"Jika bukan karena nyala api yang membakarnya, maka aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu .." : petanibodoh

Sabtu, 29 Maret 2008

Kampung Halaman (2)

BAHASA IBU, IDENTITAS DIRI, DAN BUSUNG LAPAR


Oleh: Sulye Jati


Seorang kawan di Bandung pernah bertanya kepada saya (mungkin secara iseng), “kenapa sih pulau Bung namanya Lombok? Emangnya disana cuacanya panas banget ya..?”. Kawan Bandung saya ini rupanya menyangka bahwa Lombok (dari asal kata pulau Lombok) itu artinya cabe (sunda; cengek). Setelah pertanyaan itu saya beberapa kali kemudian teringat dengan sebuah buku yang dulu pernah saya baca. Buku (yang judul dan penulisnya saya lupa) itu adalah kepunyaan almarhum Bapak saya. Isinya berkisar seputar tata cara pemakaman dan prosesi tahlilan masyarakat Sasak. Tapi, di awalnya juga diceritakan tentang asal muasal pulau Lombok dan masyarakatnya yang mungkin saja (kesimpulan umumnya) merupakan subjektif penulisnya. Namun, terlepas dari hal tersebut sepanjang yang saya ingat, isinya memang cukup menarik sebab penulisnya juga mencantumkan referensi dan data dari sebuah observasi yang cukup baik.


Sekedar flashback, dalam buku itu diceritakan bahwa pulau Lombok dulu asalnya hanyalah sebuah daratan kecil yang meliputi wilayah dilereng gunung Rinjani saja dan berbentuk memanjang (bhs. Sasak; lombok atau tepeng). Oleh karena tempatnya terlalu sempit (sesek), maka masyarakatnya disebut orang Sasak (sesak). Selain itu, disebabkan oleh kaisan ayam bekisar milik Dewi Anjani (salah satu tokoh legenda masyarakat Sasak yang bersemayam di gunung Rinjani), maka lama kelamaan daratan pulau Lombok yang tadinya sempit dan berbentuk memanjang menjadi tambah besar (lebar).


Opini pertama tentang (sesek ke sesak menjadi sasak) tentu saja sangat kental pengaruh bahasa indonesianya. Dan opini kedua tentang (lombok atau lurus menjadi Lombok) sangat penuh dengan aroma legenda yang tentu saja sangat susah dipertanggungjawabkan secara ilmu sejarah (sains). Sebagai orang Sasak saya tidak berkecil hati dengan minimnya data sejarah asal muasal keberadaan masyarakat Sasak dan di pulau Lombok. Semua asal nama tempat dan suku di Indonesia rata-rata seperti itu. Sangat dipengaruhi oleh cerita (dongeng atau legenda). Dongeng dan fakta sejarah kadang-kadang dicampur aduk sehingga menjadi sebuah formula ‘data sejarah’ yang dianggap otentik dan valid. Ini memang tidak terlepas dari SDM dan parameter pemahaman masyarakat Indonesia secara umum sampai saat ini masih tradisional.


*******


Di lain kesempatan, kawan saya (yang sepertinya sangat menyukai sejarah dan kebudayaan) kembali bertanya dengan sedikit opini, “Apa sih ciri khas dari gamelan sasak? Semua gamelan di Indonesia alat-alatnya hampir sama. Perangkat seperti suling, kendang dan lainnya hampir nggak ada yang beda. Anda dulu pernah mengatakan tentang kelenang. Itu sama dengan kulintang, kan? Secara umum, gamelan itu malah lebih identik dengan Jawa (Jawa tengah dan Jawa Timur) dan Bali lho..! Di Jawa Barat, alat musik kecapi sudah menjadi ikon budayanya. Malah di Sumatera, khususnya daerah Minangkabau, Sumatera Barat, musik tradisional dengan khas melayunya lebih kental..”.


Penjelasan yang bisa saya berikan waktu itu kemudian hanya sebatas Gendang Beleq dan model suara suling dan irama gamelan Sasak. Entah, apakah penjelasan saya benar atau tidak. Disitu saya memberikan gambaran bahwa gamelan sasak itu ketukan iramanya seperti pertengahan antara gamelan Jawa yang pelan / lembut dan gamelan Bali yang cepat / bersemangat. Kemudian suara suling sasak itu seperti kita membayangkan angin laut yang notabene berbeda dengan angin gunung (istilah saya untuk mengatakan Jawa). Bagi kawan saya itu, penjelasan yang saya berikan mungkin terdengar aneh dan ngejelimet. Entah valid atau tidak, tapi hanya itulah hal yang bisa saya berikan. Tidak pula saya ceritakan tentang tradisi Presean. Ini cukup untuk kemudian membuat kawan saya itu manggut-manggut seperti domba Garut.


*******


Di milis Komunitas Sasak, kawan-kawan Lombok (sasak) saling berbagi ‘kamus’ tentang bahasa sasak (yang baik dan benar menurut perspektif dan subjektif mereka) dengan tujuan (sepertinya) untuk saling melengkapi dan mencari kesepahaman bersama. Saya pribadi setuju dan sangat sepakat. Walaupun hingga seorang kawan yang sedang menyelesaikan skripsinya (tentang kamus Bahasa Sasak) sempat meminta bantuan di milis tentang bahan skripsinya itu dan tidak banyak anggota milis yang bisa memberikan bantuan. Kamus bahasa sasak mungkin masih terlalu sulit untuk dicari referensinya. Saya pribadi kemudian mengakui, bahwa saya sebagai orang sasak (dengan ibu dari Lombok Tengah dan bapak dari lombok selatan) masih tidak mengerti dengan identitas saya sendiri. Biarpun itu hanya sebatas bahasa yang telah saya dengar dan pergunakan, mungkin dari semenjak saya masih dalam kandungan. Bahasa adalah salah satu unsur budaya dan budaya adalah identitas. Untuk itulah saya kemudian disebut (dan menyebut diri) sebagai orang Sasak.


*******


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca koran dan melihat informasi di TV. Tentang kejadian busung lapar di NTB (Lombok). Lombok Tengah ternyata masuk juga sebagai salah satu penyumbang tempat kejadian. Saya kemudian bersiap-siap, sebab benar saja setelah itu seorang kawan saya nyeletuk, “Bukankah Lombok itu Lumbung Padi, kok ada busung lapar.. kayak Somalia aja..”. Untuk kesekian kali saya cuma bisa tersenyum kecut. Dan masih hangat kemudian, lotengpers memberitakan hal yang sama baru-baru ini. Korban gizi buruk sepertinya bertambah lagi.


Kemudian ada yang menambahkan, “Kalau kita main ke Lombok aman-aman nggak disana, Bung? Saya lihat berita TV, di Lombok itu perang terus antar kampung. Belum lagi rampoknya.. Padahal saya sekali-sekali pengin berlibur kesana. Denger-denger pantainya keren banget, lebih bagus dari Bali..”.


Untuk yang satu ini saya mantap menjawab, “Aman.. untuk berlibur Lombok itu aman banget, jangan khawatir.. Silahkan aja mau datang kapanpun, bila perlu saya temenin..”.


Ah.. entahlah (sekali lagi), apakah saya terlalu sering bercerita (dengan bersemangat) bahwa Lombok itu adalah sebuah tempat yang sangat luar biasa. Sebuah tempat yang bisa mewakili kalimat Alm. Soeharto, sebagai bumi gemah ripah loh jinawi. Saya belum bisa memastikan apakah cerita saya yang terkadang sangat bersemangat tentang Lombok adalah sebuah kesalahan atau kekeliruan. Sebab, (seperti harapan masyarakat Lombok umumnya) saya juga ingin Lombok itu bisa terkenal dan maju. Untuk itu harus dikampanyekan dan ‘diiklankan’ keberadaan dan segala potensi atau sumber daya alamnya dengan berbagai cara. Keberadaan saya di rantauan juga bisa saya manfaatkan sebagai ‘duta’ untuk mengkampanyekan itu. Apakah itu duta pariwisata, duta budaya, dan sebagainya. Tapi, mendengar kembali bahwa di Lombok Tengah muncul lagi kasus busung lapar, saya jadi bingung. Walaupun saya tidak tahu pasti apakah pariwisata, budaya, keramahan, dan busung lapar adalah sesuatu yang berkolerasi.


*******


Masyarakat Lombok secara sosial (baik secara sistem maupun pemahaman) saat ini sangat kental dengan budaya ‘invasi’. Karakter orang Sasak yang sangat familiar dan terbuka kepada pendatang menjadikan proses afiliasi dengan budaya sosial ‘invasi’ menjadi lebih cepat dan cenderung gampang untuk diterima. Apalagi budaya sosial di Indonesia memang relatif sama atau mirip. Opinion leader semacam pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan birokrat juga cenderung ‘berguru’ keluar. Namun, tidak selamanya apa yang ditimba itu baik atau diimplementasikan secara baik oleh para pemegang opini tersebut. Seperti sebuah virus, hal ini kemudian mulai merambah dan mengakar dikalangan masyarakat kebanyakan atau paling tidak ditingkat opinion leader lokal. Jika sudah seperti ini, karakter dan kepribadian asli masyarakat Sasak yang beragama dan berbudaya serta bernorma pun menjadi (seperti) hilang.


Jika aplikasi dan tujuan sudah melenceng jauh. Maka hasilnya? Ketidakjujuran, pemakaian sistem kekerasan, penindasan yang lemah, keluargaisme (sedarah), pembohongan publik, dan lain sebagainya kemudian menjadi semacam kolaborasi ‘mode’ yang sangat digemari. Tidak hanya dikalangan masyarakat tradisional tapi sudah menjadi semacam karakter umum dari pemuka agama, pemuka adat, dan pejabat. Tapi jangan salah, kondisi ini bukannya tanpa komplain. Tuntutan hidup yang layak menjadikan masyarakat akhirnya mmilih alternatif lain untuk bisa mengangkat keadaan ekonominya. Ini bisa kita lihat dari tingginya arus masyarakat Sasak yang pergi ke luar negeri, semacam; Malaysia, Brunei, Timur Tengah, atau ke daerah Asia Timur semacam Korea Selatan dan Jepang. Suatu hal yang sebenarnya lumrah bagi orang di seluruh dunia sekalipun, untuk orang bekerja mencari rezeki dimana saja di planet Bumi ini. Hal pokok yang bisa dicermati adalah alasan kita untuk melakukan itu.


Secara umum, Lombok Tengah sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani. Sisanya adalah menjadi pegawai negeri atau lain-lain dan bagi yang tinggal di pesisir selatan mungkin lebih tertarik untuk menjadi nelayan. Jika melihat kondisi tersebut, maka kita sudah mahfum kalau faktor alam seperti curah hujan dan musim akan sangat mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Selama satu tahun kedepan kita harus makan apa, tergantung dari berapa hasil panen tahun ini. Selama ini pokok masalah kehidupan masyarakat Lombok Tengah memang cenderung complicated. Itu harus kita akui sebagai sebuah fakta yang sungguh valid.


Selama ini, Praya sebagai ibukota kabupaten adalah merupakan miniatur Lombok Tengah. Kondisi Lombok Tengah bisa dilihat dari kondisi Praya. Walaupun ada benarnya, namun tidak selamanya miniatur itu mencerminan keadaan yang sesungguhnya dari kondisi keseluruhan. Apalagi untuk konteks kehidupan masyarakat dari sisi ekonomi maupun sosialnya yang senantiasa dinamis. Tingkat SDM yang rendah juga sangat menentukan bagaimana suatu masyarakat bisa survive menjalani hidup. Hal yang agak berbeda untuk sebagian kecil golongan yang hidup dari asupan gaji. Dalam arti kata, kondisi hujan dan musim tidak sepenuhnya berpengaruh. Berarti disini ada sebuah semacam kesenjangan.


