"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Sabtu, 13 Desember 2008

CATATAN : TENTANG PAHLAWAN


" Pejuang Revolusi "
ilustrasi oleh : petani bodoh





PAHLAWAN





Seorang pahlawan adalah mereka yang berjuang dulu waktu zaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan. Tujuan berjuang sudah jelas; untuk sebuah pembebasan dari penindasan oleh penjajah. Guru SD saya berkali – kali menerangkan itu dari semenjak saya kelas satu sampai kelas enam. Waktu itu, kata pahlawan kemudian menjadi salah satu kosakata yag sangat gagah dan macho bagi kami murid-murid SD di kampung saya. Memang begitulah kira-kira otak kanak-kanak mencerna. Yang menerangkan hal itu juga seorang pahlawan, walapun tanpa tanda jasa. Titel itu melekat dan sempurna dipropagandakan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Itulah kenapa guru pada saat itu ‘rela’ digaji sangat kecil. Mungkin sebab gelar pahlawan telah membuat mereka menjadi tidak enak untuk protes.

Bergerak kearah waktu tahun 2008 sekarang ini, kata pahlawan kembali menjadi perbincangan cukup hangat. Sehangat segelas kopi dipagi hari. Banyak alasan untuk memperbincangkan hal itu. Termasuk mungkin juga menjadi alasan saya membuat catatan ini. Selain itu dialog dalam film Naga Bonar 2 membuat saya tertegun, "Semua yang dimakamin disini itu pahlawan ya..?". Makam pahlawan Kalibata hanya membisu.

Seorang bekas presiden meninggal dunia awal tahun 2008 ini. Guru-guru berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji pada pertengahan tahun. Menjelang akhir tahun, beberapa tokoh revolusi kemerdekaan (yang telah meninggal dunia) mendapat penghargaan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Sebuah partai (yang katanya progresif reformis) secara sepihak mendadak telah ‘mengangkat’ seorang bekas presiden sebagai pahlawan dan kemudian menjadi polemik dimasyarakat. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan gaji ‘para pahlawan tanpa tanda jasa’ sebesar 100 persen mulai tahun depan. Jika harus memberikan gelar, maka saya ingin menyematkan gelar untuk tahun 2008 ini sebagai Tahun Pahlawan.

Membuka sebuah milis, kami ada sedikit perbincangan tentang seorang bekas bupati di tempat kami di kampung sana. Ia merupakan tersangka korupsi yang sedang diadili sampai terkencing-kencing di tengah persidangan. Seorang mantan gubernur juga mendadak mengalami sedikit ‘gangguan jiwa’ ketika kasusnya semakin mengerucut kearah vonis hakim. Banyak yang tersenyum simpul dan tertawa dengan adegan langka itu. Namun ada yang mencoba ‘menengahi’ dengan mengatakan bahwa bagaimanapun juga sang bekas bupati dan bekas gubernur itu telah berjasa juga dengan daerah yang dipimpinnya semasa ia masih menjabat. Kata ‘berjasa’ kembali mengingatkan saya dengan kata pahlawan.

Di negeri ini, saya tidak pernah mendengar ada seorang bupati, gubernur, atau presiden dipaksa oleh rakyat untuk menjadi bupati, gubernur, atau presiden. Mereka pasti mencalonkan diri. Dengan kata lain, menjadi kepala daerah atau kepala negara itu adalah murni keinginan dia sendiri. Sampai harus mengeluarkan biaya besar dan tidak jarang dengan kecurangan dan keculasan. Kenapa? Pekerjaan sebagai kepala daerah atau kepala negara itu adalah sebuah job yang penuh harta. Gaji besar, fasilitas mewah dan lain sebagainya. Termasuk untuk keluarganya juga sampai ring keberapa saya sendiri kurang tahu. Saat seseorang ingin menjadi gubernur maka dia sudah tahu tugas dan tanggung jawabnya yang memang besar. Jadi, jika dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka itu memang sudah tugasnya yang bisa disebut keberhasilan dan bukan jasa.

Seluruh pekerjaan yang berafiliasi dengan kalimat pegawai negeri juga seperti itu. Menjadi sangat aneh ketika seorang pegawai negeri yang digaji oleh negara (baca; rakyat) disebut berjasa kepada negara karena dia bisa menjadi pegawai negeri yang baik dan berhasil menjalankan program-programnya dengan baik. Bagi saya itu sangatlah aneh.

Sebuah jasa dalam konteks sosial bermasyarakat dan bernegara adalah sebuah pekerjaan tanpa pamrih. Dengan kata lain, tidak menghitung berapa jumlah feed back yang dia terima. Tidak komplain ketika gaji kecil. Tidak protes saat tidak mendapatkan fasilitas mewah. Para pejuang zaman perang kemerdekaan dulu tidak pernah mendaftar untuk menjadi pejuang dan tidak mendapatkan gaji atas pekerjaannya berjuang mengusir penjajah. Saya pun tidak yakin para TNI zaman revolusi kemerdekaan itu digaji. Mereka murrni berjuang dan tulus ikhlas tanpa pamrih. Itulah yang kita sebut jasa.

Bekas presiden yang telah meninggal dunia (dan dimakamkan dengan upacara super megah) itu dulu telah (katanya) ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Ia kemudian mendapat feed back dengan menjadi presiden (penuh kontroversi) selama 32 tahun. Sekarang hartanya masih bisa dinikmati sampai 7 turunan. Sudah impas kan?! Untuk gelar pahlawan sebagai presiden saya rasa sudah tidak perlu. Tidak ada istilah tanpa pamrih menjadi kepala negara. Ia digaji dan mendapatkan kekayaan serta kekuasaan luar biasa dengan jabatan itu. Sebagai bekas pejuang? Sejarah masih menyangsikan peran dan posisinya. Sementara ini masih banyak veteran revolusi kemerdekaan yang lebih hebat perjuangannya dan sudah dilupakan pemerintah. Selain itu, dosa-dosanya sebelum dan selama ia menjadi presiden pun belum terbayarkan sampai saat ini. Semua orang tahu dan sejarah telah mencatatnya.

Seorang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mendengar lagu Umar Bakrie-nya Iwan Fals saya sepakat itu. Tapi itu dulu. Sekarang? Saya berpendapat sudah tidak lagi. Seorang guru adalah seorang pegawai negeri dengan gaji besar. Guru yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang mengajar disekolah-sekolah darurat. Para relawan yang dengan kesadaran sendiri tanpa pamrih (baca; upah seadanya) mengabdikan diri untuk mengajar buat anak-anak tidak mampu dan didaerah bencana. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah para guru-guru madrasah di pelosok-pelosok yang diupah dengan gabah setiap panen dan sama sekali tidak punya gaji pensiun ataupun tunjangan kesehatan. Mereka rela karena panggilan hati nurani untuk melakukan sesuatu atas nama kemanusiaan dan berbuat baik kepada sesama dalam menyebarkan ilmu pendidikan.

Onani terakhir dari catatan ini adalah tidak ada istilah pahlawan untuk pegawai negeri dan segala hal yang berafiliasi dengan pekerjaan itu. Termasuk para anggota dewan (yang terhormat), kepala daerah, menteri-menteri, dan kepala negara. Mereka memilih pekerjaan itu dengan kesadaran sendiri karena disana ada materi yang tidak sedikit dan kekuasaan yang berlimpah. Tidak ada pemaksaan untuk hal itu, malah mereka yang cenderung memaksakan.

Membuka milis yang lain, seorang kawan yang cantik bercerita tentang kesederhanaan seorang Ahmadinejad. Ia adalah kepala negara di negeri para mullah; Iran. Kawan cantik saya itu bermimpi mempunyai presiden seperti Ahmadinejad. Dan saya membaca email-nya sambil tersenyum. Ikut bermimpi.. sambil ‘berharap’ juga bahwa suatu saat nanti kata pahlawan akan di hapus dari kamus besar Bahasa Indonesia yang disempurnakan.



Bandung, 14 Desember 2008





----------ooooooooooo---------

Tidak ada komentar: