannya saja. Tidak lebih dari itu, sebab setelah pesta coblos atau contreng selesai maka kemudian adalah pestanya para ‘senapati terpilih dan para calon raja beserta kelompoknya saja’. “Rakyat diam saja, tidak usah ikut-ikutan. Untuk hal-hal ‘penting’ biarlah kami yang pintar-pintar saja yang memutuskan..”, begitulah kira-kira katanya.
Mengacu kepada pesta, maka saya pribadi tidak pernah merasa heran jika pada musim kampanye legislatif kemarin banyak orang jingkrak-jingkrak, konvoi-konvoi sambil membawa bendera parpol, mengecat badan dan rambut dengan warna yang selaras warna parpol, serta berbagai tingkah kegembiraan lainnya. Ya namanya juga pesta. Terlepas dari apakah rakyat yang berpesta itu benar-benar berpesta dengan kesadaran sendiri atau dibayar untuk berpesta, tapi yang pasti aura hiruk pikuk (semu) telah berhasil diciptakan.
Setelah selesai berpesta, saatnya rakyat kembali bekerja. Untuk episode ini tugasnya sementara sudah selesai. Nanti dikampanye pilpres rakyat berpesta kembali. Lalu setelah itu banyak pilkada menanti, dimana rakyat boleh kembali berjingkrak-jingkrak. Cukup itulah bagiannya. Untuk yang lebihnya itu jatah para elit yang menyediakan pesta.
Politik senantiasa menyediakan aroma kepentingan. Ada kekuasaan, pengaruh, dan materi yang tidak sedikit. Segala omong kosong demi ibu pertiwi atau segala dalil atas nama Tuhan hanyalah intrik untuk mendapatkan dukungan. Rakyat dalam sebuah komoditas politik saat ini di Indonesia tidak lebih hanya atas nama saja dan bukan merupakan tujuan sejati yang utama. Lalu… untuk apa kita mesti ikut berpesta jika kita hanya menjadi penggembira semata?
Corat-coret diatas hanya perumpamaan saya saja terhadap situasi pemilihan umum kali ini. Setelah pada tulisan sebelumnya saya mencoba meraba-raba para caleg yang bertarung. Berangkat dari begitu mirisnya melihat para caleg yang tersingkir dengan begitu banyak efek samping. Stress (hingga ada yang kemudian mengalami gangguan jiwa), menarik sumbangan, mengamuk, bunuh diri, dan lain sebagainya.
Sebagai anak bangsa (walaupun saya golput dengan alasan yang mungkin subjektif), saya merasa bersyukur mereka tidak terpilih. Amat sangat mengerikan jika akhirnya rakyat akan diwakilkan apirasinya melalui orang-orang dengan mental seperti itu. Hancurlah bangsa ini. Ditengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif, malah akan sempat menerima ‘parasit-parasit’ yang lebih parah. Walaupun tidak dipungkiri, ada juga caleg ‘kacau’ yang akhirnya bisa lolos.
Namun sebagai manusia saya merasa harus ikut ‘berbelasungkawa’ terhadap apa yang dialami oleh para caleg gagal itu beserta dengan keluarganya. Rasa kemanusiaan memang harus kita bedakan dengan komentar-komentar politik. Terbayang beban mental (selain beban materi dan tenaga yang telah keluar tentunya) yang mesti ikut dipikul para keluarga caleg gagal. Ah.. semua memang punya resiko masing-masing. Begitulah..
Pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat. Itulah jargon yang selama ini terpatri disetiap lubuk hati rakyat. Pemilu adalah pestanya rakyat dalam berpolitik. Terlepas dari apakah rakyat itu memahami atau tidak tentang politik itu sendiri. Mengerti atau tidak pestanya sendiri. Tidak begitu penting (mungkin) karena toh politik yang dimaksud itu adalah rakyat cuma dibutuhkan coblosan atau contrengannya saja. Tidak lebih dari itu, sebab setelah pesta coblos atau contreng selesai maka kemudian adalah pestanya para ‘senapati terpilih dan para calon raja beserta kelompoknya saja’. “Rakyat diam saja, tidak usah ikut-ikutan. Untuk hal-hal ‘penting’ biarlah kami yang pintar-pintar saja yang memutuskan..”, begitulah kira-kira katanya.
Mengacu kepada pesta, maka saya pribadi tidak pernah merasa heran jika pada musim kampanye legislatif kemarin banyak orang jingkrak-jingkrak, konvoi-konvoi sambil membawa bendera parpol, mengecat badan dan rambut dengan warna yang selaras warna parpol, serta berbagai tingkah kegembiraan lainnya. Ya namanya juga pesta. Terlepas dari apakah rakyat yang berpesta itu benar-benar berpesta dengan kesadaran sendiri atau dibayar untuk berpesta, tapi yang pasti aura hiruk pikuk (semu) telah berhasil diciptakan.
Setelah selesai berpesta, saatnya rakyat kembali bekerja. Untuk episode ini tugasnya sementara sudah selesai. Nanti dikampanye pilpres rakyat berpesta kembali. Lalu setelah itu banyak pilkada menanti, dimana rakyat boleh kembali berjingkrak-jingkrak. Cukup itulah bagiannya. Untuk yang lebihnya itu jatah para elit yang menyediakan pesta.
Politik senantiasa menyediakan aroma kepentingan. Ada kekuasaan, pengaruh, dan materi yang tidak sedikit. Segala omong kosong demi ibu pertiwi atau segala dalil atas nama Tuhan hanyalah intrik untuk mendapatkan dukungan. Rakyat dalam sebuah komoditas politik saat ini di Indonesia tidak lebih hanya atas nama saja dan bukan merupakan tujuan sejati yang utama. Lalu… untuk apa kita mesti ikut berpesta jika kita hanya menjadi penggembira semata?
Yang jelas, pemilu kali ini (seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya) telah menyisakan banyak sampah dilapangan dan dijalan-jalan. Mungkin juga pada akhirnya akan menciptakan lebih banyak ‘sampah’ diruangan-ruangan.
Jatinangor, 11 Mei 2009
------------ooOOOoo-----------