Tulisan ini tidak sebagai sebuah protes terhadap sebagain kecil masyarakat Lombok Tengah yang berada dalam kondisi mapan. Tidak sama sekali dan jauh dari hal tersebut. Alangkah baiknya kalau kita lebih melihat kepada sesuatu secara sistem. Sebab, sistem telah memudahkan manusia untuk membuat ukuran penilaian dalam melihat kelebihan dan kekurangan dari sesuatu. Tolak ukurnya? Untuk kehidupan masyarakat tentu saja program kerja dan tingkat kesejahteraan. Kondisi kesejahteraan masyarakat tidak begitu saja dipertanggungjawabkan kepada kondisi cuaca hujan yang jelas-jelas merupakan sebuah kondisi alam. Namun, pemberdayaan masyarakat harus lebih diutamakan sehingga masyarakat bisa mempunyai alternatif pilihan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Apapun hal yang diprogramkan atau yang dilakukan oleh pemerintah, tujuan utamanaya jelas; MENINGKATKAN TARAF KESEJAHTERAAN RAKYAT.


Kasus meningkatnya pencurian, perampokan, perang antar kampung, dan gejolak sosial lainnya janganlah hanya dilihat dari sisi karakter masyarakat tradisional saja. Ada persoalan tentang lilitan hidup disana. Ada masalah eksistensi hidup dan hasrat pengakuan yang tidak terarah. Berarti pola pengayoman dan pemberdayaannya ada yang kurang tepat. Walaupun tidak kita pungkiri juga, bahwa perilaku agresif negatif masyarakat yang seperti itu cukup mengganggu stabilitas daerah yang berarti juga menganggu arus ekonomi yang masuk ke Lombok Tengah sebagai salah satu daerah tujuan wisata di NTB dan Indonesia. Namun akar masalahnya saja tidak disentuh, bagaimana mau selesai?


Seorang kawan di Lombok Tengah melakukan ‘pembelaan’, “masalahya adalah rata-rata orang Lombok Tengah itu tidak kreatif.. mereka cuma bisa melakukan pekerjaan warisan, yaitu bertani saja. Selain itu, susah..”. Nah lho.. kenapa orang Lombok Tengah seperti itu jadinya?!


Sebuah keuntungan bagi Lombok Tengah adalah potensi alamnya (terutama wilayah pantai) sebagai aset berharga yang siap untuk dikelola dan dikembangkan. Hasilnya, kalau merujuk kepada undang-undang, adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu sebagai contoh, pembangunan Bandara Internasional (yang ‘mengorbankan’ ribuan hektar sawah petani yang masih tergolong produktif) bisakah mengangkat harkat masyarakat Lombok Tengah atau NTB? Harusnya (harus) bisa!! Sebab, selain mendatangkan devisa yang besar buat daerah maka iming-iming banyaknya pekerjaan di bandara itu bagi kaum pribumi Lombok memang harus kita perhitungkan pula.


Tapi, masalah pokok yang muncul adalah kita disana sebagai apa. Tukang parkir? Jual rokok asongan? Penjaga hotel dan restoran? Tukang pukul pub dan karaoke? Sopir taksi? Atau apa? Bandara itu adalah sebuah proyek bertaraf internasional yang tentu saja membutuhkan kemampuan atau SDM yang baik dan cocok. Investor luar negeri tidak akan mau tahu kita orang pribumi atau tidak. Mereka hanya melihat orang (pekerja) itu dari sisi kemampuannya saja yang akan disesuaikan dengan kebutuhan. Akan sangat professional model perekrutan nantinya. Sebab bagi mereka, this is a business .. Sah-sah saja dan itu wajar. Tinggal kita sekarang. Mampukah kta bersaing untuk bisa masuk di ranah itu? Saya pribadi belum bisa memastikan. Sebab, sampai tulisan ini dibuat, saya belum pernah mendengar program Lombok Tengah untuk meningkatkan kualitas SDM (pendidikan) masyarakatnya secara signifikan.


Seorang kawan yang lain di Lombok Tengah bercerita, “Anggaran Lombok Tengah sekitar 64 persen itu cuma berputar dikalangan pengusaha saja..”. Wow.. 64 persen berarti lebih dari setengah (jika itu jumlah pemilih, akan lebih dari cukup untuk memenangkan sebuah pemilu) dan hanya berada dikalangan minoritas.


Kritis juga dia, tapi kawan ini tidak menjelaskan tentang sisanya dan data itu dia dapat dari mana bahwa realisasi anggaran itu hanya berputar dikalangan elit saja. Jika itu pengusaha, usaha apa mereka? Saya tidak begitu antusias menanyakan tentang itu. Sebab, dengan berita busung lapar dan gepeng saja saya sudah pesimis dengan program pemerintah Lombok Tengah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Isu sentralisasi pembangunan pun semakin sering saya dengar dan Janapria itu (menurut saya) tidak begitu jauh dari Praya. Jadi, kedatangan gepeng ke Praya itu sebagai sesuatu yang lumrah. Sebagai bagian dari rakyat, mereka datang untuk menuntut haknya. Hak untuk hidup layak (tidak sekedar supaya mampu bertahan hidup) dan sejahtera.


…………………..

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak terbebas dari kelaparan merupakan hak asasi paling dasar. Bahkan, hak-hak asasi lain tidak akan terpenuhi tanpa lebih dulu menjamin hak atas kecukupan pangan dan gizi. Hak atas pangan dideklarasikan sebagai HAM melalui berbagai perjanjian internasional. Di antaranya, Deklarasi Universal untuk HAM tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan (pangan), pakaian (sandang), dan rumah (papan)....

…………………….


Lebih menyedihkan, laporan Dinas Kesehatan NTB, dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami busung lapar selama Januari-Mei 2005, tujuh di antaranya meninggal.


(Widodo Dwi Putro. Kompas edisi 25 Maret 2008)


Berkaitan dengan kasus-kasus diatas, lotengpers di media online-nya pun pernah memberitakan hal serupa (Gizi Buruk, Satu Balita Meninggal – 17 Maret 2008). Kecuali kasus L.Serinata yang pernah di panggil KPK, maka saya belum percaya apakah di Lombok Tengah juga berlangsung praktik korupsi. Tapi kejadian demi kejadian kemudian membuat banyak orang mulai menduga-duga.


Menilik sebuah tempat yang menjadi pusat lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tidaklah dalam arti kata harus bekerja disana. Tapi kemampuan menganalisa sebuah program untuk usaha yang nantinya akan dibuka dan mendukung keberadaan bandara (sebagai contoh saja) itu juga membutuhkan kemampuan. SDM? Tentu saja iya.. entahlah, apakah kita semua sudah sampai berpikir kesana. Pemerintah Lombok Tengah saya pikir pasti sudah berpikir tentang itu. Tapi, jika kemudian program pengembangan itu cuma berlaku untuk kalangan elit (pengusaha atau kerabat dekat, seperti yang ‘dituduhkan’ oleh kawan saya itu) saja, maka saya jadi curiga bahwa jangan-jangan para penguasa di Lombok Tengah itu menganut prinsip anti kemapanan bersama. Kalau sudah seperti itu, maka tidak ada kata lain selain masyarakat Lombok Tengah harus kembali melakukan perlawanan. Mohon maaf, jangan sampai slogan “satu komando satu perlawanan” itu kemudian disalahartikan sebagai stimulus (baik berupa ide atau aplikasi gerakan massa) untuk sebuah tindakan anarkis yang kampungan. Maksud saya bukan seperti itu, karena perjuangan itu bisa lewat banyak cara yang tentu saja baik, cerdas, dan beretika.


Saat opini ini saya hembuskan, di Bumi NTB sedang gonjang-ganjing persiapan untuk pemilihan gubernur. Saya pribadi merasa NTB atau Lombok Tengah itu tidak membutuhkan sosok gubernur atau bupati, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah sosok atau seorang pemimpin. Kita sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan saat kampanye. Para calon (orang-orang yang berkepentingan) akan menjadi sangat dermawan, murah senyum, sok akrab, dan gemar mengumbar janji-janji. Mungkin masyarakat NTB atau Lombok Tengah sudah sangat jenuh dengan segala tetek bengek omong kosong para politikus tersebut. Masyarakat dengan segala beban hidup dan penderitaan hanya dijadikan komoditi iklan kampanye untuk sebuah kekuasaan. Retorika semu dengan bahasa-bahasa politik yang oportunis. Realita klasik, kemiskinan masyarakat itu selalu ada didekat kita. Tersangkut dipagar halaman rumah kita. Untuk itu, sebelum masa pemilihan tiba, mari kita instropeksi diri agar kita tidak mengutuk-ngutuk pilihan kita nanti.


………………………………………………………….

Di sini hari ini ada begawe besar bernama panen raya
Berbondong-bondong kami memilih bupati dan gubernur
Seperti bercocok tanam kami menusuk-nusuk gambar di ulu hati
Mencoblos angka dan janji
Jantung kami terpancung belati,

(PANEN RAYA – Sulye Jati)


*******


Judul tulisan ini adalah “Bahasa Ibu, Identitas Diri, dan Busung Lapar”. Melihat dan mendengar kondisi Lombok Tengah sekarang ini, maka saya kemudian berpendapat bahwa Bahasa Ibu kita sekarang tidak semata hanya bahasa daerah, yakni Bahasa Sasak saja. Tapi, bahasa ibu menurut perspektif saya adalah BAHASA NURANI, sebuah bahasa hati kepada masyarakat. Bahasa yang membuat masyarakat menjadi tenteram, adil, aman, dan sejahtera. Sosok ibu adalah orang yang akan melakukan apa saja demi anak-anaknya. Demi mereka yang dalam ayoman, pengawasan, dan asuhannya. Agar bisa tetap sehat, pintar, nyaman, dan tidak terlantar.


Bahasa ibu adalah sebuah bahasa yang tidak hanya sekedar janji-janji percuma yang ketika ditagih kemudian menjelma menjadi pentungan congkak dan arogan. Terlalu sempurna dan mengkhayal? Tidak.. Kalau mau diaplikasikan insya Allah terwujud. Dengan itu masyarakat akan bisa tinggal landas meninggalkan kemiskinan. Tidak hanya kalangan tertentu saja dan masyarakat miskin tetap saja tinggal dilandasan.


Dengan bahasa hati maka para ‘penguasa’ Lombok Tengah akan bisa jernih melihat kondisi realita masyarakatnya. Seberapa pintar mereka sekarang atau masih tetap bodoh? Masih teraturkah mereka makan setaip hari? Kalau sakit mereka mampu berobat ke dokter atau tidak? Alasan mereka jauh-jauh merantau itu apa? Kemampuannya tidak dianggap, menjadi ancaman, atau di Lombok Tengah sudah susah cari makan? Jika mereka sudah biasa bertanya seperti itu, maka kita akan mulai bangga dengan IDENTITAS KITA sebagai orang Lombok Tengah. Bukan hanya sebagai (eks) Bumi Gora dan yang tinggal sejarah.


Sekarang ini, dimana kita cuma bisa bangga bahwa di Lombok Tengah sekali setahun ada event Presean akbar di lapangan Muhajirin. Setahun sekali kita punya hajatan Pesta Pantai di Kuta ketika Bau Nyale. Bangga bahwa Bupatinya-nya sangat berbudaya dan selalu menggalakkan olahraga berkuda (!?). Tapi, setelah itu anak-anak bergizi buruk dan akhirnya mati busung lapar, keluarga terlunta-lunta dijalanan menjadi gelandangan atau pengemis dan dianggap ‘sampah’ sehingga harus digaruk, dan orang-orang Sasak lainnya (yang SDM-nya dianggap rendah) berkeliaran di negeri orang jauh di sana meninggalkan anak istri untuk menjadi pekerja kasar dan buruh-buruh migran perkebunan. Sementara itu setiap LPJ Bupati akan ditutup dengan tepuk tangan para anggota dewan, bahwa proram pemerintah terhadap masyarakat sudah berhasil. Naïflah kita.. naiflah nurani kita.. Negeri ini bukanlah warisan dari nenek moyang siapapun. Negeri ini hanyalah pinjaman dari anak cucu kita semua.





-----oooo-----

Tidak ada komentar: