Oleh: Sulye Jati
“ Begini bos.. agama adalah jiwa untuk menjalankan amanat yang diemban, bukan sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan. Janganlah terlalu serakah, bukankah pemimpin yang religius dan berbudaya itu tidak mesti seorang Tuan Guru atau seorang ningrat kan?! Jika tidak ingin dikritik, maka jangan berbicara apapun.. jangan melakukan apapun.. dan jangan menjadi apapun. Tapi, kalau itu belum terlaksana bukan berarti kita harus anarkis kan?! .. “
“ .. saya bukan anti pemerintah, bukan juga tidak menghargai dan menghormati posisi seseorang yang sudah jelas-jelas memang keturunan pemimpin. Tapi, tidak setiap keturunan pemimpin bisa jadi pemimpin kan? Apakah anak maling harus jadi maling juga? Mari kita realistis.. kredibilitas dan kemampuannya memang harus dipertanyakan kembali. Dan hal yang terjadi sekarang di Lombok Tengah adalah kolusi dan nepotisme edan-edanan.. Protes?! Siap-siaplah untuk dikeprok sama algojonya. Pers jangan terlalu diharapkan. Oportunis semua.. “
Membuka tulisan ini saya tidak akan beromantisme dulu dengan sejarah reformasi negeri ini yang sangat kelam dengan pelanggaran HAM-nya. Saya lebih tertarik untuk mengingat kembali percakapan saya dengan seorang kawan di kampung, melalui telepon beberapa waktu lalu. Kesimpulan yang saya dapat dari kawan itu adalah kurang lebih seperti petikan dialog diatas. Tentu saja setelah sebelumnya kawan saya itu curhat tentang betapa tidak bebasnya manusia untuk ‘bersuara’ di Lombok Tengah (selanjutnya saya singkat Loteng).
Ada yang menarik dari berbagai informasi yang saya dapat; kebebasan berpendapat, nepotisme, tidak berlakunya right man on the right place, regenerasi yang tidak tepat sasaran, dan pemimpin yang bukan pemimpin. Entahlah.. Dari sudut pandang apa kawan saya melihat. Subjektif mungkin iya. Tapi yang jelas, seorang manusia (rakyat) di Loteng telah memberikan penilaian. Toh, menurut saya (lagi-lagi mungkin subjektif) didunia ini tidak ada yang bebas nilai. Mencari opini dan penilaian objektif hanyalah mimpi saja. Kenapa? Sebab tentu saja semua manusia punya kepentingan dan inilah yang membuat sudut pandang menjadi tidak akurat. Disamping penindasan dan atau intimidasi yang dirasakan.
Kondisi Indonesia pasca reformasi dengan media yang terus menggeliat saat ini menjadikan bisnis media massa adalah lahan menyenangkan bagi sebagian orang.
Sebagai gambaran, pada zaman orde baru perusahaan koran yang memiliki Surat Izin Umum Penerbitan Pers (SIUPP) hanya 321. Saat itu media televisi juga hanya TVRI. Tapi, setelah Mei 1998 semuanya berubah. Reformasi yang muncul membawa angin baru bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Media massa cetak pun muncul seperti cendawan di musim hujan. Hanya dalam tempo satu tahun setelah reformasi, jumlah media massa cetak bertambah menjadi 852 perusahaan. Hingga kini, jumlah itu terus berkembang. (Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung – Suplemen Kampus edisi 29 Maret 2007).
Entahlah.. mengapa semua orang ingin berbisnis media massa. Euforia kebebasan berpikir dan berpendapat tetaplah sebagai salah satu alasannya, tentu saja selain murni sebagai bisnis. Dikarenakan semua orang demen bicara bebas ya harus disediakan medianya. Jadilah itu bisnis. Seperti jual cendol dimusim kemarau.. insya Allah, kemungkinan laku tinggi. Birokrat dan politikus pun sangat mahfum akan hal itu.
Di Loteng, kepemimpinan bupati sebelum reformasi di dominasi oleh orang-orang kiriman dari Jawa. Sebagai daerah yang merupakan bekas wilayah jajahan Majapahit dan Mataram, ditambah dengan karakter orang Lombok yang sangat familiar dan terbuka. Maka, semua itu tidaklah masalah. Sampai ada lelucon, kalau gaya pejabat di Loteng saat ini selalu ingin seperti gaya pejabat Jawa. Baik itu dari tingkah laku mengaturnya maupun gaya dan logat berbicaranya. Biarlah itu. Toh itu cuma masalah pribadi. Selama itu baik ya tidak masalah.
Sebagai bagian dari bekas invasi Jawa dan seperti ingin mengikuti tradisi didaerah bekas ‘rajanya’ dulu maka, kehidupan di Loteng selanjutnya selalu didominasi juga oleh kaum ningrat dan kiyai (ulama / Tuan Guru). Reformasi sepertinya terlalu lemah untuk merubah tradisi bahwa pemimpin itu harusnya berasal dari kalangan ningrat dan atau ulama. Entahlah.. jika yang terjadi pada tahun 1998 itu bukanlah reformasi, tapi revolusi. Wallahua’lam bish shawab.
Tidaklah aneh di Indonesia jika kaum ulama dan ningrat banyak bercokol di tempat-tempat strategis birokrasi dan politik. Suksesnya Kesultanan Yogya dan Cirebon bisa menjadi contoh hal tersebut. Di paham demokrasi perihal itu sah-sah saja. Namun tidak semua kemenangan yang diperoleh berdasarkan atas penilaian pemilih terhadap kapabilitas calon. Konteks calon sebagai seorang pemimpin di ranah republik belumlah berkembang di masyarakat. Di masyarakat Loteng, sudut pandang penilaian lebih diarahkan (oleh siapa?) kepada tradisi dan pengaruh tradisional. Sisi intelektual dan kredibilats modern diabaikan.
Sebuah studi kasus; kemenangan H.L.Wiratmaja sebagai Bupati Loteng saat ini dan berhasilnya L.Wire Abraham (putranya H.L.Wiratmaja) sebagai Kepala Desa Jago bisa menjadi contoh alasan bagi sebagian kaum non ningrat dan non ulama untuk ‘menggugat tradisi’. Padahal untuk negara yang menganut paham demokrasi moderen, latar belakang (selain sebagai orang ningrat) beliau berdua memang jauh dari kriteria dan syarat. Sebab hampir semua masyarakat Loteng sampun wikan, maka disini saya tidak ingin menggunjing. Everybody knows.. Jadi, untuk nepotisme besar-besaran di Loteng saya pribadi tidaklah heran. Kemenangan dengan pengaruh faktor X adalah hutang politik yang tetap harus di bayar.
Rata-rata semua daerah di Indonesia masih seperti itu kondisinya, walaupun Loteng memang berada dalam posisi yang masih ‘luar biasa’ (maaf, lihatlah semua posisi struktur birokrasi saat ini di Loteng). Pertanyaan yang muncul adalah; apakah semua orang yang non ningrat dan non ulama di Loteng tidak ada yang pantas dan kredibel? Sangat tidak logis jika jawabannya adalah YA! Revolusi di Rusia dulu juga berasal dari pertanyaan kecil seperti itu (disamping sebab-sebab lainnya yang tentu saja sangat politis). Namun, alasan yang biasanya dilontarkan rakyat setiap menggugat pemerintahnya adalah tidak transparansinya pemerintah dan tidak aspiratifnya menjalankan kebutuhan masyarakat. Untuk Loteng, ada tambahan info; keluarga bupati sekarang sangat pongah dan terkesan arogan. Attitude dan tingkah laku kesehariannya tidak mencerminkan keluarga pemimpin yang harus di gugu dan di tiru. Entahlah.. saya pribadi tidak pernah telpon-telponan ataupun SMS-an dengan keluarga Bupati Loteng. Apalagi akrab-akraban he..he..he..
Indonesia mempunyai banyak agama dan budaya sebagai latar belakang masing-masing daerah. Keberadaan agama dan budaya itu adalah kemudian menjadi suatu norma dan aturan tidak tertulis yang disepakati bersama masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengatur kehidupan sebagai negara, maka Indonesia mempunyai aturan yang sama untuk seluruh daerahnya. Sinergisnya pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin pemerintahan di daerah akan menciptakan suasana yang kondusif dan berkekuatan untuk daerah tersebut menjadi maju.
Dalam masyarakat modern, pemuka agama dan pemuka adat mempunyai tempat tersendiri dan tidak masuk secara struktur dalam dunia pemerintahan negara. Untuk kesetaraan yang demokratis, maka mereka bisa masuk diwilyah itu jika mempunyai kecakapan dengan kredibilats dan kemampuan secara asumsi negara. Salah satunya adalah latar belakang pendidikan. Negeri ini (sekali lagi) tidak membatasi siapapun untuk menjadi apapun. Syarat yang termaktub sudah begitu jelas. Tapi, hendaklah yang berminat tahu diri. Jika ada yang lebih baik kenapa harus tetap ingin menjadi (?). Pengaruh keagamaan yang dimiliki dan pengaruh garis keturunan yang menitis harusnya bisa dijadikan kekuatan bagi putra terbaiknya untuk membangun daerah. Bukankah mengurus sebuah daerah dengan sistem birokrasi tidak seperti mengurus pesantren dan ceramah dalam pengajian? Bukankah menjalankan roda pemerintahan tidaklah seperti menjalankan suatu acara kawinan dengan cara adat atau menggelar sebuah event presean? Jika para ulama dan kaum ningrat itu bisa (dan sadar) ya silahkan. Tapi, kalau tidak bisa dan tidak bisa di kritik (masukan) ya jangan pagah.
Konsep demokrasi yang di anut Indonsia adalah demokrasi ala eropa. Hal inilah yang seharusnya bisa membuat kaum agama dan kaum ningrat susah masuk (jika mereka tidak mau membuka ‘pakaian’ ulama atau ningratnya). Kenapa? Posisi sebagai pemuka agama dan pemuka adat (ningrat) menjadi tidak berlaku ketika masuk di ranah pemerintahan. Anda salah masyarakat bisa protes. Anda keliru rakyat boleh menggugat. Anda tidak becus, turunkan atau ganti sekarang juga. Hal tersebut akan berbeda jika itu dalam lingkup agama atau adat. Sebuah fatwa ulama atau keputusan adat adalah mutlak. Sebab mekanisme pertanggungjawabannya adalah kitab suci atau norma budaya dan adat istiadat. Siapa yang paling mengerti itu? Tentu saja ulama dan pemuka adat. Untuk konteks itu, ummat seyogyanya memang harus selalu ikut saja. Hampir-hampir tidak ada demokrasi pada wilayah itu.
Dari semua tersebut diatas, marilah kita bertanya kepada ibu kita masing-masing, “ sampun berembe Loteng mangkin, menurut pekayunan pelungguhm? ”. Panggung politik di Loteng saat ini masih saja di banjiri oleh kaum ningrat dan ulama yang ‘biadabnya’ mereka tidak mau menanggalkan atribut ulama dan atau ningratnya. Sah-sah saja, itu hak individu untuk ikut berkompetisi. Tapi, buka dulu ‘pakaiannya’ dan terimalah konsekuensi politik yang demokratis. Posisi di birokrasi akhirnya tetap membuat para ulama dan ningrat selalu oportunis. Pemerintahan kemudian berjalan otoriter dengan sistem penokohan yang sangat klasik. Tidak ada protes karena si A itu keturunan Tuan Guru. Tidak ada komplain sebab si B itu orang ningrat. Demokrasi pincang dan masyarakat biasa tetap bodoh. Jika ada suara ‘keras’ sedikit, maka itu dilempar ke masyarakat dengan bahasa yang provokatif. Maka yang kemudian terjadi adalah konflik (yang diciptakan). Rakyat yang (maaf) bodoh, hanya dijadikan bumper dengan dalih melindungi Tuan Guru-nya atau membela Lalu-nya. Biar salah juga dibela. Luar biasa. Paham feodalisme yang terus dipelihara oleh kaum elite di Loteng dan masyarakat pun tak pernah sadar bahwa itu adalah praktek pembodohan buat mereka.
Saya ber-positive thinking bahwa banyak orang hebat di Loteng dari luar kedua lingkaran ‘elit’ itu. Permasalahannya mereka belum mendapat kesempatan, kenapa? Pengaruh dan kemampuan mereka sepertinya tidak cukup untuk mendapat dukungan dari masyarakat Loteng. Masyarakat modern yang terdidik (terutama yang ber-SDM pendidikan politik yang baik) dalam memilih pemimpin akan lebih dan sangat mengutamakan sisi APA YANG KAMU BISA, ketimbang DARI MANA KAMU BERASAL kepada setiap kandiddat yang muncul atau menyodorkan diri. Jika di Loteng kemudian terpilih calon dengan kriteria DARI MANA KAMU BERASAL tanpa dibarengi APA YANG KAMU BISA, maka pertanyaannya adalah; apakah masyarakat Loteng (maaf) bodoh? Dan atau siapa yang ‘bermain’ dan apa kepentingannya? Kue politik adalah makanan terlezat bagi manusia Indonesia, terutama untuk daerah Loteng yang notabene masih menjadikan pegawai negeri sebagai cita-cita yang utama bagi sebagian besar masyarakatnya. Yah.. Kita harus realistis bahwa seperti itulah realitanya, seperti kata kawan saya itu.
Saya takut menggunjing. Ibu saya selalu berpesan untuk sedapat mungkin menjauhi posisi menggunjing. “Sangat tidak baik dan dilarang oleh agama,” katanya. “Nanti kamu bisa dapat karma,” beliau menambahkan. Hingga ibu saya pun melarang saya untuk menjadi seorang wartawan. “kerjaannya ngomongin orang terus..”, beliau memang kadang-kadang sok tahu. Walaupun sudah saya jelaskan bahwa berita itu tidak semuanya harus mengkritik pemerintah. Tapi, ibu saya tetap saja pagah dengan penilainnya. Ya sudahlah, tidak baik berdebat dengan ibu. Jadi, saya nurut saja biar sekalian berbakti mendengar kata orang tua. Toh beliau tidak protes jika saya sering menulis. Mungkin pikir beliau, menulis kan tidak mesti pekerjaan wartawan. Semua orang juga boleh menulis dan menjadikan tulisan sebagai dari ritme pekerjaannya. Dari pedagang sampai presiden juga menulis. Tapi, saya juga tidak bercita-cita kok untuk jadi wartawan. Jadi, atas larangan ibu saya itu, ya saya oke-oke saja J
Hal yang membuat saya bingung sehubungan dengan pesan dari ibu saya itu adalah saya menjadi sulit ketika harus berbicara atau menulis yang isinya semacam penilaian tentang seseorang secara personal. Dalam konteks apapun tetap saja saya bingung. Entahlah.. Saya amat sadar bahwa ibu saya adalah orang bodoh dan berpikiran kolot. Seperti orang-orang tua lainnya di Loteng, maka beliau juga sudah pernah hidup dibeberapa zaman yang sulit. Tapi, masyarakat Loteng kan tidak semuanya tua. Generasi mudanya juga sangat banyak, mungkin lebih banyak dari generasi tua. Apa ada yang salah pilih? Kenapa mulai ada yang menggugat kembali pilihannya? Iming-iming apa dan hal apa yang membuat mereka jadi seperti itu? Apakah mereka (maaf) bodoh juga? Kita tidak bisa melarang orang untuk menjadi tim sukses dan kaki tangan. Yang bisa dilakukan adalah mencerdaskan (sekali lagi) masyarakatnya dalam menentukan pilihan. Dengan begitu masyarakat Loteng tidak terus menerus dikategorikan sebagai pemilih tradisional semata (yang kampanyenya lebih hanya menggunakan cerita-cerita masa lalu dan slogan-slogan pendekatan historis serta kedekatan emosional semata).
Untuk melanggengkan kekuasaan, kaum penguasa secara sangat sadar tidak ingin rakyatnya cerdas (terutama pendidikan politik). Itu membahayakan koloninya penguasa. Jadi, jika itu masalahnya maka pihak yang bisa diharapkan untuk mencerdaskan rakyat adalah pers.
Posisi media massa moderen adalah sebagai elemen non pemerintah, dengan beberapa fungsinya antara lain sebagai alat pemberi informasi, pendidikan, penyebaran nilai-nilai, pengawasan, dan hiburan. Untuk mengawal roda pemerintahan yang bersih, adil, dan kondusif, maka itu adalah salah satu bagian dari tugas pers bersama masyarakat.
(Komunikasi Massa. 2004)
Maka, sudah selayaknya masyarakat Loteng menjadi cerdas dan kritis. Dalam konteks ancaman terhadap stabilitas nasional (semisal SARA dan sebagainya), maka pers menjadi mitra pemerintah untuk menghancurkan itu. Tapi, apakah peluang masyarakat Loteng untuk cerdas dan kritis adalah ancaman terhadap stabilitas nasional atau stabilitas Loteng (sehingga peluang itu harus dihancurkan)? Jika menilik kondisi masyarakat Loteng yang saat ini selalu saja seperti salah pilih dan senantiasa dalam bayang-bayang ketakutan untuk ‘bersuara’, maka saya pribadi menyimpulkan bahwa fungsi pers di Loteng saat ini (maaf) tidak berjalan cukup baik. Pers tidak cukup mau (atau mungkin tidak mau) untuk ‘menemani’ masyarakat menjadi cerdas dan kritis. Pers yang beredar di Loteng tidak bisa membantu masyarakatnya untuk menemukan kebebasan berpikir dan berpendapatnya. Tidak juga bisa membantu masyarakat untuk lebih menggunakan otak dan nurani yang maju ketika harus memilih seorang pemimpin, daripada harus mendengar celoteh tim sukses yang jelas-jelas sudah punya kepentingan tersendiri (individu maupun kolektif).
Tidak kita pungkiri, bahwasanya bisnis media massa tetaplah sebuah bisnis yang selalu menghitung untung rugi. Tidak aneh sebab mereka juga perlu materi untuk terus hidup. Untuk daerah berkembang seperti NTB, maka belanja iklan koran (sebagai rata-rata pemasukan terbesar koran di Indonesia) pada spot mahal biasanya didominasi oleh iklan Pemda atau Instansi terkaitnya. Apakah toko kelontong atau bengkel kecil mau pasang iklan? Apalagi tukang jual pelecing.. Jika ada pihak swasta yang pasang iklan, spotnya berapa besar yang mereka berani pasang. Rata-rata tidak lebih dari iklan BW (red: black white) ukuran kolom. Mungkin lebih murah bikin pamplet dan disebar-sebarkan, lebih murah biaya opersionalnya. Atas dasar itulah (mungkin) yang membuat Lombok Post –koran pertama yang terbit di Lombok dan sebelumnya bernama Suara Nusa- lebih nyaman menjadi anak manis birokrat, ketimbang harus idealis dengan tetek bengek semangat jurnalismenya.
Dari sebuah milis kampus, seorang kawan di Aliansi Jurnalis Independen Bandung mengeluhkan media massa (TV, Radio, dan Koran / Majalah) di Indonesia sekarang yang kepemilikan sahamnya rata-rata dikuasai oleh ‘kaum bermasalah’ dan status quo. Hal inilah yang membuat wartawan pro rakyat kemudian berada dalam posisi gamang. Tarik ulur kepentingan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Jika itu juga terjadi dengan bisnis pers di NTB atau Loteng khususnya. Maka, say goodbye buat semangat jurnalisme dan segala tetek bengek fungsi pers buat masyarakat di Loteng. Media alternatif untuk pencerdasan masyarakat yang kritis dan berani sepertinya hanya akan menjadi cita-cita saja. Pemerintah perlu pers untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya dan pers perlu space untuk terus hidup dan berkembang. Ya, klop sudah.. masyarakat nanti saja dulu.
Tidak perlu berpanjang lebar saya bersuara disini sebab saya juga bukan seorang analis. Cukup saya simpulkan sementara ini bahwa fungsi pers di Loteng saat ini tidak lebih hanya alat penyampai informasi dan hiburan saja yang ujung-ujungnya menyerupai alat propaganda pemerintah semata. Tidak ada berita jujur yang dikemas berimbang dan dilempar ke masyarakat Loteng, hanya informasi saja (berita dan informasi adalah dua hal yang berbeda). Pengawalan yang dilakukan lebih diimplemetasikan sebagai ‘menjaga’ daripada sebagai ‘mengawasi’. Apalagi sebagai oposisi yang notabene memerlukan keberanian lebih, sangat jauh dari harapan. Masyarakatpun akhirnya tidak akan pernah tahu, jika pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin birokrasi negara berpaham demokrasi itu dalah tiga posisi yang berbeda. Hak, kewajiban, dan kosekuensinya pun berbeda pula.
“ .. saya bukan anti pemerintah, bukan juga tidak menghargai dan menghormati posisi seseorang yang sudah jelas-jelas memang keturunan pemimpin. Tapi, tidak setiap keturunan pemimpin bisa jadi pemimpin kan? Apakah anak maling harus jadi maling juga? Mari kita realistis.. kredibilitas dan kemampuannya memang harus dipertanyakan kembali. Dan hal yang terjadi sekarang di Lombok Tengah adalah kolusi dan nepotisme edan-edanan.. Protes?! Siap-siaplah untuk dikeprok sama algojonya. Pers jangan terlalu diharapkan. Oportunis semua.. “
Membuka tulisan ini saya tidak akan beromantisme dulu dengan sejarah reformasi negeri ini yang sangat kelam dengan pelanggaran HAM-nya. Saya lebih tertarik untuk mengingat kembali percakapan saya dengan seorang kawan di kampung, melalui telepon beberapa waktu lalu. Kesimpulan yang saya dapat dari kawan itu adalah kurang lebih seperti petikan dialog diatas. Tentu saja setelah sebelumnya kawan saya itu curhat tentang betapa tidak bebasnya manusia untuk ‘bersuara’ di Lombok Tengah (selanjutnya saya singkat Loteng).
Ada yang menarik dari berbagai informasi yang saya dapat; kebebasan berpendapat, nepotisme, tidak berlakunya right man on the right place, regenerasi yang tidak tepat sasaran, dan pemimpin yang bukan pemimpin. Entahlah.. Dari sudut pandang apa kawan saya melihat. Subjektif mungkin iya. Tapi yang jelas, seorang manusia (rakyat) di Loteng telah memberikan penilaian. Toh, menurut saya (lagi-lagi mungkin subjektif) didunia ini tidak ada yang bebas nilai. Mencari opini dan penilaian objektif hanyalah mimpi saja. Kenapa? Sebab tentu saja semua manusia punya kepentingan dan inilah yang membuat sudut pandang menjadi tidak akurat. Disamping penindasan dan atau intimidasi yang dirasakan.
Kondisi Indonesia pasca reformasi dengan media yang terus menggeliat saat ini menjadikan bisnis media massa adalah lahan menyenangkan bagi sebagian orang.
Sebagai gambaran, pada zaman orde baru perusahaan koran yang memiliki Surat Izin Umum Penerbitan Pers (SIUPP) hanya 321. Saat itu media televisi juga hanya TVRI. Tapi, setelah Mei 1998 semuanya berubah. Reformasi yang muncul membawa angin baru bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Media massa cetak pun muncul seperti cendawan di musim hujan. Hanya dalam tempo satu tahun setelah reformasi, jumlah media massa cetak bertambah menjadi 852 perusahaan. Hingga kini, jumlah itu terus berkembang. (Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung – Suplemen Kampus edisi 29 Maret 2007).
Entahlah.. mengapa semua orang ingin berbisnis media massa. Euforia kebebasan berpikir dan berpendapat tetaplah sebagai salah satu alasannya, tentu saja selain murni sebagai bisnis. Dikarenakan semua orang demen bicara bebas ya harus disediakan medianya. Jadilah itu bisnis. Seperti jual cendol dimusim kemarau.. insya Allah, kemungkinan laku tinggi. Birokrat dan politikus pun sangat mahfum akan hal itu.
Di Loteng, kepemimpinan bupati sebelum reformasi di dominasi oleh orang-orang kiriman dari Jawa. Sebagai daerah yang merupakan bekas wilayah jajahan Majapahit dan Mataram, ditambah dengan karakter orang Lombok yang sangat familiar dan terbuka. Maka, semua itu tidaklah masalah. Sampai ada lelucon, kalau gaya pejabat di Loteng saat ini selalu ingin seperti gaya pejabat Jawa. Baik itu dari tingkah laku mengaturnya maupun gaya dan logat berbicaranya. Biarlah itu. Toh itu cuma masalah pribadi. Selama itu baik ya tidak masalah.
Sebagai bagian dari bekas invasi Jawa dan seperti ingin mengikuti tradisi didaerah bekas ‘rajanya’ dulu maka, kehidupan di Loteng selanjutnya selalu didominasi juga oleh kaum ningrat dan kiyai (ulama / Tuan Guru). Reformasi sepertinya terlalu lemah untuk merubah tradisi bahwa pemimpin itu harusnya berasal dari kalangan ningrat dan atau ulama. Entahlah.. jika yang terjadi pada tahun 1998 itu bukanlah reformasi, tapi revolusi. Wallahua’lam bish shawab.
Tidaklah aneh di Indonesia jika kaum ulama dan ningrat banyak bercokol di tempat-tempat strategis birokrasi dan politik. Suksesnya Kesultanan Yogya dan Cirebon bisa menjadi contoh hal tersebut. Di paham demokrasi perihal itu sah-sah saja. Namun tidak semua kemenangan yang diperoleh berdasarkan atas penilaian pemilih terhadap kapabilitas calon. Konteks calon sebagai seorang pemimpin di ranah republik belumlah berkembang di masyarakat. Di masyarakat Loteng, sudut pandang penilaian lebih diarahkan (oleh siapa?) kepada tradisi dan pengaruh tradisional. Sisi intelektual dan kredibilats modern diabaikan.
Sebuah studi kasus; kemenangan H.L.Wiratmaja sebagai Bupati Loteng saat ini dan berhasilnya L.Wire Abraham (putranya H.L.Wiratmaja) sebagai Kepala Desa Jago bisa menjadi contoh alasan bagi sebagian kaum non ningrat dan non ulama untuk ‘menggugat tradisi’. Padahal untuk negara yang menganut paham demokrasi moderen, latar belakang (selain sebagai orang ningrat) beliau berdua memang jauh dari kriteria dan syarat. Sebab hampir semua masyarakat Loteng sampun wikan, maka disini saya tidak ingin menggunjing. Everybody knows.. Jadi, untuk nepotisme besar-besaran di Loteng saya pribadi tidaklah heran. Kemenangan dengan pengaruh faktor X adalah hutang politik yang tetap harus di bayar.
Rata-rata semua daerah di Indonesia masih seperti itu kondisinya, walaupun Loteng memang berada dalam posisi yang masih ‘luar biasa’ (maaf, lihatlah semua posisi struktur birokrasi saat ini di Loteng). Pertanyaan yang muncul adalah; apakah semua orang yang non ningrat dan non ulama di Loteng tidak ada yang pantas dan kredibel? Sangat tidak logis jika jawabannya adalah YA! Revolusi di Rusia dulu juga berasal dari pertanyaan kecil seperti itu (disamping sebab-sebab lainnya yang tentu saja sangat politis). Namun, alasan yang biasanya dilontarkan rakyat setiap menggugat pemerintahnya adalah tidak transparansinya pemerintah dan tidak aspiratifnya menjalankan kebutuhan masyarakat. Untuk Loteng, ada tambahan info; keluarga bupati sekarang sangat pongah dan terkesan arogan. Attitude dan tingkah laku kesehariannya tidak mencerminkan keluarga pemimpin yang harus di gugu dan di tiru. Entahlah.. saya pribadi tidak pernah telpon-telponan ataupun SMS-an dengan keluarga Bupati Loteng. Apalagi akrab-akraban he..he..he..
Indonesia mempunyai banyak agama dan budaya sebagai latar belakang masing-masing daerah. Keberadaan agama dan budaya itu adalah kemudian menjadi suatu norma dan aturan tidak tertulis yang disepakati bersama masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengatur kehidupan sebagai negara, maka Indonesia mempunyai aturan yang sama untuk seluruh daerahnya. Sinergisnya pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin pemerintahan di daerah akan menciptakan suasana yang kondusif dan berkekuatan untuk daerah tersebut menjadi maju.
Dalam masyarakat modern, pemuka agama dan pemuka adat mempunyai tempat tersendiri dan tidak masuk secara struktur dalam dunia pemerintahan negara. Untuk kesetaraan yang demokratis, maka mereka bisa masuk diwilyah itu jika mempunyai kecakapan dengan kredibilats dan kemampuan secara asumsi negara. Salah satunya adalah latar belakang pendidikan. Negeri ini (sekali lagi) tidak membatasi siapapun untuk menjadi apapun. Syarat yang termaktub sudah begitu jelas. Tapi, hendaklah yang berminat tahu diri. Jika ada yang lebih baik kenapa harus tetap ingin menjadi (?). Pengaruh keagamaan yang dimiliki dan pengaruh garis keturunan yang menitis harusnya bisa dijadikan kekuatan bagi putra terbaiknya untuk membangun daerah. Bukankah mengurus sebuah daerah dengan sistem birokrasi tidak seperti mengurus pesantren dan ceramah dalam pengajian? Bukankah menjalankan roda pemerintahan tidaklah seperti menjalankan suatu acara kawinan dengan cara adat atau menggelar sebuah event presean? Jika para ulama dan kaum ningrat itu bisa (dan sadar) ya silahkan. Tapi, kalau tidak bisa dan tidak bisa di kritik (masukan) ya jangan pagah.
Konsep demokrasi yang di anut Indonsia adalah demokrasi ala eropa. Hal inilah yang seharusnya bisa membuat kaum agama dan kaum ningrat susah masuk (jika mereka tidak mau membuka ‘pakaian’ ulama atau ningratnya). Kenapa? Posisi sebagai pemuka agama dan pemuka adat (ningrat) menjadi tidak berlaku ketika masuk di ranah pemerintahan. Anda salah masyarakat bisa protes. Anda keliru rakyat boleh menggugat. Anda tidak becus, turunkan atau ganti sekarang juga. Hal tersebut akan berbeda jika itu dalam lingkup agama atau adat. Sebuah fatwa ulama atau keputusan adat adalah mutlak. Sebab mekanisme pertanggungjawabannya adalah kitab suci atau norma budaya dan adat istiadat. Siapa yang paling mengerti itu? Tentu saja ulama dan pemuka adat. Untuk konteks itu, ummat seyogyanya memang harus selalu ikut saja. Hampir-hampir tidak ada demokrasi pada wilayah itu.
Dari semua tersebut diatas, marilah kita bertanya kepada ibu kita masing-masing, “ sampun berembe Loteng mangkin, menurut pekayunan pelungguhm? ”. Panggung politik di Loteng saat ini masih saja di banjiri oleh kaum ningrat dan ulama yang ‘biadabnya’ mereka tidak mau menanggalkan atribut ulama dan atau ningratnya. Sah-sah saja, itu hak individu untuk ikut berkompetisi. Tapi, buka dulu ‘pakaiannya’ dan terimalah konsekuensi politik yang demokratis. Posisi di birokrasi akhirnya tetap membuat para ulama dan ningrat selalu oportunis. Pemerintahan kemudian berjalan otoriter dengan sistem penokohan yang sangat klasik. Tidak ada protes karena si A itu keturunan Tuan Guru. Tidak ada komplain sebab si B itu orang ningrat. Demokrasi pincang dan masyarakat biasa tetap bodoh. Jika ada suara ‘keras’ sedikit, maka itu dilempar ke masyarakat dengan bahasa yang provokatif. Maka yang kemudian terjadi adalah konflik (yang diciptakan). Rakyat yang (maaf) bodoh, hanya dijadikan bumper dengan dalih melindungi Tuan Guru-nya atau membela Lalu-nya. Biar salah juga dibela. Luar biasa. Paham feodalisme yang terus dipelihara oleh kaum elite di Loteng dan masyarakat pun tak pernah sadar bahwa itu adalah praktek pembodohan buat mereka.
Saya ber-positive thinking bahwa banyak orang hebat di Loteng dari luar kedua lingkaran ‘elit’ itu. Permasalahannya mereka belum mendapat kesempatan, kenapa? Pengaruh dan kemampuan mereka sepertinya tidak cukup untuk mendapat dukungan dari masyarakat Loteng. Masyarakat modern yang terdidik (terutama yang ber-SDM pendidikan politik yang baik) dalam memilih pemimpin akan lebih dan sangat mengutamakan sisi APA YANG KAMU BISA, ketimbang DARI MANA KAMU BERASAL kepada setiap kandiddat yang muncul atau menyodorkan diri. Jika di Loteng kemudian terpilih calon dengan kriteria DARI MANA KAMU BERASAL tanpa dibarengi APA YANG KAMU BISA, maka pertanyaannya adalah; apakah masyarakat Loteng (maaf) bodoh? Dan atau siapa yang ‘bermain’ dan apa kepentingannya? Kue politik adalah makanan terlezat bagi manusia Indonesia, terutama untuk daerah Loteng yang notabene masih menjadikan pegawai negeri sebagai cita-cita yang utama bagi sebagian besar masyarakatnya. Yah.. Kita harus realistis bahwa seperti itulah realitanya, seperti kata kawan saya itu.
Saya takut menggunjing. Ibu saya selalu berpesan untuk sedapat mungkin menjauhi posisi menggunjing. “Sangat tidak baik dan dilarang oleh agama,” katanya. “Nanti kamu bisa dapat karma,” beliau menambahkan. Hingga ibu saya pun melarang saya untuk menjadi seorang wartawan. “kerjaannya ngomongin orang terus..”, beliau memang kadang-kadang sok tahu. Walaupun sudah saya jelaskan bahwa berita itu tidak semuanya harus mengkritik pemerintah. Tapi, ibu saya tetap saja pagah dengan penilainnya. Ya sudahlah, tidak baik berdebat dengan ibu. Jadi, saya nurut saja biar sekalian berbakti mendengar kata orang tua. Toh beliau tidak protes jika saya sering menulis. Mungkin pikir beliau, menulis kan tidak mesti pekerjaan wartawan. Semua orang juga boleh menulis dan menjadikan tulisan sebagai dari ritme pekerjaannya. Dari pedagang sampai presiden juga menulis. Tapi, saya juga tidak bercita-cita kok untuk jadi wartawan. Jadi, atas larangan ibu saya itu, ya saya oke-oke saja J
Hal yang membuat saya bingung sehubungan dengan pesan dari ibu saya itu adalah saya menjadi sulit ketika harus berbicara atau menulis yang isinya semacam penilaian tentang seseorang secara personal. Dalam konteks apapun tetap saja saya bingung. Entahlah.. Saya amat sadar bahwa ibu saya adalah orang bodoh dan berpikiran kolot. Seperti orang-orang tua lainnya di Loteng, maka beliau juga sudah pernah hidup dibeberapa zaman yang sulit. Tapi, masyarakat Loteng kan tidak semuanya tua. Generasi mudanya juga sangat banyak, mungkin lebih banyak dari generasi tua. Apa ada yang salah pilih? Kenapa mulai ada yang menggugat kembali pilihannya? Iming-iming apa dan hal apa yang membuat mereka jadi seperti itu? Apakah mereka (maaf) bodoh juga? Kita tidak bisa melarang orang untuk menjadi tim sukses dan kaki tangan. Yang bisa dilakukan adalah mencerdaskan (sekali lagi) masyarakatnya dalam menentukan pilihan. Dengan begitu masyarakat Loteng tidak terus menerus dikategorikan sebagai pemilih tradisional semata (yang kampanyenya lebih hanya menggunakan cerita-cerita masa lalu dan slogan-slogan pendekatan historis serta kedekatan emosional semata).
Untuk melanggengkan kekuasaan, kaum penguasa secara sangat sadar tidak ingin rakyatnya cerdas (terutama pendidikan politik). Itu membahayakan koloninya penguasa. Jadi, jika itu masalahnya maka pihak yang bisa diharapkan untuk mencerdaskan rakyat adalah pers.
Posisi media massa moderen adalah sebagai elemen non pemerintah, dengan beberapa fungsinya antara lain sebagai alat pemberi informasi, pendidikan, penyebaran nilai-nilai, pengawasan, dan hiburan. Untuk mengawal roda pemerintahan yang bersih, adil, dan kondusif, maka itu adalah salah satu bagian dari tugas pers bersama masyarakat.
(Komunikasi Massa. 2004)
Maka, sudah selayaknya masyarakat Loteng menjadi cerdas dan kritis. Dalam konteks ancaman terhadap stabilitas nasional (semisal SARA dan sebagainya), maka pers menjadi mitra pemerintah untuk menghancurkan itu. Tapi, apakah peluang masyarakat Loteng untuk cerdas dan kritis adalah ancaman terhadap stabilitas nasional atau stabilitas Loteng (sehingga peluang itu harus dihancurkan)? Jika menilik kondisi masyarakat Loteng yang saat ini selalu saja seperti salah pilih dan senantiasa dalam bayang-bayang ketakutan untuk ‘bersuara’, maka saya pribadi menyimpulkan bahwa fungsi pers di Loteng saat ini (maaf) tidak berjalan cukup baik. Pers tidak cukup mau (atau mungkin tidak mau) untuk ‘menemani’ masyarakat menjadi cerdas dan kritis. Pers yang beredar di Loteng tidak bisa membantu masyarakatnya untuk menemukan kebebasan berpikir dan berpendapatnya. Tidak juga bisa membantu masyarakat untuk lebih menggunakan otak dan nurani yang maju ketika harus memilih seorang pemimpin, daripada harus mendengar celoteh tim sukses yang jelas-jelas sudah punya kepentingan tersendiri (individu maupun kolektif).
Tidak kita pungkiri, bahwasanya bisnis media massa tetaplah sebuah bisnis yang selalu menghitung untung rugi. Tidak aneh sebab mereka juga perlu materi untuk terus hidup. Untuk daerah berkembang seperti NTB, maka belanja iklan koran (sebagai rata-rata pemasukan terbesar koran di Indonesia) pada spot mahal biasanya didominasi oleh iklan Pemda atau Instansi terkaitnya. Apakah toko kelontong atau bengkel kecil mau pasang iklan? Apalagi tukang jual pelecing.. Jika ada pihak swasta yang pasang iklan, spotnya berapa besar yang mereka berani pasang. Rata-rata tidak lebih dari iklan BW (red: black white) ukuran kolom. Mungkin lebih murah bikin pamplet dan disebar-sebarkan, lebih murah biaya opersionalnya. Atas dasar itulah (mungkin) yang membuat Lombok Post –koran pertama yang terbit di Lombok dan sebelumnya bernama Suara Nusa- lebih nyaman menjadi anak manis birokrat, ketimbang harus idealis dengan tetek bengek semangat jurnalismenya.
Dari sebuah milis kampus, seorang kawan di Aliansi Jurnalis Independen Bandung mengeluhkan media massa (TV, Radio, dan Koran / Majalah) di Indonesia sekarang yang kepemilikan sahamnya rata-rata dikuasai oleh ‘kaum bermasalah’ dan status quo. Hal inilah yang membuat wartawan pro rakyat kemudian berada dalam posisi gamang. Tarik ulur kepentingan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Jika itu juga terjadi dengan bisnis pers di NTB atau Loteng khususnya. Maka, say goodbye buat semangat jurnalisme dan segala tetek bengek fungsi pers buat masyarakat di Loteng. Media alternatif untuk pencerdasan masyarakat yang kritis dan berani sepertinya hanya akan menjadi cita-cita saja. Pemerintah perlu pers untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya dan pers perlu space untuk terus hidup dan berkembang. Ya, klop sudah.. masyarakat nanti saja dulu.
Tidak perlu berpanjang lebar saya bersuara disini sebab saya juga bukan seorang analis. Cukup saya simpulkan sementara ini bahwa fungsi pers di Loteng saat ini tidak lebih hanya alat penyampai informasi dan hiburan saja yang ujung-ujungnya menyerupai alat propaganda pemerintah semata. Tidak ada berita jujur yang dikemas berimbang dan dilempar ke masyarakat Loteng, hanya informasi saja (berita dan informasi adalah dua hal yang berbeda). Pengawalan yang dilakukan lebih diimplemetasikan sebagai ‘menjaga’ daripada sebagai ‘mengawasi’. Apalagi sebagai oposisi yang notabene memerlukan keberanian lebih, sangat jauh dari harapan. Masyarakatpun akhirnya tidak akan pernah tahu, jika pemimpin agama, pemimpin adat, dan pemimpin birokrasi negara berpaham demokrasi itu dalah tiga posisi yang berbeda. Hak, kewajiban, dan kosekuensinya pun berbeda pula.
Sebagai penutup, maka saya ingin mengingat kembali celetukan seorang kawan kuliah saya, seorang anak Jakarta dan pemerhati majalah musik. “ sepertinya dunia pers di Indonesia saat ini membutuhkan orang-orang kayak Setiawan Jody untuk mendirikan usaha media massa hanya sebagai hobi saja, sekaligus juga jalan untuk mengabdi kepada masyarakat. Tidak terlalu mengarapkan untung besar. Asal tetap hidup dan bisa menghidupi karyawannya. Agar keberadaannya senantiasa bisa menjadi teman yang loyal buat masyarakat.. “. Saya tersenyum dan berpikir itu mimpi. Tapi, kawan saya berkata, “siapa tahu..?!”. “ya..ya..ya.. siapa tau..”, saya menggumam.
------000------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar