JANGAN (PERNAH) REMEHKAN RAKYAT (DAN MAHASISWA)
- Indonesia .. / Ku bawakan setangkai kembang subversif / Bunga abadi yang tumbuh di pegunungan kesadaran / Ku petik dalam nestapa / Setelah perjalanan panjang menaklukkan jurang ketakutan .. – (Juandi Rewang)
TANPA adanya sejumlah manusia yang bernama rakyat, maka tidak akan ada penamaan wilayah dan sistem yang bernama negara. Coba kita tengok Israel dan Palestina, karena mereka masih punya rakyat maka itulah alasan secara sistem kedaulatan pemerintahan mereka mendirikan negara. Ini merupakan sekedar catatan ringan dan asal tulis saja, jadi mari kita singkirkan pemikiran berat dari kepala kita dulu. Anggaplah ini coretan minum kopi.
Sejarah perubahan di Indonesia tidak pernah lepas dari aksi massa. Ini sebagai titik balik atas pergantian rezim dari pertama kali negara dari bangsa nusantara ini berdiri tahun 1945 silam. Kita perhatikan jejak Orde Lama yang digulingkan oleh gelombang aksi setelah peristiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September 1965 meletus. Lalu era Orde Baru 32 tahun kemudian pun tumbang oleh ‘serbuan’ rakyat dan mahasiswa yang menandai dimulainya masa kebebasan berpendapat dan beropini di negeri katulistiwa ini. Pelengseran kekuasaan Gus Dur dari kursi kepresidenan juga diwarnai sejumlah gerakan massa. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa bisakah perubahan besar di Indonesia tidak dengan aksi massa yang (hampir pasti) memakan korban jiwa dan harta benda? Saya menjawab, “.. entahlah untuk saat ini, tapi saya sendiri merasa kurang yakin ..”.
Mahasiswa secara ‘tradisi’ menghuni kelasnya sendiri. Itulah kenapa penyebutan mahasiswa dan rakyat itu selalu menyatu, tidak mahasiswa saja atau rakyat saja. Dari zaman pra kemerdekaan, mahasiswa (yang dulu bernama pemuda pelajar) telah mendapat space khusus dari rakyat. Sebagai bagian dari kaum intelektual terpelajar, maka peran mahasiswa dalam setiap rezim maupun pergantian rezim selalu menonjol. Jangankan di Indonesia, di seluruh dunia pun selalu seperti itu. Revolusi Prancis dahulu antara tahun 1789 hingga 1799 pun adalah merupakan gerakan kaum terpelajar dimana didalamnya adalah para mahasiswa juga. Rakyat buruh, petani, dan semua kelas yang terzalimi saat itu sebagai kekuatan utama lainnya dengan sukses menyempurnakan gerakan peralihan itu.
Kini rakyat di Indonesia tinggal menghitung letih dan getir serta kegelisahan dengan kondisi dirinya serta negeri ini. Rakyat (termasuk mahasiswa) memang senantiasa hanya menjadi kekuatan pendobrak, tapi setelah itu hasil dari perubahan yang terjadi kemudian menjadi milik kaum politikus dan borjuis terpelajar. Mahasiswa sebagai apa yang disebut dengan Agent of Change pun lebih kurang mengalami hal yang sama. Ia hanya berposisi sebagai 'barikade' penggulingan, setelah itu? Mereka akan ‘berkeliaran’ menjadi berbagai hal. Yah, begitulah kawan .. ini realita zaman negara berkembang.
Namun terlepas dari itu semua, kekuatan rakyat (dan mahasiswa) jangan pernah dipandang remeh. Saat ini kaum penjilat menempel pada penguasa dengan menjadi bumper rezim sehingga harus ‘berduel’ dengan rakyat itu sendiri. Lalu? Tentu saja rakyat harus punya sikap, sebab apapun kebijakan dan kondisi yang ada maka rakyat akan senantiasa merasakan akibat terburuknya. Dari ekonomi, hukum, maupun HAM dan banyak hal. Jadi jangan pernah memandang sebelah mata dengan 'kegelisahan' massa, sebab ia bisa berubah menjadi bola api liar yang bisa ‘menghanguskan’ semuanya. Dan mahasiswa? Ia akan dan harus terus bersama rakyat, sebab dari sanalah ia berasal.
Sejarah perubahan di Indonesia tidak pernah lepas dari aksi massa. Ini sebagai titik balik atas pergantian rezim dari pertama kali negara dari bangsa nusantara ini berdiri tahun 1945 silam. Kita perhatikan jejak Orde Lama yang digulingkan oleh gelombang aksi setelah peristiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September 1965 meletus. Lalu era Orde Baru 32 tahun kemudian pun tumbang oleh ‘serbuan’ rakyat dan mahasiswa yang menandai dimulainya masa kebebasan berpendapat dan beropini di negeri katulistiwa ini. Pelengseran kekuasaan Gus Dur dari kursi kepresidenan juga diwarnai sejumlah gerakan massa. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa bisakah perubahan besar di Indonesia tidak dengan aksi massa yang (hampir pasti) memakan korban jiwa dan harta benda? Saya menjawab, “.. entahlah untuk saat ini, tapi saya sendiri merasa kurang yakin ..”.
Mahasiswa secara ‘tradisi’ menghuni kelasnya sendiri. Itulah kenapa penyebutan mahasiswa dan rakyat itu selalu menyatu, tidak mahasiswa saja atau rakyat saja. Dari zaman pra kemerdekaan, mahasiswa (yang dulu bernama pemuda pelajar) telah mendapat space khusus dari rakyat. Sebagai bagian dari kaum intelektual terpelajar, maka peran mahasiswa dalam setiap rezim maupun pergantian rezim selalu menonjol. Jangankan di Indonesia, di seluruh dunia pun selalu seperti itu. Revolusi Prancis dahulu antara tahun 1789 hingga 1799 pun adalah merupakan gerakan kaum terpelajar dimana didalamnya adalah para mahasiswa juga. Rakyat buruh, petani, dan semua kelas yang terzalimi saat itu sebagai kekuatan utama lainnya dengan sukses menyempurnakan gerakan peralihan itu.
Kini rakyat di Indonesia tinggal menghitung letih dan getir serta kegelisahan dengan kondisi dirinya serta negeri ini. Rakyat (termasuk mahasiswa) memang senantiasa hanya menjadi kekuatan pendobrak, tapi setelah itu hasil dari perubahan yang terjadi kemudian menjadi milik kaum politikus dan borjuis terpelajar. Mahasiswa sebagai apa yang disebut dengan Agent of Change pun lebih kurang mengalami hal yang sama. Ia hanya berposisi sebagai 'barikade' penggulingan, setelah itu? Mereka akan ‘berkeliaran’ menjadi berbagai hal. Yah, begitulah kawan .. ini realita zaman negara berkembang.
Namun terlepas dari itu semua, kekuatan rakyat (dan mahasiswa) jangan pernah dipandang remeh. Saat ini kaum penjilat menempel pada penguasa dengan menjadi bumper rezim sehingga harus ‘berduel’ dengan rakyat itu sendiri. Lalu? Tentu saja rakyat harus punya sikap, sebab apapun kebijakan dan kondisi yang ada maka rakyat akan senantiasa merasakan akibat terburuknya. Dari ekonomi, hukum, maupun HAM dan banyak hal. Jadi jangan pernah memandang sebelah mata dengan 'kegelisahan' massa, sebab ia bisa berubah menjadi bola api liar yang bisa ‘menghanguskan’ semuanya. Dan mahasiswa? Ia akan dan harus terus bersama rakyat, sebab dari sanalah ia berasal.
Bandung, 3 September 2011
-------ooOoo-------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar